Kusebut demikian, karena dihadapnya aku seperti menghamba. Meminta hari untuk kembali bersama tapi sepersekian detik saja dia masih tidak bersedia.
Sudah 5 tahun berlalu tapi aku masih senantiasa menanti hujan di pengujung Juni. Berharap rintiknya membawa pria bermata sayu itu kembali. Bukan ! Bukan aku ingin memilikinya. Hanya saja ada sebuah tanda tanya yg harus dibawanya pergi.
Kenapa dia menghilang bersama rintik terakhir hujan dipengujung Juni ?
........
Hujan turun diantara senja dipengujung Juni kala itu. Hujan membuatku harus menepikan sepeda agar tidak perlu kuyup. Aku berlindung di bawah sisa atap depan sebuah bangunan dengan pintu dan etalase kaca. Di dalamnya aku lihat kanvas yg sudah setengah terlukisi.
Aku menemukan sesuatu yg hilang dalam lukisan itu. Sesuatu yg sudah lama ingin aku temukan. Sesuatu yg dibawa Ibu hilang bersamanya. Keberanian.
Seorang pria masuk ke dalam ruangan, satu dua tahun lebih muda kalau boleh kuterka. Ia mengaduk aduk cat warna dalam piringan berwarna perak. Duduk di depan kanvas dan membubuhkan warna merah pada bunga mawar yg sudah terlukis sebagian.
Aku terhipnotis oleh tiap guratan kuas yg dibubuhkan pria itu dalam kanvas. Rima yg membawa keberanian dalam tiap warna yg dibubuhkan diatas mawar dalam lukisan. Aku terhipnotis oleh pria itu.
Hari hari berikutnya selalu kulewatkan untuk memandang pria di balik etalase kaca itu membubuhkan warna dalam kanvas. Hari hari berlalu aku semakin terhipnotis dengan lukisanya sebagaimana aku terhipnotis pada sosoknya.
Hujan senja itu umurku baru 11 dan butuh umur ke 12 sampai akhirnya kami saling tau nama.
Senja itu, penghujung Juni hujan kembali. Dan aku berteduh di tempat yg sama. Pria itu melukis seperti biasanya.
Seekor kucing mengeong memelas kedinginan. Aku menyelimutinya dengan jaket yg kulepas. Tapi mahluk kecil itu masih mengeong kedinginan. Semakin menggigil dan mengeras. Hingga terdengar di balik kaca. Pria bermata sayu membuka pintu mengeringkan badan kucing malang dan memberinya setengah gelas susu hangat. Lalu kami saling berbicara mulanya tentang nasib si kucing malang akhirnya semua diperbincangkan hingga larut malam. Hingga hujan terhenti, dan aku kembali pulang sambil membawa hatinya pergi.
.....
Melukis adalah hal yg paling aku sukai sekaligus yg paling ayah benci. Semenjak Bunda pergi dan menikahi pelukis lainnya.
Ayah membakar semua kanvas dan kuas yg tersisa di rumah. Membinasakan semuanya seperti ia sedang membakar luka dan kenangan akan penghiatan.
Aku tidak terlalu pandai melukis seperti Ibu, tapi aku sungguh jatuh cinta pada lukisan. Pada tiap guratan warna yg dibubuhkan kuas untuk menghidup roh dalam kanvas. Setiap lukisan punya rasa menggambarkan apa yg diinginkan empunya. Itu salah satu yg paling kucinta. Kita bisa merasakan tanpa harus mendengar atau berkata, cukup merasakan.
Tapi tega benar aku kalau harus menghianati Ayah sebagaimana Ibu. Aku buang jauh jauh kecintaanku pada lukisan di hadapan Ayah. Tapi tidak dihadapan pria itu. Dia yg mengembalikan keberanian untuk kembali menarikan kuas diatas kanvas. Bersamanya dan guratan warna aku menemukan tempat untuk meluapkan semua kerinduan, kesendirian, dan kesepian yg datang bertubi semenjak Ibu pergi.
