Selasa, 23 Juni 2015

Dosa dalam Sujud Terakhir

Kalau harta berarti bahagia maka pria itu sempurna berbahagia. Hitung saja berapa jumlah mobil mewah yg terjajar di garasi. Atau coba cari nama Arjun Dharmawangsa di daftar pemilik saham perusahaan perusahaan konglomerat Asia. Tak sedikitpun dapat kau temukan cacat pada bahagianya.

Tapi harta berarti bahagia hanya bagi mereka yg tidak memilikinya. Bukankah selalu begitu ? Semua yg tidak ditakdirkan untuk kita terlihat lebih indah?

5 bulan berlalu tanpa satupun kerabat yg datang. Pria dengan kebahagiaan yg sempurna itu tertidur dengan wajah penuh luka. Lengkap dengan selang infus dan alat bantu bernapas. Tak ada bunga, hadiah, atau doa untuk kesembuhanya. 

Kalau harta berarti bahagia seharusnya sempurnalah kebahagianya. Tapi kenapa tuan dipenuhi kepedihan. Matanya menggambarkan kesepian. Badanya melukiskan kesakitan.
....
"Maaf. Maafkan aku. Maaf. Jangan. Jangan. Maaf."

Malam ini seperti malam malam sebelumnya. Selama 15 tahun setiap malam tuan selalu mengigau. Hartanya berlimpah. Kasurnya super mewah. Tapi tidurnya tidak pernah tenang.

Sama seperti setiap malam aku membangunkan tuan. Dia memeluku dengan keringat dan air mata yg becampur.

Tuan selalu ketakutan. Katanya dia punya dosa besar yg selalu menghantuinya setiap malam. Entah. Tapi sejujurnya dosanya memang banyak. Tuan adalah pria ambisius yg rela melakukan apapun demi ambisinya. Termasuk melanggar hak orang lain. Itulah kenapa tuan tidak memiliki siapapun dan dibenci banyak orang.

Tapi karna sudah 15 tahun bersamanya. Aku melihat kehidupanya lebih dekat. Aku melihat dari sudut pandang yg berbeda. Bukanya benci aku justru kasihan pada tuan. Bukankah pada dasarnya semua manusia itu baik ? Bukan jahat. Tuan hanya pria yg terperangkap dalam ambisi. Dia hanya ingin memutar balikan takdir. Dulu dia dihina karena kekurangan harta. Dan dia berusaha keras untuk tidak selamanya dilecehkan.

Sekarang biar aku sedikit bercerita tentang aku. Ya. Aku sama sebatang karanya dengan tuan. 15 tahun lalu tuan mengambilku dari jalanan. Katanya dia butuh supir untuk bekerja.

Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Ayah. Ah benci sekali kalau aku harus menyebut bajingan itu. Entah aku tidak pernah tau siapa namanya. Aku hanya tau ceritanya.

20 tahun lalu bajingan itu datang ke rumah kakek. Dia mahasiswa dari Jakarta sedang PKL di desa. Ibu adalah anak kepala desa tempat bajingan itu tinggal sementara. Suatu malam mereka membuat dosa yg berhasil menciptakan aku dalam dunia. Setelah tau aku ada dalam perut ibu bajingan itu lari. Pulang kembali ke Jakarta. Kakek dan desa mengusir ibu. Kata mereka aku dan ibu adalah aib.

Ibu pergi ke Jakarta untuk mencari bajingan itu. 6 bulan berlalu menjadi pencarian yg sia sia. Pertengahan malam di awal September ibu berteduh di bawah jembatan layang. Lalu aku melonjak minta dilahirkan. Ibu berjuang sendirian dibawah hujan. Diantara darah hujan dan tanah aku dilahirkan. Ibu memotong sendiri tali pusar yg menyatukan kami. Darahnya menderas dibawah hujan. Hingga habis nafas. Dan aku menangis sendirian.

