Pria itu selalu duduk disana. Bangku tengah kafe ini. Setiap malam dia disana menatapku dibalik kaca mata hitam.
Pria itu memakani kemeja kotak kotak kecil berwana biru laut yg lenganya digulung. Celananya berwarna hitam. Sejenis jins namun tidak terlalu ketat. Ia menggunakan convers berwana abu abu dengan tali berwarna putih. Jam tangan hitam menglingkar sempurna di lenganya. Tampan.
Tapi ada sesuatu yg merusak penampilan pria itu. Sesuatu yg membuat ketampananya sedikit aneh. Pria itu selalu menggunakan kaca mata berwarna hitam. Ya sebetulnya cukup keren juga. Tapi ruangan ini adalah kafe dengan pencahayaan remang. Apa yg mau dia lihat dengan kaca hitam ?
Malam ini seperti malam malam lainya. Pria itu menitipkan setangkai mawar merah dan kertas kecil pada bartender yg ditujukan padaku.
"Mawar selalu merah. Dan kamu selalu cantik. Sebagaimana malam malam sebelumnya."
Cih. Cantik. Pria ini tidak ada bedanya dengan puluhan pria sebelumnya. Selalu menyanjungkun dengan kalimat cantik. Menyukaiku karena aku cantik. Mereka tidak pernah tau betapa aku benci dipanggil cantik.
Bukanya semua pria selalu begitu. Memberi harga wanita berdasarkan visualitas. Mereka tidak pernah tahu bahwa pada akhirnya visualitas itulah yg menyiksa wanita. Saling bersaing satu dengan yg lainya. Tidak pernah merasa puas atas apa yg didapatkan dari Tuhan. Semuanya demi itu, visualitas.
Banyak pria yg mencintaiku karena visualitas. Mereka bilang aku cantik. Dan aku benci itu. Sampah. Bukankah visualitas tidak pernah abadi sama seperti cinta mereka ?
Aku tidak akan membuka hati untuk cinta visualitas mereka. Sampah. Aku hanya akan mencintai seorang lelaki yg mencintaiku bukan karena aku Cantik. Tapi karena aku adalah aku.
....
Seharusnya aku lahir dengan nama Mulan. Mulanitya Sabrina. Tapi Ibu berubah pikiran setelah melihat wajahku. Cantik. Cantika Sabrina akhirnya nama terkutuk itu lah yg aku sandang.
Sungguh aku lebih suka dipanggil dengan Mulan. Nitya. Sabrina. Siti atau siapalah dibanding Cantik. Tapi sayangnya semua orang selalu memanggilku begitu. Dan mengingatkanku pada semua luka.
Sejak lahir aku tidak tahu siapa ayahku. Yg aku dengar dari kakak ayahku bukan orang Indonesia. Itulah yg menyebabkan mataku berwarna hijau safir. Kami dilahirkan dari ibu yg sama namun dengan ayah yg berbeda.
Bagi ibu kami adalah aset. Kartu as untuk terus mengikat keuangan ayah ayah kami atas nama tanggung jawab.
Tepat dua hari setelah ulang tahunya yg ke 15, Ibu memaksa kakak mewarisi profesinya. Menghidupi kami dengan uang suami wanita lain. Kakak tentu menolaknya tapi kami bisa apa ? Ibu lah pemimpinya.
....
Tengah malam lewat Ibu datang dengan menggandeng dua orang pria. Satu kekasihnya dan satu pria kaya raya yg akan meniduri kakak.
Pria itu berbadan gemuk. Pendek. Memakai jas hitam dengan kemeja putih dan dasi yg sudah tidak rapih. Kulitnya putih pucat. Seperti babi gempal yg tidak pernah puas. Di saku jasnya ada pin berbentuk garuda emas. Kalau kuingat sepertinya wajah laki laki paruh baya itu tidak asing. Aku pernah sekali dua kali melihat wajah itu di spanduk kampanye depan gang rumah.
Aku membawakan bir yg Ibu simpan dalam kulkas keruang depan. Laki laki berbadan gempal itu berjalan kearahku dan memegang pipiku.
"Siapa ini ? Dia punya mata hijau safir yg sangat indah. Cantik sekali."
"Itu anaku. Cantik. Bukankah dia secantik ibunya."
"Aah tidak. Dia jauh lebih cantik darimu. Dan dari anakmu yg satu lagi itu. Berapa yg harus aku bayar untuk anak ini ?"
"Tapi dia baru berusia 10 tahun."
"Alah. Persetan."
"Berapa kamu berani bayar ? 10 juta ?"
