Senin, 07 Desember 2015

Rahasia

Aku mencari pria itu keseluruh sudut ruangan. Tapi tak menemukan satupun tanda kehadiran. Seharusnya aku tahu ini bukan saat terbaik. Karena pria setenang dia tidak akan datang ke tempat seramai ini. 

Bising. Kenapa semua orang begitu bising ? Seolah olah saling bertukar pembicaraan tidak penting. Bising. Kenapa tidak ada khitmat. Tidakah bisa mereka berbicara dalam diam.

Jelas bahwa perpisahan adalah hal yg menyedihkan. Tapi kenapa malam perpisahan dirayakan dengan kesenangan yg berlebihan ?

Aku mencari apa yg tidak bisa ditemukan. Aku harus terus mencari. Karena tidak ada hari setelah hari ini.

Aku harus memberitahunya sebuah rahasia.
.......
Bangkok, 4 Maret

Puluhan wajah terlihat begitu ceria. Saling bertukar salam dan nama. Ini hari pertama kami saling melambaikan tangan. Sampai 6 bulan mendatang kami akan kembali melambaikan tangan.

Bukankah pertemuan dan perpisahan itu sama ? Keduanya terisyarat dalam lambaian tangan.

Tapi tidak dengan wajah di bangku belakang. Tenang dan tidak berbicara. Diam tanpa kata. Mengisyaratkan salam perkenalan tanpa bicara.

Dia tidak pernah bicara. Tapi tanpa perlu mendengar suaranyapun aku tau. Aku jatuh cinta. Awalnya kupikir ini hanya kenaifab sesaat. Tapi nyatanya hari membuat rasa semakin dalam terpatri. Sungguh aku benar benar menyukainya. Meski tidak sekalipun dia berbicara.

Bulan demi bulan berlalu. Mengebiri waktuku memandangnya dalam diam. Tidak. Aku harus memberinya tahu. Bukan untuk memilikinya. Sungguh. Hanya ingin memberinya tahu.

Menghargai rasa yg diberikan Tuhan dengan tidak membiarkanya terlewat begitu saja.
........
Tapi waktu membawa kesempatan berlalu. Dia tidak datang di malam akhir itu. Malam dimana aku seharusnya memberinya tahu.

Aku tidak pandai berkata manis. Atau membuat kejutan romantis. Tapi kali ini aku ingin menyampaikan yg dari hati. Sudah sebulan aku belajar memainkan gitar. Menyebalkan. Sungguh. Kuku tangan harus kurelakan patah dan memerah.

Tapi aku hanya ingin memberinya tahu. Memberinya kesan untuk mengingatku. 

Secret of my heart. Satu satunya lagu Jepang yg aku tahu. Aku sengaja tidak memilih lagu berbahasa inggris. Karena maknanya akan tertanggkap lebih dalam dengan bahasa ibu pria itu.

Lagi pula lagu ini benar benar menggambarkan aku. Bahkan sejak aku belum tau apa artinya. Nada yg terlantun begitu dalam menyimpan penantian dan rasa sakit. Nada yg terlantun begitu menyampaikan rasa yg terdalam. Bukankah yg dari hati akan sampai ke hati?

Tapi sekarang aku hanya bisa memegang CD lagu yg kubuat dengan kepasrahan yg dalam. Sebuah lagu yg tidak akan pernah tersampaikan. Pria itu tidak datang. Tidak juga bisa kutemui saat sebelum dia terbang. Pulang. Membawa cinta yg tidak tersampaikan.

Tapi aku bisa apa ? Melobi takdir dengan Tuhan ? Mana mungkin. Yaa semuanya akan semakin sakit jika tidak di ikhlaskan. Mungkin kali ini Tuhan mau aku belajar untuk tidak menyia nyiakan kesempatan.
.........
Rahasia hatiku apa kau mengerti
Bahwa kadang kadang setiap orang ingin berlari
Tapi itu tidak mengubah apapun
Aku tak bisa mengatakan, aku tahu saatnya kau tiba
Aku sedang memanggil satu kesempatan

-Secret of My Heart-

Tuhan menjanjikan lebih ketika kita berhasil mengikhlaskan. Sekarang aku tahu itu. Dia bukan berkata tidak tapi berkata tunggu. Untuk hadiah yg lebih manis.