Esoknya aku ditemukan sekelompok pengemis dan preman. Ibu dikuburkan aku dibesarkan. Ayah, ah maksudku bajingan itu entah ada dimana. Dalam hati aku mengutuknya. Dalam hati aku membencinya.
.....
"Sudahlah dok. Tidak ada orang lain yg bisa dokter beritahu tentang hari kematianku. Dokter tidak pelu repot repot melapangkan hati keluarga pasien. Pasien ini sebatang kara. Tidak satupun peduli apalagi bersedih atas kematianya. Beritahu saja kapan aku mati."

"Saya bukan Tuhan yg berhak menentukan kapan anda akan mati."

"Alah. Aku selalu benci basa basi macam ini dok. Untuk apa dan untuk siapa aku harus bertahan lebih lama ? Dikubur sekarang atau besok juga sama saja. Paling yg menangis untuku hanya Tiro dan Husky. Supir dan anjingku. Sisanya hanya akan berkirim bunga dengan air mata palsu yg dipaksa diteteskan sambil menunggu pembagian saham."

Dokter Ali menghela napas. Kode etik kedokteran memaksanya untuk melapangkan hati keluarga dan mempertahankan semangat hidup pasien. Tapi untuk kali tidak ada hal dalam kode etik yg bisa dia lakukan selain berkata jujur.

"Sel kanker sudah menjalar semakin luas. Paru paru anda sudah tidak lagi bisa diselamatnya. Operasipun percuma. Kemungkinan paru paru anda bisa kembali berfungsi hanya 10%. Hanya keajaiban tuhan yg bisa membuat anda bertahan hidup lebih dari satu setengah bulan."

"Oh. Yasudah aku mau tidur. Siapa tau bisa mempercepat kematianku." 

Pria tua itu mengusir dokter Ali pergi. Aku duduk di kursi depan tv. Pria itu memiringkan badanya ke samping. Membelakangi aku. Mungkin pria tua terlihat keras dan tidak peduli akan kematianya. Tapi aku tau pria itu memikirkanya sepanjang malam. Ketakutan dan sendirian.
....
"Ayolah Tiro. Kalaupun aku harus mati aku tidak ingin mati dalam kesepian."

"Tapi tuan..."

"Tiro. 20 tahun aku hidup dalam ketakutan dan penyesalan. Aku hanya ingin berbahagia sebelum kematianku. Menebus semua dosaku. Dia satu satunya yg aku punya Tiro bantu aku mencarinya. Tapi kalau sampai mati aku belum bisa menemukan dia. Buka amplop ini dan cari dia. Berikan semua hartaku padanya. Aku rela memberikan semua yg aku punya untuk menebus dosaku. Tapi sayang yg aku punya cuman harta."

Dan aku terpaksa menuruti keinginan konyol tuan. Mencari anaknya yg ia sendiri tidak tahu dimana. Terakhir yg ia tahu anaknya ada di Jogja. Tapi tuan tidak mau naik pesawat. Katanya harus jalur darat. Siapa tau dia temukan anaknya di jalan.

3 hari sudah perjalanan. Seharusnya kami bisa sampai Jogja lebih cepat. Tapi tuan banyak maunya. Katanya ada banyak hal yg ingin dia lakukan bersama anaknya. Tapi karena yg ada hanya aku maka dia minta berakting sebagai ayah dan anak. Sepanjang perjalan ini aku harus berhenti memanggilnya tuan menggantinya dengan ayah.

Satu hari tuan ah maksudku ayah. Tapi ah aku lebih nyaman memanggilnya tuan. Ayah mengingatkanku pada bajingan itu. Kami pergi ke lapangan basket. Katanya tuan ingin mengajari anaknya bermain basket. Akhirnya aku yg diajari.

Hari lain kami pergi ke tempat bermain ps. Katanya ia ingin beradu ps dengan anaknya. Hari berikutnya ke pantai. Katanya tuan ingin melihat seja bersama anaknya.

