Rabu, 28 Oktober 2015

Wanita di balik Topeng

Bukan aku suka begini. Tapi mana bisa seorang hamba menawar kehendak tuanya ? Setiap lewat tengah malam. Bedak sudah bertaburan. Ditambah olesan eye shadow murahan. Ditutup dengan gincu merah. Merekah. Seperti setangkai mawar yg siap untuk ditiduri.

Aku tidak tahu apa fungsinya make up semedok ini toh sepertiga pertunjukan habis di balik topeng. Hanya beberapa menit diawal dan diakhir pertunjukan topengnya dilepaskan.

Aku melenggokan badan sesuai dengan pakem tarian dan langgam gending jawa. Di depan sana belasan atau bahkan puluhan pria menatap badanku nanar. Sambil sesekali mengusap liur yg berteteran.

Kalau aku punya ijazah sma tentu aku tidak akan begini. Aku bisa bantu jaga puskesmas atau balai desa. Lebih beruntung kalau bapak tidak perlu kena lumpuh layu. Aku sudah pasti menyusul Mas Parman ke kota. Jadi babu juga tidak papa.

Ah Mas Parman. Kalau ingat nama itu, semua kutukan dan protesku pada Gusti Allah berhenti untuk beberapa saat. Ya setidaknya diantara hidup Ratmi yg pahit ini masih adalah sedikit manisnya.

Mas Parman itu teman ngaji di langgar dulu. Dari kecil sudah sering main gundu. Lama lama jadi rindu. 

Tapi terus bapak kena lumpuh layu. Usaha gula arenya ancur lebur. Sisanya 27 juta dalam bentuk hutang yg harus dikembalikan. Sajane aku benci Bapak ya tidak. Toh bukan Bapak yg mau begini. Tapi dibilang engga benci ya benci juga sih, hidup aku jadi begini. Beban penghidupan keluarga plus hutang 27 juta. Berhentilah aku sekolah dan jadi penari topeng saja. Kalau lagi beruntung saweranha banyak lumayan buat cicil utang plus beli sedikit kosmestik murahan.

Mas Parman pergi ke kota. Jadi buruh pabrik sepatu. Niatnya buat bantu cicilan hutang biar aku tidak perlu kawin sama Argo. Anak kepala desa yg sudah lama naksir aku itu.

Bukan karena Argo tidak tampan. Atau berkelakuan minus. Tapi kadang hati punya kehendaknya sendiri to ? 
.....
"Tadi Argo sama Bapaknya dateng lagi. Tanya kapan kamu siap untuk dikawini. Bapaknya sudah beli cincin emas putih."
"Ratmi sudah bilang puluhan kali ke Bapak, Ratmi gamau nikah sama Argo."
"Karena janji jaman bahelamu sama Parman itu ? Ratmi sadar to. Sudah berapa taun Parman engga pulang ? Engga kasih kabar ? Bunga hutang Bapak makin menumpuk ndo."
"Loh yg hutang kan Bapak kenapa bukan Bapak saja yg kawin sama Argo. Karena Bapak penyakitan terus Ratmi yg harus jadi korban."

Tangan kiri Bapak yg masih bisa bergerak menamparku dengan kasar. Aku berlari membawa pergi rasa sakit.

Bukan cuman Bapak tapi semua orang menertawai kesetiaanku pada Mas Parman. Mereka bilang Parman tidak akan pulang. Sudah lima tahun berjalan. Tidak ada sedikitpun kabar.

Tapi semua janji yg sudah Parman ucapkan membuat aku terus bertahan. Karena cuman keyakinan yg bisa membuatku sedikit menertawai kutukan takdir. Cuman cinta yg membuat aku masih punya pengharapan.
........
Pentas malem ini selesai kemaleman. Sudah hampir pagi malahan. Aku jalan pulang sendirian. Melewati hutan diantara remang. Temanya ya cuman obor ditangan.

Takut ? Ya ndak lah. Buat wanita yg hidupnya dibalut luka macam aku apa lagi yg harus ditakutkan ? Setan ? Penagih hutang bapak lebih menakutkan.

Kata Sapardi tidak ada yg lebih tabah dibanding hujan bulan Juni. Tapi kenapa hujanya datang sepagi ini ? Sapardi ga bilang lagi hujanya sedingin ini.

Ada bilik kosong di pinggir kali. Lumayan dari pada kuyup. Bilik ini dulunya punya Kong Asman, tinggal sebatang kara. Ditinggal istrinya kawin lagi sampai hampir gila. Sekarang Kong Asman sudah punya bilik baru di surga dan yg ini tidak ada penghuninya.

Aku duduk di kursi depan, cahayanya remang. Hujan menetes dari awan. Tapi surya belum juga memunculkan sinar. Aku mendengar suara dari dalam. Rancu. Pengucapnya seperti sedang tidak sadar.

Takut kalau itu pemuda desa yg sedang mabuk. Aku berjalan pelan menjauhi biliki. Tapi langkah sepertinya terdengar. Mereka membuka pintu dari dalam. Merancu setengah tersadar. Lalu berjalan. Aku berlari ketakutan. Sendirian dibawah hujan tengah hutan. Obor sudah mati dimakan rintik hujan. 