Pria itu duduk disampingku. Menunggu pesawat yg ternyata sama terlambatnya dengan punyaku. 

Kami berbicara. Dia bahkan tahu siapa namaku. Waktu demi waktu berlalu. Kami berbicara. Akhirnya sebelum pergi aku tahu bagiamana suara pria itu.

Malam datang. Pesawat belum juga datang. Ah dalam hati aku berharap selamanya tidak datang. Ruang tunggu semakin ricuh. Beberapa penumpang lelah menunggu. Memaki yg tidak pasti.

Pria itu menarik tangaku. Dia benci tempat ramai. Ketenangan adalah dia. Kami duduk di taman belakang bandara. Diam. Melihat bintang. Waktu demi waktu berjalan dalam kesunyian yg damai. Hingga pria itu tertidur di bahuku. Kami tidak lagi berbicara tapi kebahagiaan datang dalam diam.

Aku menyelipkan CD di ransel pria itu. Sesaat sebelum pesawatnya datang. Lalu lambaian tangan tanda perpisahan.

Aku tidak berdoa untuk waktu yg lebih lama. Karena kurang ajar sekali rasanya. Tuhan sudah mengabulkan doaku dengan lebih indah. Aku tidak berharap memilikinya, mendengar suaranya saja sudah cukup.

Semoga kelak di sana pria itu memutarnya. CD lagu yg dibuat dalam cinta. Menyampaikan rasa yg tidak pernah terkatakan.

Dan semoga pria itu membaca surat kecil yg terselip diantaranya :

"And the secret is i have seen a heaven within your eyes. But, those eyes are not belong to me"

Dianta doa doa malamku terselip nama pria itu. Sudah cukup. Menyebutnya dalam doa adalah caraku membuatnya bahagia. Caraku mengapresiasi cinta.
......




Rabu, 28 Oktober 2015

Wanita di balik Topeng

Bukan aku suka begini. Tapi mana bisa seorang hamba menawar kehendak tuanya ? Setiap lewat tengah malam. Bedak sudah bertaburan. Ditambah olesan eye shadow murahan. Ditutup dengan gincu merah. Merekah. Seperti setangkai mawar yg siap untuk ditiduri.

Aku tidak tahu apa fungsinya make up semedok ini toh sepertiga pertunjukan habis di balik topeng. Hanya beberapa menit diawal dan diakhir pertunjukan topengnya dilepaskan.

Aku melenggokan badan sesuai dengan pakem tarian dan langgam gending jawa. Di depan sana belasan atau bahkan puluhan pria menatap badanku nanar. Sambil sesekali mengusap liur yg berteteran.

Kalau aku punya ijazah sma tentu aku tidak akan begini. Aku bisa bantu jaga puskesmas atau balai desa. Lebih beruntung kalau bapak tidak perlu kena lumpuh layu. Aku sudah pasti menyusul Mas Parman ke kota. Jadi babu juga tidak papa.

Ah Mas Parman. Kalau ingat nama itu, semua kutukan dan protesku pada Gusti Allah berhenti untuk beberapa saat. Ya setidaknya diantara hidup Ratmi yg pahit ini masih adalah sedikit manisnya.

Mas Parman itu teman ngaji di langgar dulu. Dari kecil sudah sering main gundu. Lama lama jadi rindu. 

Tapi terus bapak kena lumpuh layu. Usaha gula arenya ancur lebur. Sisanya 27 juta dalam bentuk hutang yg harus dikembalikan. Sajane aku benci Bapak ya tidak. Toh bukan Bapak yg mau begini. Tapi dibilang engga benci ya benci juga sih, hidup aku jadi begini. Beban penghidupan keluarga plus hutang 27 juta. Berhentilah aku sekolah dan jadi penari topeng saja. Kalau lagi beruntung saweranha banyak lumayan buat cicil utang plus beli sedikit kosmestik murahan.

Mas Parman pergi ke kota. Jadi buruh pabrik sepatu. Niatnya buat bantu cicilan hutang biar aku tidak perlu kawin sama Argo. Anak kepala desa yg sudah lama naksir aku itu.