Hari ketiga pemerintah menentukan 1 Ramadhan. Tuan minta aku mengantarnya ke Mesjid. Katanya dia ingin solat tarawih bersama anaknya. Tapi lagi lagi anaknya belum ditemukan. Dan kami solat bersama.

Kami tetap di Masjid menunggu subuh datang. Kami berbincang sepanjang malam. Perbincangan ayah dan anak. Ya kami masih berakting. 

"Tiro, jadilah laki laki yg berani bertanggung jawab atas semua dosa yg kamu lakukan. Jangan sampai kamu sepertiku hidup dalam penyesalan dan ketakutan."

"Dan sesusah apapun hidupmu. Uang bukanlah segalanya. Bukan itu yg menjamin kamu bahagia. Hiduplah dan habiskan waktumu dengan orang orang yg kamu cintai."

"Satu lagi maafkan orang orang yg menyakitimu. Banyak orang ingin minta maaf hanya saja mereka tidak tahu caranya. Dan tidak pernah berani untuk melakukanya."

Kalimat demi kalimat menemani malam kami. Sebelum tuan akhirnya tertidur.

Tengah malam tuan mengigau seperti malam malam sebelumya. Aku membangunkanya seperti biasa. Tapi tuan tidak terbangun seperti biasa. Napasnya semakin tersengal. Ia memegangi jantungnya. Aku berlari keluar dan berteriak meminta bantuan. Saat aku kembali jantung tuan tidak lagi berdetak. Aku mengusapkan tangan diwajahnya. Memejamkan matanya untuk selamanya.

Sial aku belum berhasil mempertemukan tuan dengan anaknya. Aku belum berhasil memenuhi permintaan terakhir tuan untuk makan ketupat lebaran bersama anaknya. 

Aku menangisi kematianya. Aku kembali sendirian setalah 15 tahun bersamanya. Aku menyesal tidak menjalankan actingku sebagai anak dengan maksimal. Dan membiarkanya mati dalam kesendirian.
....
Aku berpakaian serba hitam. Setelah malam itu tuan berpulang. Dia berpulang dalam kesepian. Hanya aku yg menangisinya karena kasihan.

Tapi ada satu tugas yg harus aku kerjakan. Mencari pria dalam foto di amplop ini.

Kata tuan dia satu satunya orang yg berhak atas warisan. Satu satunya orang yg dia punya. Katanya ini anaknya. Entah anak dari mana. Dia tidak pernah datang.

Kata tuan amplopnya hanya boleh dibuka setelah dia meninggal dunia. 

Aku menyobek bagian atas amplop hitam tersebut. Di dalamnya ada sebuah surat.

"Sewaktu muda aku berfikir bahwa uang adalah segalanya. Uang yg bisa membuat aku dan keluargaku lepas dari penghinaan. Aku terperangkap dalam ambisi besar. Aku melupakan banyak hal. Aku menghalalkan banyak hal. Dan aku hidup dalam dosa dosa besar. 
Aku hidup dalam ambisi yg berlebihan.

20 tahun aku hidup dalam ketakutan dan rasa bersalah.

Maaf karena aku terlalu pengecut untuk mengakui dosa dosaku. Bahkan dalam sujud. Aku takut mati dalam kesendirian. Aku takut melihat kebencian dalam matamu sebelum aku dimakamkan."

Aku memutar balik foto hitam putih yg ada disana. Sebuah foto tua yg hampir memudar. Tidak terlalu jelas. Tapi aku dapat mengenalinya. Wajah tuan sewaktu muda. Mengandeng lengan seorang wanita dengan rambut dikepang dua. Wajahnya sedikit samar. Tapi aku dapat mengenalinya. Wanita itu Ibu.
.....

Jumat, 12 Juni 2015

Divorce

Perempuan itu tertidur. Matanya hitam, akibat maskara dan eyeliner yg luntur. Perempuan itu terlalu lelah untuk kembali menangis.