3 tahun kami habiskan untuk melukis dan saling berbicara. Tanpa satupun kata cinta, tapi aku yakin itu ada. Sebagaimana lukisan yg bisa melambangkan perasaan tanpa kata kata.
Sampai hari itu datang. Hari dimana hujan kembali datang di bulan Juni. Hari dimana Ayah akhirnya tau tentang penghianatan yg kulakukan bertahun tahun. Aku kembali melukis.
Ayah menyeretku secara paksa dari rumah pria itu. Sambil memakinya. Menghardik dan membuat seisi rumah panik. Aku tidak jelas dengar umpatanya. Tapi aku tahu Ayah tidak pernah semarah itu. Ada rasa sakit dan benci dari mata coklatnya yg melontarkan kemarahan.
7 hari aku dipaksa tidak keluar rumah. Ayah tidak berbicara sepatahpun kata. Dia hanya diam sambil mengawasiku dari kursi baca ruang tamu.
Tapi aku tahu diam adalah marah yg paling marah.
.......
Tepat dipenghujung Juni, hujan kembali. Aku tidak lagi bisa menahan rindu pada pria itu. Aku menanggung beban rasa bersalah pada Ayah. Tapi bisa apa, pria itu dan mata sayunya terlalu mempesona sebagaimana lukisan mawar yg pertama kali membuatku jatuh rasa.
Aku mengayuh sepedaku kencang, diam diam pergi dari ayah di bawah hujan. Rumah dengan etalase kaca yg aku tuju. Pria itu seperti biasa melukis di balik kanvas. Aku berdiri di depan pintu. Dia mengacuhkanku. Aku gedor pintu. Dia masih tetap begitu. Sampai seorang wanita datang dari ruang dalam. Membawa piringan yg sama emas dengan semburat auranya. Wanita itu benar benar cantik, bukan hanya pada raut di mukanya.
Usianya kuterka 3 tahun lebih muda. Rambutnya hijam memanjang, kulitnya sejernih rintik hujan, dan matanya coklat menyimpan kecerdasan, keberanian, dan kemenarikan yang tiada tara.
Dia melihat ke arahku yg menggedor pintu sekali lagi. Berbicara pada si pria yg kembali memberi isyarat untuk mengacuhkan. Kedua melukis diatas dua kanvas yg berbeda. Tapi aku bisa melihat rima dan warna yg saling menyatu. Seperti bakat sudah menakdirkan mereka bersama.
Lukisan wanita itu benar indah, sebagaimana kemenarikan dirinya. Sebagaimana kegagahan dan aura pria disamping.
Aku melangkah menjauhi pintu. Aku merasakan sakit dibawa rintik hujan jatuh ke bumi. Bukan kecewa atau marah tapi lebih pada rasa kalah. Aku terlalu mengaggumi wanita itu sebagaimana prianya. Dan bagaimana bisa aku merasa dia merebut priaku. Jelas semua pria akan sukalera memilihnya dibanding aku.
Lukisanya jauh lebih indah, dan jauh lebih hidup dibanding aku. Aku melerakan priaku pergi. Kehati seorang wanita yg lebih indah.
Lagipula bersamaku pria itu tidak akan pernah bisa melukis dengan leluasa. Bersamanya aku akan menyakiti ayah. Sedangkan wanita itu selayaknya komplementer bagi si pria. Keduanya seperti kanvas dan kuas yg saling ditakdirkan.
Aku menumpahkan haru di dalam pelukan Ayah yg cemas menunggu di depan rumah. Aku tidak bicara. Karena diam adalah sakit yg paling sakit. Aku tahu bagaimana rasanya terhianati dan yg lebih sakit merasakan kekalahan. Kita tidak dilahirkan dengan bakat melukis sebaik lelaki yg dinikahi ibu, dan wanita yg dipilih pria yg kucintai itu. Oleh karnanya kamu dipaksa sadar diri. Ada hal hal yg memang hanya bisa diterima.