Bukan karena Argo tidak tampan. Atau berkelakuan minus. Tapi kadang hati punya kehendaknya sendiri to ? 
.....
"Tadi Argo sama Bapaknya dateng lagi. Tanya kapan kamu siap untuk dikawini. Bapaknya sudah beli cincin emas putih."
"Ratmi sudah bilang puluhan kali ke Bapak, Ratmi gamau nikah sama Argo."
"Karena janji jaman bahelamu sama Parman itu ? Ratmi sadar to. Sudah berapa taun Parman engga pulang ? Engga kasih kabar ? Bunga hutang Bapak makin menumpuk ndo."
"Loh yg hutang kan Bapak kenapa bukan Bapak saja yg kawin sama Argo. Karena Bapak penyakitan terus Ratmi yg harus jadi korban."

Tangan kiri Bapak yg masih bisa bergerak menamparku dengan kasar. Aku berlari membawa pergi rasa sakit.

Bukan cuman Bapak tapi semua orang menertawai kesetiaanku pada Mas Parman. Mereka bilang Parman tidak akan pulang. Sudah lima tahun berjalan. Tidak ada sedikitpun kabar.

Tapi semua janji yg sudah Parman ucapkan membuat aku terus bertahan. Karena cuman keyakinan yg bisa membuatku sedikit menertawai kutukan takdir. Cuman cinta yg membuat aku masih punya pengharapan.
........
Pentas malem ini selesai kemaleman. Sudah hampir pagi malahan. Aku jalan pulang sendirian. Melewati hutan diantara remang. Temanya ya cuman obor ditangan.

Takut ? Ya ndak lah. Buat wanita yg hidupnya dibalut luka macam aku apa lagi yg harus ditakutkan ? Setan ? Penagih hutang bapak lebih menakutkan.

Kata Sapardi tidak ada yg lebih tabah dibanding hujan bulan Juni. Tapi kenapa hujanya datang sepagi ini ? Sapardi ga bilang lagi hujanya sedingin ini.

Ada bilik kosong di pinggir kali. Lumayan dari pada kuyup. Bilik ini dulunya punya Kong Asman, tinggal sebatang kara. Ditinggal istrinya kawin lagi sampai hampir gila. Sekarang Kong Asman sudah punya bilik baru di surga dan yg ini tidak ada penghuninya.

Aku duduk di kursi depan, cahayanya remang. Hujan menetes dari awan. Tapi surya belum juga memunculkan sinar. Aku mendengar suara dari dalam. Rancu. Pengucapnya seperti sedang tidak sadar.

Takut kalau itu pemuda desa yg sedang mabuk. Aku berjalan pelan menjauhi biliki. Tapi langkah sepertinya terdengar. Mereka membuka pintu dari dalam. Merancu setengah tersadar. Lalu berjalan. Aku berlari ketakutan. Sendirian dibawah hujan tengah hutan. Obor sudah mati dimakan rintik hujan. 

4 pria ikut berlari di belakang. Rancu. Bersuara tak menentu. Aku mencoba berlari secepat yg aku bisa. Tapi jarit ini membuat semuanya sia sia. Salah satunya menarik bahuku. Menyeretku. Rancu. Tidak jelas apa yg dikata. Aku meronta. Tapi diseret masuk ke dalam. Berteriak tapi hanya srigala yg dengar. Salah satunya membenturkan botol minuman ke kepala. Lalu aku tidak sadar.
........
Enam bulan berlalu. Aku tidak pernah tahu apa yg sebenar benarnya terjadi malam itu. Yg aku tahu sekarang perut makin membesar. Menyimpan janin yg entah siapa empunya.

Seluruh desa menggunjing. Sudah bapak coba jelaskan. Sebagian mulai mengasihaniku. Tapi sebagian lainya tetap saja menghina.

Aku jadi wanita di balik topeng sekarang. Pura pura tidak peduli kalau dengar apa kata orang. Pura pura tegar kalau lihat mereka jijik memandangku.

Bapak makin pilu. Kakinya sudah mati sekarang pengharapanya pada akupun demikian. Penagih hutan datang. Bapak cuman membiarkan mereka mengacak acak rumah sesuka hati. Apa lagi yg harus kami perbuat.

Argo kadang datang tapi kali ini bapak yg menolak. Katanya malu sama anak kepala desa. Ratmi sudah tidak layak untuk anaknya.