Aku menutup sebagian tubuhnya dengan selimut. Merapikan rambut yg menutup wajah. Menghapus sisa air mata. Dan mencium keningnya.

Banyak yg berubah di wajah perempuan itu. Rambutnya tidak lagi tertata dengan rapih. Kuku yg dulu selalu terhias kutek merah, patah. Wajah cantiknya hilang dalam balutan rasa sakit.

Meskipun sudah dewasa. Tapi bagiku dia tetap sama. Perempuan kecil yg akan selalu aku lindungi. Perempuan yg selalu menempati posisi kedua setelah ibu. 

"Kenapa lagi sih adikmu itu mas ? Bertengkar lagi ? Dia itu terlalu keras jadi perempuan. Banyak menuntut."
"Jangan bicara sekeras itu."
"Biarin aja mas. Biar dia denger sekalian. Perempuan itu harusnya ngalah. Terima suami apa adanya. Seharunya dia bersyukur punya suami yg baik dan mau bertanggung jawab. Coba kalau waktu itu Bima lari. Mau apa coba dia ?"

Ada amarah yg menggerakan tangaku untuk menampar pipinya. Sekeras apapun sifatnya perempuan itu adalah adiku. Dan aku benci semua orang yg membuatnya semakin terluka, termasuk istriku sendiri.

Dibalik semua akibat selalu sebab.Tapi kadang yg terlihat hanya bagian akibat. Anjani kecilku bukanlah seorang perempuan yg keras. Tapi cinta dan luka telah berhasil merubah peringainya.
....
Musim hujan 5 tahun yg lalu.

Pernikahan selalu menjadi hal manis yg diimpikan semua perempuan. Tapi aku tahu bukan ini yg diimpikan oleh Jani.

Dia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun berwana putih. Wajahnya dipaksa untuk tersenyum di depan pendeta. Tapi aku tahu ada banyak luka di balik senyum itu.

Bukan seperti ini yg diimpikan oleh Anjani. Seharusnya dia menikah di masjid bukan gereja. Seharusnya Ayah ada disana. Bukan hanya aku disini.

Betapa bodohnya adiku itu. Dia merelakan sebagian besar hidupnya diatas cinta. Laki laki yg berdiri dengan tuksedo hitam di depan mimbar sana adalah Bima. Lelaki yg memberikan cinta dan juga luka pada Anjani.

Aku dan Anjani dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Islam yg kental. Anjani bahkan pernah sekolah di pesantren selama 6 tahun. Tapi pada akhirnya perempuan itu berada disini. Sebuah gereja, membuka penutup kepalanya, dan berpindah agama. Demi menikahi lelaki itu, Bima.

Ayah menentang Anjani. Tapi tekad Anjani sudah terlalu bulat. Sebulat perutnya yg sudah membesarkan embrio. Ayah mengusir Jani dari rumah. 

Jani mengorbankan mimpinya demi Bima. 22 tahun Jani bekerja keras untuk mimpi besarnya. Dan seluruh usaha keras itu seharusnya sudah membuahkan hasil. Jani diterima s2 di Harvard. Tapi pada akhirnya mimpi besar itu hilang demi cintanya.

Tentu saja Jani berubah jadi keras. Dia sudah mengorbankan banyak hal demi lelaki itu. Tapi hasilnya hanya luka. Jani menghabiskan semua tabunganya untuk membayar biaya sekolah pilot Bima. Tapi laki laki itu justru dikeluarkan dari sekolah.  Jani bekerja keras untuk menghidupi. Tapi laki laki itu hanya diam di rumah. Jani memberikan semua cinta dan ketulusan. Tapi laki laki itu pergi dengan perempuan lainya.

