Tapi harta berarti bahagia hanya bagi mereka yg tidak memilikinya. Bukankah selalu begitu ? Semua yg tidak ditakdirkan untuk kita terlihat lebih indah?
5 bulan berlalu tanpa satupun kerabat yg datang. Pria dengan kebahagiaan yg sempurna itu tertidur dengan wajah penuh luka. Lengkap dengan selang infus dan alat bantu bernapas. Tak ada bunga, hadiah, atau doa untuk kesembuhanya.
Kalau harta berarti bahagia seharusnya sempurnalah kebahagianya. Tapi kenapa tuan dipenuhi kepedihan. Matanya menggambarkan kesepian. Badanya melukiskan kesakitan.
....
"Maaf. Maafkan aku. Maaf. Jangan. Jangan. Maaf."
Malam ini seperti malam malam sebelumnya. Selama 15 tahun setiap malam tuan selalu mengigau. Hartanya berlimpah. Kasurnya super mewah. Tapi tidurnya tidak pernah tenang.
Sama seperti setiap malam aku membangunkan tuan. Dia memeluku dengan keringat dan air mata yg becampur.
Tuan selalu ketakutan. Katanya dia punya dosa besar yg selalu menghantuinya setiap malam. Entah. Tapi sejujurnya dosanya memang banyak. Tuan adalah pria ambisius yg rela melakukan apapun demi ambisinya. Termasuk melanggar hak orang lain. Itulah kenapa tuan tidak memiliki siapapun dan dibenci banyak orang.
Tapi karna sudah 15 tahun bersamanya. Aku melihat kehidupanya lebih dekat. Aku melihat dari sudut pandang yg berbeda. Bukanya benci aku justru kasihan pada tuan. Bukankah pada dasarnya semua manusia itu baik ? Bukan jahat. Tuan hanya pria yg terperangkap dalam ambisi. Dia hanya ingin memutar balikan takdir. Dulu dia dihina karena kekurangan harta. Dan dia berusaha keras untuk tidak selamanya dilecehkan.
Sekarang biar aku sedikit bercerita tentang aku. Ya. Aku sama sebatang karanya dengan tuan. 15 tahun lalu tuan mengambilku dari jalanan. Katanya dia butuh supir untuk bekerja.
Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Ayah. Ah benci sekali kalau aku harus menyebut bajingan itu. Entah aku tidak pernah tau siapa namanya. Aku hanya tau ceritanya.
20 tahun lalu bajingan itu datang ke rumah kakek. Dia mahasiswa dari Jakarta sedang PKL di desa. Ibu adalah anak kepala desa tempat bajingan itu tinggal sementara. Suatu malam mereka membuat dosa yg berhasil menciptakan aku dalam dunia. Setelah tau aku ada dalam perut ibu bajingan itu lari. Pulang kembali ke Jakarta. Kakek dan desa mengusir ibu. Kata mereka aku dan ibu adalah aib.
Ibu pergi ke Jakarta untuk mencari bajingan itu. 6 bulan berlalu menjadi pencarian yg sia sia. Pertengahan malam di awal September ibu berteduh di bawah jembatan layang. Lalu aku melonjak minta dilahirkan. Ibu berjuang sendirian dibawah hujan. Diantara darah hujan dan tanah aku dilahirkan. Ibu memotong sendiri tali pusar yg menyatukan kami. Darahnya menderas dibawah hujan. Hingga habis nafas. Dan aku menangis sendirian.
Esoknya aku ditemukan sekelompok pengemis dan preman. Ibu dikuburkan aku dibesarkan. Ayah, ah maksudku bajingan itu entah ada dimana. Dalam hati aku mengutuknya. Dalam hati aku membencinya.
.....
"Sudahlah dok. Tidak ada orang lain yg bisa dokter beritahu tentang hari kematianku. Dokter tidak pelu repot repot melapangkan hati keluarga pasien. Pasien ini sebatang kara. Tidak satupun peduli apalagi bersedih atas kematianya. Beritahu saja kapan aku mati."
"Saya bukan Tuhan yg berhak menentukan kapan anda akan mati."
"Alah. Aku selalu benci basa basi macam ini dok. Untuk apa dan untuk siapa aku harus bertahan lebih lama ? Dikubur sekarang atau besok juga sama saja. Paling yg menangis untuku hanya Tiro dan Husky. Supir dan anjingku. Sisanya hanya akan berkirim bunga dengan air mata palsu yg dipaksa diteteskan sambil menunggu pembagian saham."
Dokter Ali menghela napas. Kode etik kedokteran memaksanya untuk melapangkan hati keluarga dan mempertahankan semangat hidup pasien. Tapi untuk kali tidak ada hal dalam kode etik yg bisa dia lakukan selain berkata jujur.
"Sel kanker sudah menjalar semakin luas. Paru paru anda sudah tidak lagi bisa diselamatnya. Operasipun percuma. Kemungkinan paru paru anda bisa kembali berfungsi hanya 10%. Hanya keajaiban tuhan yg bisa membuat anda bertahan hidup lebih dari satu setengah bulan."
"Oh. Yasudah aku mau tidur. Siapa tau bisa mempercepat kematianku."
Pria tua itu mengusir dokter Ali pergi. Aku duduk di kursi depan tv. Pria itu memiringkan badanya ke samping. Membelakangi aku. Mungkin pria tua terlihat keras dan tidak peduli akan kematianya. Tapi aku tau pria itu memikirkanya sepanjang malam. Ketakutan dan sendirian.
....