Diantara luka yg diberikan hidup. Aku cuman berusaha menanti pengharapan. Mas Parman. Dia sudah aku kenal lama. Aku yakin dia mengerti. Aku yakin dia akan pulang dan membuka topeng ini.
....
Sore itu akhirnya Mas Parman datang. Penantian panjang akhirnya menemukan ujungnya. Bukankah selalu ada buah untuk setiap kesabaran ? Tuhan akan mempertemukan yg ditakdirkan.

Tapi wajahnya tidak menampilkan raut kerinduan. Wajahnya nanar penuh kemarahan. Mas Parman dengar apa yg dikata orang. Dan sekarang lihat sendiri bahwa itu benar.

Mas Parman cuman diam. Wajahnya penuh kemarahan. Aku tidak sekalipun mengenalinya. Dulu wajahnya selalu tenang. Dia pandai memaafkan orang. Tapi Mas Parman sekarang menakutkan. 

Air mata rindu berubah jadi penyesalan. Tapi aku tidak dihiraukan Mas Parman. Dia pergi tanda satupun kata yg keluar tapi aku mengerti dia tidak bisa menerimaku begini.

Sekarang apa lagi Gusti ? Apa lagi sakit yg mau Engkau hadiahkan untuk hamba ? Apa lagi yg dicari Gusti ? Pengharapan satu satunya sudah pergi.

Aku masuk kedalam. Duduk lesu di kursi kayu. Air mata berhenti menetes. Mungkin sudah tidak mampu melambangkan penderitaan yg aku alami. Aku diam nanar kedepan. Tidak ada yg bisa diharapkan.

Pria lain masuk ke dalam. Sepertinya dari tadi sudah menguping di depan. Dia lihat dalam diam. Bagaimana akhirnya cinta dan penantian berantakan. Seperti aku yg sudah hilang kehidupan.

Aku hanya bisa menunduk malu. Nanar menghadap ke tanah. Pria itu mendekat. Berlutut di depan.

"Ratmi, aku suka kamu sejak ngaji di langgar dulu. Diam diam aku suka dengar suaramu membacakan Qur'an. Sejak kecil aku mengagumimu dalam diam. Semenjak Bapak belum jadi Kepala Desa macam sekarang. Tapi tidak tahu apa aku pantas ? Karena jelas kamu cinta Parman."

Pria itu menghela napas panjang. Seperti lepas setengah beban yg dirahasiakan.

"Tapi aku tidak bisa menemukan cinta lain. Sampai aku putuskan buat melamarmu. Bapak setuju, Bapakmu pun begitu. Tapi cintamu tetap tidak untuku."

Sekali lagi ia menghela napas. Dan tersenyum. Senyum paling tulus yg pernah aku tahu.

"Ratmi, bagaimapun keadaanmu aku tetap bertahan dengan perasaan yg sama. Tidak sedikitpun berkurang semenjak di langgar dulu. Tapi kamu masih kukuh tunggu Parman dan aku juga sama masih kukuh nunggu kamu. Sekarang penantianmu sudah berakhir. Parman sudah pergi. Sekarang apa boleh penantiaku juga berakhir ?"

Aku memandang jauh kedalam mata pria itu. Mata yg selama ini selalu aku acuhkan. Mata yg ternyata menyimpan banyak ketulusan.

"Tapi Bapakmu tidak akan setuju Mas. Mana boleh aku jadi aib di keluargamu."

"Manusia seringkali menebak nebak isi hati. Padahal mereka bukan Tuhan. Mana bisa mengerti. Manusia sering percaya pada ketakutan yg dibuatnya sendiri. Padahal semua itu cuma spekulasi."

Pria itu tersenyum sekali lagi.

"Ratmi, kenapa tidak ada kesempatan untuk yg datang terlambat ? Padahal yg pertama belum tentu yg terbaik."

Air mata yg sejak tadi tertahan menetes bersamaan. Argo benar. Cinta bukan tentang siapa yg pertama kali datang. Atau siapa yg paling lama mengisi hati. Tapi siapa yg ada diakhir. 
......


Selasa, 15 September 2015

Mental Disorder

Aku tidak tahu apa yg salah, dunia atau aku. 