"Untuk gadis secantik ini berapapun akan aku bayar asal dia miliku malam ini."
Aku merinding. Ketakutan. Meskipun mereka berbicara agak rancu karena pengaruh alkohol. Tapi aku sedikit mengerti apa yg mereka bicarakan.
"Biar aku dandani dulu Cantik. Aku persiapkan dulu dia untuk anda."
Kakak bangkit dan membawaku ke ruang belakang. Ia berlari menuju kamarnya. Dan kembali lagi membawa kertas dan uang. Dia memeluk tubuhku. Membukakan pintu belakang. Dan menyuruhku segera pergi.
"Ini alamat ayah kandung mu. Ceritakan semuanya pada dia. Aku tidak mau kamu bernasib sama sepertiku. Pergilah cantik. Pergi yg jauh."
....
Dua tahun aku tinggal di rumah ayah. Dia sudah menikah dengan wanita cantik berkerudung yg aku panggil bunda. Untungnya mereka mau menerimaku. Dan tidak pernah mempermasalahkan siapa aku.
Aku punya tiga orang kakak laki laki. Salah satu kuliah di Singapura. Arjuna. Malam ini dia pulang ke Jogjakarta.
Bunda dan aku sibuk memasak makanan untuk menyambut kepulangan Abang. Malam ini sengaja diadakan pesta karena besok Ayah Bunda dan Bang Bima harus terbang ke Padang. Jantung kakek kumat lagi. Bang Tira tidak ikut karena kompetesi basket mengharuskan dia tinggal di asrama. Bang Juna tidak ikut katanya masih lelah. Dan aku ? Tentu saja aku ingin ikut tapi aku bukan anggota resmi keluarga ini. Kakek bahkan tidak tahu jika aku ada.
Diluar dugaan. Bang Juna juga tidak mempermasalahkan keberadaanku. Kami mendadak akrab bahkan sejak pertama kali bertemu.
Malam semakin menghitam. Ayah, ibu, dan Bang Bima sudah terbang pagi tadi. Bang Tira menginap di asrama malam ini. Bang Juna belum pulang. Aku masuk ke dalam kamar. Mematikan lampu. Dan menyelimuti tubuhku.
Lewat tengah malam. Aku mendengar pintu kamarku terbuka. Pintu kamar yg memang tidak biasa aku kunci. Lampu kamar tidak dinyalakan tapi aku bisa menerka wajah itu dalam remang.
"Abang udah pulang ?"
Laki laki itu menyalakan lampu. Berjalan mendekat ke arahku. Dia membelai rambutku.
"Stt... Diam ya Cantik."
Laki laki itu membelai pipiku. Mendekatkan bibirnya ke arahku. Sontak aku mendorong badanya. Tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk menjauhkan tubuhnya.
Lelaki itu mencengkram lenganku dengan kuat. Sakit. Dia membuka beberapa kancing kemejanya. Mendekatkan badanya. Aku meronta semakin keras. Aku berusaha meraih apa saja yg ada disekitarku. Boneka beruang yg ayah berikan mendarat di kepala pria itu.
Lelaki itu mencengkram tubuhku semakin keras. Mendekatkan mukanya ke mukaku. Aku menabrakan keningku di matanya. Lelaki itu mengaduh memegangi matanya yg biru.
Aku berusaha lari. Tapi diraihnya mata kakiku. Dia menyeret badanku. Menarik sebuah kursi dan mendudukan badanku. Aku meronta. Menjerit sekeras tenaga. Tapi tidak satupun orang ada di rumah. Dan rumah kami terlalu besar. Tetangga tidak akan mendengar teriakanku. Sekeras apapun aku berteriak.
Lelaki itu mengikat tanganku dengan dasi dan ikat pinggangnya. Keras sekali. Sakit. Aku berteriak semakin menjadi. Pria itu mengambil baju di lemari. Sepertinya dia ingin menutup mulutku. Aku berteriak sebelum suaraku menghilang tersumbat kain.
"Kenapa abang melakukan ini ?"
Laki laki itu tertawa. Keras sekali. Menghapus air mata dan membelai pipiku.
"Karena kamu Cantik."
Pria itu menyumpal mulutku dengan baju yg dia ambil. Dia membuka kancing celananya. Aku menutup mata.
Darah segar terciprat di mukaku. Suara pecahan kaca terdengar. Memecah keheningan.
"Apa yg Bang Juna lakukan ?"
"Diam kamu Yudistira !"
"Tapi dia adik kita."
"Dia terlalu cantik untuk jadi adik kita."