"Ayolah Tiro. Kalaupun aku harus mati aku tidak ingin mati dalam kesepian."
"Tapi tuan..."
"Tiro. 20 tahun aku hidup dalam ketakutan dan penyesalan. Aku hanya ingin berbahagia sebelum kematianku. Menebus semua dosaku. Dia satu satunya yg aku punya Tiro bantu aku mencarinya. Tapi kalau sampai mati aku belum bisa menemukan dia. Buka amplop ini dan cari dia. Berikan semua hartaku padanya. Aku rela memberikan semua yg aku punya untuk menebus dosaku. Tapi sayang yg aku punya cuman harta."
Dan aku terpaksa menuruti keinginan konyol tuan. Mencari anaknya yg ia sendiri tidak tahu dimana. Terakhir yg ia tahu anaknya ada di Jogja. Tapi tuan tidak mau naik pesawat. Katanya harus jalur darat. Siapa tau dia temukan anaknya di jalan.
3 hari sudah perjalanan. Seharusnya kami bisa sampai Jogja lebih cepat. Tapi tuan banyak maunya. Katanya ada banyak hal yg ingin dia lakukan bersama anaknya. Tapi karena yg ada hanya aku maka dia minta berakting sebagai ayah dan anak. Sepanjang perjalan ini aku harus berhenti memanggilnya tuan menggantinya dengan ayah.
Satu hari tuan ah maksudku ayah. Tapi ah aku lebih nyaman memanggilnya tuan. Ayah mengingatkanku pada bajingan itu. Kami pergi ke lapangan basket. Katanya tuan ingin mengajari anaknya bermain basket. Akhirnya aku yg diajari.
Hari lain kami pergi ke tempat bermain ps. Katanya ia ingin beradu ps dengan anaknya. Hari berikutnya ke pantai. Katanya tuan ingin melihat seja bersama anaknya.
Hari ketiga pemerintah menentukan 1 Ramadhan. Tuan minta aku mengantarnya ke Mesjid. Katanya dia ingin solat tarawih bersama anaknya. Tapi lagi lagi anaknya belum ditemukan. Dan kami solat bersama.
Kami tetap di Masjid menunggu subuh datang. Kami berbincang sepanjang malam. Perbincangan ayah dan anak. Ya kami masih berakting.
"Tiro, jadilah laki laki yg berani bertanggung jawab atas semua dosa yg kamu lakukan. Jangan sampai kamu sepertiku hidup dalam penyesalan dan ketakutan."
"Dan sesusah apapun hidupmu. Uang bukanlah segalanya. Bukan itu yg menjamin kamu bahagia. Hiduplah dan habiskan waktumu dengan orang orang yg kamu cintai."
"Satu lagi maafkan orang orang yg menyakitimu. Banyak orang ingin minta maaf hanya saja mereka tidak tahu caranya. Dan tidak pernah berani untuk melakukanya."
Kalimat demi kalimat menemani malam kami. Sebelum tuan akhirnya tertidur.
Tengah malam tuan mengigau seperti malam malam sebelumya. Aku membangunkanya seperti biasa. Tapi tuan tidak terbangun seperti biasa. Napasnya semakin tersengal. Ia memegangi jantungnya. Aku berlari keluar dan berteriak meminta bantuan. Saat aku kembali jantung tuan tidak lagi berdetak. Aku mengusapkan tangan diwajahnya. Memejamkan matanya untuk selamanya.
Sial aku belum berhasil mempertemukan tuan dengan anaknya. Aku belum berhasil memenuhi permintaan terakhir tuan untuk makan ketupat lebaran bersama anaknya.
Aku menangisi kematianya. Aku kembali sendirian setalah 15 tahun bersamanya. Aku menyesal tidak menjalankan actingku sebagai anak dengan maksimal. Dan membiarkanya mati dalam kesendirian.
....
Aku berpakaian serba hitam. Setelah malam itu tuan berpulang. Dia berpulang dalam kesepian. Hanya aku yg menangisinya karena kasihan.
Tapi ada satu tugas yg harus aku kerjakan. Mencari pria dalam foto di amplop ini.
Kata tuan dia satu satunya orang yg berhak atas warisan. Satu satunya orang yg dia punya. Katanya ini anaknya. Entah anak dari mana. Dia tidak pernah datang.
Kata tuan amplopnya hanya boleh dibuka setelah dia meninggal dunia.
Aku menyobek bagian atas amplop hitam tersebut. Di dalamnya ada sebuah surat.
"Sewaktu muda aku berfikir bahwa uang adalah segalanya. Uang yg bisa membuat aku dan keluargaku lepas dari penghinaan. Aku terperangkap dalam ambisi besar. Aku melupakan banyak hal. Aku menghalalkan banyak hal. Dan aku hidup dalam dosa dosa besar.
Aku hidup dalam ambisi yg berlebihan.
20 tahun aku hidup dalam ketakutan dan rasa bersalah.
Maaf karena aku terlalu pengecut untuk mengakui dosa dosaku. Bahkan dalam sujud. Aku takut mati dalam kesendirian. Aku takut melihat kebencian dalam matamu sebelum aku dimakamkan."
Aku memutar balik foto hitam putih yg ada disana. Sebuah foto tua yg hampir memudar. Tidak terlalu jelas. Tapi aku dapat mengenalinya. Wajah tuan sewaktu muda. Mengandeng lengan seorang wanita dengan rambut dikepang dua. Wajahnya sedikit samar. Tapi aku dapat mengenalinya. Wanita itu Ibu.
.....