Kesadaranku masih hilang sebagian. Tapi aku tahu seluruh badan tidak bisa digerakan. Ada tali yg mengikat tangan dan kaki. Aku mencoba berteriak tapi tidak ada suara yg bisa keluar dari tenggorokan.

Aku berontok sekeras yang dibisa. Tapi kasur besi ini terlalu kuat untuk terkoyak. Aku coba berontak semakin keras. Kali ini berhasil menjatuhkan besi di samping kasur. Besi itu menarik selang infus dari lengan kanan. Darah mengalir dari arteri. Besi jatuh diatas saklar. Lampu remang ditengah ruang menyala.

Ruang ini dicat begitu pekat. Pengap meski kurasa ini tengah malam. Udara hanya bersikulasi lewat tralis besi yg dipasang sangat tinggi. 

Aku tidak tahu apa yg salah. Rasa takut menderapku dalam. Suara kaki berjalan di lorong luar. Pintu dibuka dua orang berpaiakan serba hitam masuk. Mendekat. Aku berontak semakin keras. Berteriak tapi tidak ada suara yg bisa dikerluarkan. Dua orang itu mengencangkan ikatan kaki dan tangan. Menusukan sebuah jarum di lengan. Aku berteriak tapi tak ada kata yg keluar. Salah satunya membungkam mulutku dengan kain hitam. 

Lambat laun kesadaranku semakin hilang.
......
Sudah lewat sepertiga malam. Sudah lewat 30 panggilan tanpa jawaban. 

Aku masih menanti pria itu datang. Untuk janji yg sudah diucapkan. Aku sudah sering menerima penghianatanya atas janji tapi kali ini sudah keterlaluan.

Aku sudah tidak lagi bisa mendengar nada sambungnya di panggilan yg ke 31.

Diantara sepertiga malam aku berjalan menyusuri Bakerstreet. Aku gedor pintu rumah nomor 221B. Mr.Hudson berdiri didepan pintu yg terbuka. 

Entah apa yg telah menghilangkan sopan santunku. Tapi aku lari saja keatas. Aku tau ada yg salah dengan pria itu, Sherlock.
....
Aku menghabiskan sisa sepertiga malam lainya di ranjang pria yg baru aku kenal setengah jam lalu. Aku sudah terlalu muak dengan penghuni Bakerstreet 221B itu. Dia pikir dia segalanya dan terlalu berharga hingga aku harus terus menghamba.

Ya harus diakui, aku sangat terobsesi dengan pria itu. Bahkan semenjak ibu membacakan cerita tentangnya 7 tahun lalu. Aku berusaha keras atau bahkan sangat keras untuk sekedar membuatnya melihat kearahku.

Tapi rasanya aku sudah terlalu lelah untuk terus menghamba. Untuk apa terus meminta pada apa yg tidak bisa diharapkan ?

"Obvious ! Dull ! You dont even know anything ! Its for a case !"

Bukankah aku yg seharusnya marah ?Aku jelas jelas melihat pria itu dengan wanita di kamar. Tapi dia bilang aku tidak tahu apa apa. Semua itu hanya untuk sebuah kasus.

Iya aku tahu pria yg sangat aku cintai itu seorang detektif. Iya aku tahu dia sudah banyak terlibat kasus yg aku sendiri tidak pernah terlibat. Tapi kasus macam apa yg menyebabkan seorang detektif harus bersama Irene Adler, wanita yg dulu sangat dicintainya. Tengah malam. Di dalam kamar. Tidak mengangkat telpon. Dan melupakan perayaan ulang tahun pacarnya ?
.....
04.27

Telpon berdering untuk yg ke 21 kalinya. Ah tapi persetan ! Aku masih terlalu nyaman dalam pelukan lelaki yg baru kukenal setengah jam lalu.

Lagi pula mana mungkin Sherlock ? Bukankan dia yg mengusirku dari Bakerstreet. Yaah, dia bahkan mengusir padahal aku yg memergokinya bersama wanita lain. Tapi aku bisa apa ? Aku terlalu menghamba sampai lupa diriku siapa.

08.35

37 pesan baru. Tapi ah persetan ! Mana mungkin Sherlock ? Kalaupun dia. Bukankah dia yg mematikan telponku dan menghabiskan malamnya bersama wanita lain.