4 pria ikut berlari di belakang. Rancu. Bersuara tak menentu. Aku mencoba berlari secepat yg aku bisa. Tapi jarit ini membuat semuanya sia sia. Salah satunya menarik bahuku. Menyeretku. Rancu. Tidak jelas apa yg dikata. Aku meronta. Tapi diseret masuk ke dalam. Berteriak tapi hanya srigala yg dengar. Salah satunya membenturkan botol minuman ke kepala. Lalu aku tidak sadar.
........
Enam bulan berlalu. Aku tidak pernah tahu apa yg sebenar benarnya terjadi malam itu. Yg aku tahu sekarang perut makin membesar. Menyimpan janin yg entah siapa empunya.

Seluruh desa menggunjing. Sudah bapak coba jelaskan. Sebagian mulai mengasihaniku. Tapi sebagian lainya tetap saja menghina.

Aku jadi wanita di balik topeng sekarang. Pura pura tidak peduli kalau dengar apa kata orang. Pura pura tegar kalau lihat mereka jijik memandangku.

Bapak makin pilu. Kakinya sudah mati sekarang pengharapanya pada akupun demikian. Penagih hutan datang. Bapak cuman membiarkan mereka mengacak acak rumah sesuka hati. Apa lagi yg harus kami perbuat.

Argo kadang datang tapi kali ini bapak yg menolak. Katanya malu sama anak kepala desa. Ratmi sudah tidak layak untuk anaknya.

Diantara luka yg diberikan hidup. Aku cuman berusaha menanti pengharapan. Mas Parman. Dia sudah aku kenal lama. Aku yakin dia mengerti. Aku yakin dia akan pulang dan membuka topeng ini.
....
Sore itu akhirnya Mas Parman datang. Penantian panjang akhirnya menemukan ujungnya. Bukankah selalu ada buah untuk setiap kesabaran ? Tuhan akan mempertemukan yg ditakdirkan.

Tapi wajahnya tidak menampilkan raut kerinduan. Wajahnya nanar penuh kemarahan. Mas Parman dengar apa yg dikata orang. Dan sekarang lihat sendiri bahwa itu benar.

Mas Parman cuman diam. Wajahnya penuh kemarahan. Aku tidak sekalipun mengenalinya. Dulu wajahnya selalu tenang. Dia pandai memaafkan orang. Tapi Mas Parman sekarang menakutkan. 

Air mata rindu berubah jadi penyesalan. Tapi aku tidak dihiraukan Mas Parman. Dia pergi tanda satupun kata yg keluar tapi aku mengerti dia tidak bisa menerimaku begini.

Sekarang apa lagi Gusti ? Apa lagi sakit yg mau Engkau hadiahkan untuk hamba ? Apa lagi yg dicari Gusti ? Pengharapan satu satunya sudah pergi.

Aku masuk kedalam. Duduk lesu di kursi kayu. Air mata berhenti menetes. Mungkin sudah tidak mampu melambangkan penderitaan yg aku alami. Aku diam nanar kedepan. Tidak ada yg bisa diharapkan.

Pria lain masuk ke dalam. Sepertinya dari tadi sudah menguping di depan. Dia lihat dalam diam. Bagaimana akhirnya cinta dan penantian berantakan. Seperti aku yg sudah hilang kehidupan.

Aku hanya bisa menunduk malu. Nanar menghadap ke tanah. Pria itu mendekat. Berlutut di depan.

"Ratmi, aku suka kamu sejak ngaji di langgar dulu. Diam diam aku suka dengar suaramu membacakan Qur'an. Sejak kecil aku mengagumimu dalam diam. Semenjak Bapak belum jadi Kepala Desa macam sekarang. Tapi tidak tahu apa aku pantas ? Karena jelas kamu cinta Parman."

Pria itu menghela napas panjang. Seperti lepas setengah beban yg dirahasiakan.

"Tapi aku tidak bisa menemukan cinta lain. Sampai aku putuskan buat melamarmu. Bapak setuju, Bapakmu pun begitu. Tapi cintamu tetap tidak untuku."

Sekali lagi ia menghela napas. Dan tersenyum. Senyum paling tulus yg pernah aku tahu.

"Ratmi, bagaimapun keadaanmu aku tetap bertahan dengan perasaan yg sama. Tidak sedikitpun berkurang semenjak di langgar dulu. Tapi kamu masih kukuh tunggu Parman dan aku juga sama masih kukuh nunggu kamu. Sekarang penantianmu sudah berakhir. Parman sudah pergi. Sekarang apa boleh penantiaku juga berakhir ?"

Aku memandang jauh kedalam mata pria itu. Mata yg selama ini selalu aku acuhkan. Mata yg ternyata menyimpan banyak ketulusan.

"Tapi Bapakmu tidak akan setuju Mas. Mana boleh aku jadi aib di keluargamu."

"Manusia seringkali menebak nebak isi hati. Padahal mereka bukan Tuhan. Mana bisa mengerti. Manusia sering percaya pada ketakutan yg dibuatnya sendiri. Padahal semua itu cuma spekulasi."

Pria itu tersenyum sekali lagi.

"Ratmi, kenapa tidak ada kesempatan untuk yg datang terlambat ? Padahal yg pertama belum tentu yg terbaik."

Air mata yg sejak tadi tertahan menetes bersamaan. Argo benar. Cinta bukan tentang siapa yg pertama kali datang. Atau siapa yg paling lama mengisi hati. Tapi siapa yg ada diakhir. 
......