Kepala Bang Juna berdarah akibat lampu tidur yg di lembar Bang Tira. Mereka terlibat baku hamtam. Bang Juna memukul wajah Bang Tira. Mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Wajah Bang Tira dipukul bertubi. Bibirnya mengeluarkan darah segar. Bang Tira meraih pecahan lampu tidur dengan tanganya. Menusukan pecahan itu di perut Bang Juna, kakaknya.
Bang Juna mengerang kesakitan. Bang Tiar melepaskan ikatan di tanganku. Dan menggendongku keluar rumah. Membawaku berlari.
Aku tidak ingat lagi apa yg terjadi setelahnya. Yg aku tahu dua bulan aku berada di panti rehabilitasi anak korban trauma. Bang Tira mendekap di penjara. Dan Bang Juna terbaring di rumah sakit.
Setelah metalku kembali membaik. Aku memilih untuk pergi ke Jakarta. Tinggal seorang diri. Aku tidak mau lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa muak tapi aku juga merasa bersalah. Karena cantik aku membuat keluarga ayahku berantakan.
.....
Sudah delapan malam pria berkacamata hitam itu tidak duduk disana. Di bangku tengah cafe ini. Ya aku menghidupi diriku di Jakarta dengan bernyanyi di cafe.
Aku punya beberapa fans. Atau pria yg mendekatiku. Tapi tidak ada yg sekeras lelaki itu berusaha. Sudah 6 bulan dia selalu duduk di kursi tengah dan menitipkan bunga mawar pada bartender. Tidak pernah terlewatkan satu malampun.
Bukan. Aku tidak suka padanya. Bagiku dia sama saja dengan pria lainya. Bukankah sudah kubilang aku tidak akan jatub cinta pada lelaki yg mencintaiku karena aku cantik. Tapi benar apa yg orang bilang. Seacuh apapun kita pada sesuatu. Semuak apapun. Setelah terbiasa kemudian hilang selalu ada ruang kehilangan.
"Cowo yg biasa duduk kursi tengah itu kemana ? Tumben dia ga nitipin bunga buat gue ?"
Aku bertanya pada salah seorang bartender yg biasa memberikan bunga dan kertas darinya.
"Dia lagi operasi mata."
"Lah emang matanya kenapa ?"
"Dia buta dari lahir. Rentina matanya rusak. Setelah 23 tahun akhirnya dia menemukan seseorang mau mendonorkan rentina matanya."
"Buta ? Tapi bukanya dia selalu nulis kalimat di kertas ?"
"Bukan. Itu bukan dia yg nulis. Dia selalu nyuruh gue nulis kalimat itu."
....
Ada sesuatu yg harus aku tanyakan pada pria itu. Aku harus menanyakanya sebelum ia bisa melihat. Lewat bartender cafe itu aku tau nama rumah sakit tempat pria itu melakukan operasi mata.
Paviliun Matahari 17B
Pria itu tidur diatas ranjang. Dia seorang diri dalam ruangan. Matanya masih di perban.
"Siapa itu ?"
Ternyata pria itu memang tidak bisa melihat.
"Enggg ini aku. Enggg perempuan yg selalu kamu kasih bunga mawar."
"Hah ? Kamu ? Darimana kamu tau aku disini ?"
"Bukan hal penting aku tau dari mana. Aku datang kesini cuman buat bertanya ?"
"Hal seperti apa yg mau kamu tanyakan sampai kamu jauh jauh datang ke sini ? Bukankah kamu selalu mengacuhkan mawar mawarku ?"
Benar aku selalu mengacuhkan semua mawarnya. Tapi pria ini tidak pernah gentar untuk memberikan mawar di malam malam berikutnya.
"Apa kamu mencintaiku."
Pria itu tertawa. Memecah keheningan.
"Seharusnya kamu tau itu tanpa perlu datang jauh jauh kesini. Untuk apa semua mawar merah itu, untuk apa aku selalu duduk di bangku itu setiap malam selama 6 bulan kalau aku tidak jatuh cinta sama kamu ?"
"Kenapa kamu mencintaiku."
Pria itu menjawab dengan tenang.
"Karena kamu cantik."
"Dari mana kamu tau aku cantik ? Kamu buta."
Pria itu tersenyum.
"Karena cantik tidak hanya tentang apa yg terlihat. Tapi tentang apa yg dirasakan."
Aku merasakan luka luka itu memudar. Ini pertama kalinya aku tidak benci dibilang cantik. Akhirnya aku menemukan lelaki yg akan aku cintai. Lelaki yg mencintaiku bukan dari mata tapi dari hati.
......