10.37

Aku ingat bagaimana tujuh tahun aku berusaha mendapatkanya. Entah sampai sekarangpun apa aku sudah mendapatkanya. Tubuhnya memang miliku. Tapi hati siapa yg tahu ?

Aku ingat bagaimana sifat menjengkelkanya justru membuat aku sangat jatuh cinta. Sherlock sama seperti es krim, dingin tapi manis. 

Ah sial ! Semarah apapu aku padanya. Sudah kukatakan bukan aku terlalu cinta. Selalu aku yg mengalah dan meminta maaf. 

Masih tidak ada jawaban untuk setiap panggilan yg tertuju padanya. Aku tahu dari semalam aku tahu ada salah dengan dia.

Inbox 03.20: 
Help ! Call police ! Bakerstreet 221B
SH
....
Aku meminta supir putar arah. Bakerstreet 221B. Aku ingin sampai sana secepat yg aku bisa. Semoga Watson dan Polisi sama cepatnya sampai disana.

Bakerstreet 221B. Rumah itu terlalu ramai untuk semestinya. Belasan mobil polisi menyalakan alarm. Sekitaran rumah dibatasi dengan lakban kuning bertuliskan do not cross. Ms. Hudson duduk lemas di mobil berwarna hitam. 

Aku menerobos masuk mesti sudah diperingatkan. Watson tau siapa aku dan mempermudah segalanya. Aku lari keruang atas. Buku berserakan. Pecahan kaca diseluruh ruangan.

Aku lihat ada aliran darah. Dari kamar di pojok sana. Kamar Sherlock.

Kamar ini jauh lebih berantakan dari biasanya. Temboknya retak. Kursi dan meja patah. Diatas kasur ada satu buah senapan warna hitam. Irene Adler duduk tersungkur di samping meja. Pucat. Tanpa nyawa.

Aku memutar badan untuk melihat seisi ruangan. Mencari apa yg tidak aku temukan. Aku mengikuti aliran darah. Dibalik pintu. Darah bermuara di balik pintu. Dari balik toxedo hitam yg dikenakan seorang pria yg juga tanpa nyawa. Sherlock.

Aku tersungkur di depan pintu. Semua badanku kehilangan kemampuanya untuk bergerak. Aku tersungkur lemah di depan mayat pria yg paling aku cinta. Tidak ada kata yg bisa keluar. 
.....
Pelan pelan kesadaranku kembali. Semuanya masih sedikit remang. Cahaya hanya lewat dari tralis besi yg dipasang sangat tinggi.

Badanku kehilangan kemampuanya untuk bergerak. Tangan dan kaki diikat. Selang infus tertusuk di lengan kanan.

Aku mencari apa yg bisa aku lihat. Sebuah meja di samping ranjang. Diatas ada tiga tumpuk buku tebal. Tidak tertata dengan baik. Kanan kirinya tidak seragam. 

Dari sisi yg bisa terlihat aku coba baca apa yg tertulis, Arthur Conan Doyle. Aku coba menggerakan kepala sejauh yg dibisa. Di sampul depan tertulis, Sherlock Holmes. Di balik buku ada sebuah botol berisi obat yg tinggal sebagian. Tertulis diatas kertas berwarna biru muda : MENTAL DISORDER

Aku sekarang tahu jawaban atas apa yg aku pertanyakan. Aku tidak tahu apa yg salah, dunia atau aku. Dan jawabanya adalah aku.

Rabu, 22 Juli 2015

Cheating

Jika sempurna itu ada. Maka bagiku sempurna itu,dia. Wanita dengan gaun putih di depan sana.

Aku berbeda dengan Ibra. Tak banyak yg aku tau soal wanita. Yg aku tahu tak lebih dari sekedar aku jatuh cinta.

Malam ulang tahun Ibra tujuh tahun yg lalu. Aku selalu benci dengan pesta semacam ini. Bukankah aku sudah bilang aku berbeda dengan Ibra. Seperti Thor dan Loki tapi dilahirkan dari rahim yg sama. Ibra suka sekali berpesta, dan hidup dalam kebebasan. Sedangkan aku ? Aku lebih suka sendiri di dalam perpustakaan.