Bulan berganti Juli dan hujan tidak mampir lagi. Sebagaimana pria itu pada akhirnya pergi. Tidak lagi bisa ketemukan dibalik etalase kaca. Dibawa hujan entah kemana.
......
Bagaimanapun Ayah benci pada Ibu. Bagiku Ibu tetap Ibu. Walau kami tidak pernah saling berbicara, walau dia menelantarkan aku dan Ayah begitu saja. Setidaknya kali ini aku ingin memberinya tahu, memintanya restu.
Semua persiapan pernikahan sudah matang. Hanya sedikit perasaan yg perlu diselesaikan. Restu Ibu dan tanda tanya yg dibawa pergi pria itu. Tapi ah sudahlah tidak semua pertanyaan butuh jawaban. Mungkin ada beberapa yg memang ditakdirkan untuk menjadi tanda tanya abadi.
Aku baca di koran Ibu kembali datang ke Indonesia. Sebuah pameran karya dipersiapkan. Aku tidak pernah tahu bagaimana wajah Ibu ata siapa namanya sampai genap berusia 25 saat akhirnya untuk kali pertama Ayah memberi tahu nama Ibu.
Aku tidak berminat untuk mencarinya. Sampai hari itu saat Saka bilang aku harus melepaskan beban dan melegakan hati sebelum pernikahan kami. Agar semuanya berjalan dengan lebih baik.
Saka benar. Saka selalu benar. Dia adalah lelaki kedua yg aku cintai setelah pria itu. Saka tidak pandai melukis, tapi dia sama pandainya dengan pria itu soal membuatku merasa cinta.
Di depanya aku tidak perlu lagi meluapkan rasa lewat guratan warna dalam lukisan. Aku cukup berbicara, dan melepaskan perasaan. Saka akan mendengar dengan sabar. Dia mengerti tanpa menghakimi. Tidak banyak memberi solusi aku harus begitu atau begini tapi dia mengerti. Bahwa yg dibutuhkan seseorang dengan banyak rasa sepi seperti aku hanya teman untuk mendengar dan merasa aku tidak sendiri.
Aku dan Saka pergi ke musium tempat Ibu memamerkan karyanya. Segala macam rasa menyelinap masuk. Takut, marah, kecewa, gusar, sedih, bahagia. Dalam hati aku bertanya bagaimana rupa Ibu, dan bagaimana rautnya ketika melihatku.
Saka memegang erat tanganku. Memberiku kekuatan untuk menghadapi segala macam ekspektasi. Dia selalu mambuatku merasa tidak sendiri. Dan mengambalikan keberanian yg banyak dibawa rasa sakit pergi.
Kami melangkah masuk. Dinding musium ditempeli bingkai bingkai lukisan. Darinya aku bisa menerka bagaimana keindahan Ibu. Sebuah lukisan menghipnotis. Perempuan kecil yg sedang tertawa dengan setangkai mawar merah ditanganya. Dan aku seperti melihat aku.
Lampu di tengah ruangan menyala terang. Menangkap pandangan ratusan pasang mata pengunjung. MC memberikan sepatah dua patah kata untuk memuji si empunya lukisan. Lalu Ibu berjalan menyusi tangga dari lantai atas bersama seorang lelaki yg kuterka sebagai suaminya. Seorang pelukis yg sama tersohornya.
Ibu turun dengan sangat anggun dengan gaun berwarna krem dengan hiasan emas. Dia memberikan satu dua patah kata. Aku menatapnya dengan takjub.
Ibu memberikan ucapan terimakasih pada orang terdekat. Sang suami, yg sedari tadi menggegam tanganya dengan bangga. Dan seorang anak yg naik keatas panggung setelah disebut namanya.