Mereka tidak pernah tahu apa yg sebenarnya. Dan selalu menyalahkan Jani atas sikapnya yg terlalu keras. Bima memang laki laki yg lembut. Tidak berkata kasar. Bertanggung jawab atas kesalahan spermanya. Tapi dibalik semua itu ada luka yg diam diam dia berikan pada Jani. Luka yg lebih menyakitkan dibanding tuntutan, amarah, atau sikap yg terlalu keras.
.....
"Mau ngapain lagi kamu Bim !"
"Sayang, aku minta maaf. Sungguh aku minta maaf. Aku sayang kamu. Kalau aku engga sayang buat apa aku bertahan selama ini. Silahkan cari laki laki lain di luar sana yg tahan dikasarin, dikerasin, direndahin ?"
"Emang aku kasar, tapi aku engga pernah ninggalin kamu buat laki laki lain. Aku kasar karena aku mau kamu berusaha lebih keras. Sebentar lagi Avka mau sekolah. Kamu tahu gaji ga akan cukup buat nyekolahin dia."
"Aku tau sayang. Aku bersyukur nikah sama kamu. Aku belajar buat berubah pelan pelan sayang. Aku juga pengin anak kita sekolah ditempat yg bagus. Aku janji bakal berusaha keras."
"Tapi kamu ninggalin aku buat perempuan lain."
"Aku udah engga sama dia sayang. Aku tau aku salah. Ternyata dia engga lebih baik dari kamu. Maaf sayang."
"Kamu pikir hati aku apa Bim ? Bisa datang pergi dan memberi luka sesuka hati kamu ?"

Bima berlutut didepan Anjani. Matanya meneteskan air mata.

"Maaf sayang. Aku mohon kasih aku kesempatan. Demi Avka. Demi perjuangan kita selama ini."

Jani memegang tangan lelaki itu. Mempersilahkanya berdiri. Lelaki itu mencium keningnya. Dan mereka pulang kembali.

Aku tahu bukan cinta yg membuat Jani memaafkan lelaki itu. Mana mungkin cinta masih tetap sama setelah luka ? Jani hanya takut pada perceraian. Jani takut Avka merasakan luka yg sama sepertinya ketika Ayah dan Ibu bercerai. Jani hanya takut karena sebagian besar hidupnya sudah terbiasa dihabiskan bersama Bima.

Aku tahu. Jani berusaha keras membohongi dirinya sendiri. Berusaha meyakini Bima akan berubah. Tapi aku juga tahu dalam hatinya Jani tahu Bima tidak akan pernah bisa berubah.
.....
Aku turun dari pesawat. Berlari keluar bandara. Memberhantikan taxi dan pergi.

6 bulan telah berlalu. Seharusnya aku berangkat ke Bangka bertemu investor. Orang penting bagi Chevron. Tapi aku membatalkanya. Orang yg harus aku temui jauh lebih penting.

Sebelum merubah handphoneku menjadi mode pesawat. Anjani menelpon. Adiku itu menangis dan memberitahukan dimana dia sekrang berada. Sebuah taman tempat kami bermain semasa kecil.

Aku menyuruh supir untuk memacu taxi lebih cepat. Aku tidak tahu alasan Jani menangis. 

Taxi berhenti di depan jalan kecil dekat taman. Aku berlari. Tengah malam hampir lewat. Penerangan di taman sangat remang. Hujan turun semakin menderas. 

Aku menemukan perempuan itu duduk dibawah sebuah lampu. Menghadap ke danau. Perempuan itu membenamkan wajahnya di dadaku. Menumpahkan tangisnya disana.

Satu jam berlalu dalam diam dibawah hujan yg menderas. Anjani mulai mengangkat wajahnya dari dadaku. Aku membuka jaket dan memakaikanya. Anjani menyandarkan kepalanya di bahuku. Satu satunya tempat dimana dia bisa bersandar.

"Tiga hari lalu kami bertengkar lagi. Aku marah karena Bima masih belum bisa memberikan uang yg cukup untuk biaya sekolah Avka. Bima bilang aku terlalu merendahkanya. Bima bilang aku tidak bisa menerima apa adanya. Aku pergi dari rumah. Aku pikir aku salah. Aku pikir aku mengeluarkan kata kata yg terlalu menyakitkan. Aku berniat kembali dengan membawa bunga sebagai permintaan maaf dan hadiah peryaan ulang tahun pernikahan kami."