Mungkin karena aku anak pertama. Aku merasa punya tanggung jawab yg besar. Aku harus bisa menjadi Thor yg tidak membuat Loki merasa hidup dalam bayang bayang. Aku tidak akan mengambil alih bisnis Ayah dan membuat Ibra menjadi Loki yg dipenuhi rasa iri. Lagi pula aku sama sekali tidak tertarik dengan bisnis rokok Ayah. Aku bersumpah tidak akan hidup sebagai pembunuh sumblimental.

Aku merasa berhutang pada ribuan nyawa yg melayang akibat rokok yg bahkan tidak pernah kami hisap. Itu alasan kenapa aku ingin menjadi seorang dokter ahli penyakit dalam. Setidaknya itu bisa mengobati sedikit rasa bersalah di dalam diriku.

Yaa aku seperti kebanyakan calon dokter lainya. Berkaca mata tebal, dan selalu terlihat formal. Kalau bukan karena dipaksa Ibra aku bersumpah tidak akan pernah datang ke bar macam ini. Sebagian besar tamu Ibra adalah anak anak manja yg hanya tau hura hura namun memiliki masa depan terjamin akibat saham dan bisnis orang tua mereka. Berandalan terselubung yg tidak perlu takut melanggar hukum karena Ayah mereka punya cukup uang untuk membelinya. Ah !

Tapi ada satu tamu Ibra yg membuatku merasa berbeda. Wanita itu. Jingga. Dia berpenampilan hampir sama dengan sebagian besar tamu lainya. Sekujur tubuhnya ditempeli brand brand yg membuat kelasnya terlihat dengan jelas. Tapi dia berbeda. Caranya bersikap jauh berbeda dengan putri manja. Ada semacam keberanian, kekuataan, kemandirian dan kecerdasan dalam matanya. Kualitas teratas bagi seorang wanita yg membuatnya menjadi lebih mahal dari cantiknya.

Sayang aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Bukan aku tak punya nyali tapi aku masih punya hati nurani. Saat itu Jingga masih menjadi pacar Ibra.

Aku hanya bisa memandangnya dalam diam dari balik piano di ruang tengah. Sesekali mengajaknya berbasa basi kalau Ibra belum datang. Aku tahu batasku tapi maaf aku akan tetap menunggu. Jingga adalah wanita dengan kualitas nomor wahid. Tapi aku tahu betul bagaimana Ibra. Tinggal tunggu waktu. Ibra akan merasa bosan dan mengencani wanita lainya.
.........
2 tahun aku habiskan untuk menunggu Jingga putus dengan Ibra. 3 tahun aku habiskan untuk mengejarnya. Melakukan segalanya untuk membuatnya jatuh cinta. 4 tahun aku habiskan untuk berusaha keras membuatnya bertahan disisiku. Hingga akhirnya saat ini tiba. Saat dimana Jingga mencoba gaun pernikahan kami.

9 tahun hidupku berpusat pada wanita ini. 9 tahun perjuanganku untuk saat saat seperti ini. Aku tidak pernah tahu seberapa pentingnya wanita sebelum pesta malam itu. Sebelum pada akhirnya aku menemukan Jingga.

Selesai mencoba baju aku dan Jingga pergi ke salah satu hotel kelas satu di Jakarta. Malam ini keluarga besar kami akan bertemu untuk membicarakan segala macam keribetan pernikahan. Sebelumnya aku mampir dulu ke Soekarno Hatta, hari ini Ibra pulang setelah menyelesaikan gelar masternya di Harvard Bussines School. Loki kecilku yg nakal akhirnya tumbuh menjadi pria yg tahu bagaimana cara berdiri diatas kakinya sendiri, bukan bersandar pada uang Ayah kami.

Ibra memeluk Jingga. Khas berandalan Amerika yg tidak tahu cara menghormati tempat umum di Indonesia. Sial dia memeluk dan menepuk pantatku juga. Seperti sepasang gay yg baru merayakan  LGBT dan meniat untuk langsung terbang ke Amerika. 

"Long time no see, Bang. Waktu Bunda ngabarin gue tentang rencana pernikahan lo gue bersyukur banget ternyata lo bukan gay, Bang. And you'll married with the most beautiful woman in this country. Woow !"