Pria yg kuterka satu dua tahun lebih muda dari aku. Ibu memperkenalkan dengan bangga pria yg dianggapnya jenius dalam seni lukis ke hadapan pengunjung. Pria dengan mata yg sayu.
Salah satu karyanya di pamerkan. Lukisan yg dibuat pria itu waktu berusia 9 tahun. Si pria membuka kain hitam dari karyanya.
Dibalik pintu sebuah rumah dengan etalase kaca. Hujan turun menderas dari luar. Seorang wanita berteduh di depan pintu. Disampingnya sebuah sepeda berwarna pink tergeletak. Wanita itu menengadah melihat hujan.
-Perempuan di Bulan Juni-
Pengunjung menghamburkan tepuk tangan dan decak kagum pada keindahan dan rasa yg dihadirkan dalam lukisan bocah yg kala itu baru berusia 9 tahun. Ketulusan terwakili dalam tiap guratan warna dalam lukisanya. Cinta yg bisa dirasakan tanpa harus dikatakan.
Beberapa pengunjung terdekat naik memberikan selamat. Pertama sekali seorang wanita dengan gaun berwana marun. Masih sama cantiknya seperti ketika pertama kali kukagumi belasan tahun lalu. Digandengnya tangan seorang gadis kecil dengan gaun yg juga berwarna merah. Rambutnya diikat dua. Sama mempesona seperti Ibunya.
Wanita itu memeluk tubuh sang pria, sambil membubuhkan kecupan di pipi kanan dan kiri. Gadis kecil memeluk kaki sang pria, lalu diangkat tubuhnya keatas. Keduanya tertawa. Si gadis kecil berbicara dengan suara manja
"Om.. Bagus sekali lukisanya."
"Terimakasih cantik. Ibu kamu yg mengajarkan om melukis sebagus ini."
Wanita bergaun merah tertawa. Seorang pria naik keatas panggung sedikit terburu.
"Maaf Katon, meeting di kantor baru selesai."
"Iyaa bang, tenang."
Si gadis kecil berpindah gendongan.
"Ayaah lihat deh, lukisan Om Katon bagus yaa. Ayah kenapa tidak bisa melukis seperti Ibu dan Om Katon."
"Sayaaang, tidak semua dilahirkan dengan bakat yg sama. Ada hal yg bisa dilakukan seseorang dan tidak bisa dilakukan orang lainnya. Begitu juga sebaliknya."
"Huft..." Sang gadis, memajukan bibirnya. "Ibu, kenapa Ibu mau menikah sama Ayah yg tidak bisa melukis seperti Om Katon."
"Jingga, orang dewasa menikah karena cinta bukan kesamaan. Karena yg terpenting adalah saling melengkapi. Lagi pula yg Om Katon cinta perempuan di lukisan itu bukan Ibu."
Aku memegang tangan Saka semakin erat. Seakan sedang menjaga hatiku untuk tidak lagi pergi ke dalam pria di depan sana.
Si gadis kecil tidak hentinya berbicara.
"Lalu kenapa Om Katon tidak menikah dengan perempuan dilukisan itu ?"
"Sayang, setelah dewasa nanti Jingga akan tahu bahwa tidak semua cinta ditakdirkan bersama. Mungkin Om tidak bisa memilikinya sebagai seorang laki laki. Tapi Om bisa menjaganya dalam diam sebagaimana selayaknya seorang adik menjaga kakak perempuanya."
Hujan tidak kembali datang dipenghujung Juni kali ini. Tapi sebuah tanda tanya dan kerinduan sudah dibawanya pergi.
Bukan tentang siapayg baik atau lebih baik. Siapa yg sama atau berbeda. Tapi siapa yg ditakdirkan.
Tidak semua kanvas dan kuas harus bersatu. Dari ribuan yg diciptakan kehedak si pelukislah yg berhak menentukan mana kanvas dan kuas yg akan dipasangkan.
......