Kemarahan mulai terlihat tercampur dalam air mata yg menetes. Perempuan itu melanjutkan kalimat dengan getir.

"Aku masuk ke rumah dengan kunci cadangan yg aku punya. Aku sengaja tidak bilang apa apa pada Bima. Aku ingin memberinya kejutan. Tapi ternyata Bima memberiku kejutan yg lebih tidak terduga."

Air mata perempuan itu mengalir dibawah hujan yg menderas.

"Bima tidur diatas kasur kami. Sebagian tubuhnya tertutup selimut. Tapi aku tahu dia tidak mengenakan apapun. Disampingnya tidur seorang wanita yg juga tanpa busana."

Tangisan wanita itu semakin terdengar menyakitkan. Dia terisak semakin keras.

"Apa salah aku, Bang ? Aku sudah merelakan semuanya buat Bima. Keluarga. Mimpi besar. Aku berusaha keras membangun hidup dengan pria itu. Aku bertahan diantara luka. Tapi ini akhirnya."

Aku menatap mata perempuan itu. Menghapus sisa air mata dan luka yg tertanam disana.

"Jani, tidak ada yg bisa menjamin orang lain membalas ketulusan kita. Cinta dan ketulusan bukan hutang yg harus dibayar. Tapi Tuhan akan memberikan apa yg pantas kita dapatkan."

Aku memegang pipi wanita itu. Sekali lagi menyeka sisa air matanya.

"Tuhan mau Jani berlajar dari rasa sakit. Waktu kecil Jani marah sama Ayah karena menceraikan Ibu. Sekarang Jani belajar. Tidak semua cinta harus bersama."

Wanita itu masih menangis. Aku tahu dia menghawatirkan Avka. Aku tahu dia takut Avka merasakan luka yg sama.

"Jani, Avka pasti lebih terluka kalau harus terus melihat ibunya menangis. Sama seperti waktu Jani kecil cabut gigi. Sakit sih. Tapi mending sakit sekalian kan ? Berdarah banyak tapi setelah itu tumbuh yg baru. Dari pada terus menerus merasa sakit karena hal yang sama."

Wanita itu memeluk tubuhku. Air matanya mulai berhenti.

"Abang punya tiket ke Amerika besok sore. Tadinya Abang mau nganter ayah berobat. Tapi kayanya kamu lebih perlu. Abang harus menjauhkan kamu dari Bima. Dan kamu bisa baikan sama Ayah. Aku yg akan mengurus surat perceraianmu di Indonesia."

Aku mengambil map plastik dari dalam tas. Dokumen yg sudah 5 tahun aku simpan.

"Nanti dulu bilang makasihnya. Abang masih punya sesuatu buat kamu. Form pendaftaran Harvard Bussines School."

"Tapi aku sudah terlalu tua untuk mimpi itu bang."

"Hidup cuma sekali Jani. Tidak ada yg terlambat. Kecuali kalau kamu sudah mati. Kamu ingat Satria ? Tetangga kita dulu ?"

"Satria bang ?"

"Iya. Jangan pura pura. Abang tau kamu pernah pacaran sama dia sebelum dia pindah ke Amerika. Sekarang dia sedang s2 di Harvard. Abang sudah bilang suatu saat nanti kamu akan kembali ke sana. Ayah dan kamu bisa tinggal sementara di rumah dia."

"Oh ya."

"Dan bonus terakhirnya."

Aku mendekatkan mulutku pada telinganya. Dan berbisik.

"Dia masih lajang."

Perempuan itu mendorong wajahku dan tertawa. Kami berpelukan dibawah hujan untuk waktu yg lama. Menikmati kembali masa kecil kami di taman ini.
....