Khas Ibra, lelucon yg menjengkelkan. Tapi Ibra selalu tahu cara bersikap dan mencairkan suasana. Lelucon murahan macam itu nyatanya selalu bisa membuat kami semua tertawa. Aku bahkan tidak pernah bisa membuat Jingga tertawa selepas itu. Bersamaku Jingga selalu menjadi wanita anggun yg berkelas tapi disamping Ibra Jingga bisa menjadi bocah yg tertawa dengan sangat lepas.
......
Empat bulan sebelum pernikahan kami. Aku harus kembali ke Berlin. Mengurus segala tetek bengek demi diwisuda. Sayang Jingga tidak bisa ikut. Dia harus menjalani apa yg dinamakan orang Jawa sebagai pingitan.

Aku mengawasi semua persiapan pernikahan lewat teknologi yg dinamakan Skype. Ya memang teknologi bisa membuat semua yg jauh terasa dekat. Tapi tetap saja bukan kedekatan yg sebenarnya. 

Komunikasi kami sebatas maya. Jingga seperti kehilangan atensinya untuk berbicara denganku. Semua yg kami bahas sebatas formalitas. Kami juga jadi sering bertengkar. Entah apa yg sebenarnya dipertengkarkan tapi ego membuat kepala jadi susah didinginkan.

Sudah hampir 2 minggu aku dan Jingga tidak saling berbicara. Aku merasa dia semakin menjauh. Terakhir kali aku coba telpon dia bilang, nanti kita bicarakan kalau kamu sudah di Indonesia.
......
"Mang, kok cuman mamang yg jemput ? Yg lain kemana ?"
"Yg lain sudah nunggu aden di rumah."

Akhirnya aku pulang ke Jakarta. Tapi tanpa sambutan yg meriah. Ayah, Bunda, dan Ibra bahkan tidak ada di bandara. Apalagi Jingga.

Benar apa yang Mamang bilang. Semuanya ada di rumah. Bahkan Jingga dan kedua orang tuanya. Aku memeluk tubuh dan mencium kening wanita yg sangat dirindukan itu. Tapi dia hanya diam. Seperti kehilangan kehangatan. Semua diam. Dengan wajah muram dan sedikit tegang. Entah apa yg terjadi.

"Duduk Harjun. Ada yg mau Ibra bicarakan sama kamu."

Suara ayah memecah keheningan. Aku duduk dalam keanehan. Entah apa yg terjadi.

Ibra menegakan wajahnya yg dari tadi tertunduk. Pucat pasi. Keringatnya terlalu berlebihan untuk suhu ruangan sedingin ini. Ibra punya jiwa yg sangat bebas. Ia sama seperti Loki yg kehilangan rasa takut untuk apapun. Prinsipnya adalah menikmati kehidupan. Baru kali ini aku melihat ketakutan dalam matanya.

Ibra menarik napas dan bersiap untuk berkata. Sebelum Jingga mendahuluinya. Menenggelamkan mukanya di pahaku lalu menangis. Entah apa yg terjadi.

"Aku tidak tahu apa aku pantas untuk bilang maaf Harjun."

Wanita yg sangat aku cintai itu menangis. Dan berkata bersama luka.

"Aku hamil."

Wanita yg sangat aku cintai itu menangis. Dan berkata bersama luka.

"Dan ini anak Ibra."

Wanita yg sangat aku cintai itu menangis. Dan berkata bersama luka. Entah apa yg terjadi.
......
Dan disinilah aku sekarang. Di dalam gedung yg seharusnya menjadi tempat paling sempurna. Melihat ke arah wanita dengan gaun putih yg seharusnya menjadi wanita paling sempurna.

Tapi segala penantian, perjuangan, dan ketulusan selama 9 tahun untuk hari sempurna ini sudah menjadi sia sia. Bukan aku disisinya tapi Ibra.

Seminggu sebelum disebar nama calon mempelai pria dalam undangan itu diubah. Dari namaku menjadi nama adik laki lakiku satu satunya.

Bukan aku tidak merasakan luka. Tapi aku hanya mencoba menjadi pria dewasa yg berani menghadapi segala luka yg dihadiahkan dunia. Takdir selalu punya banyak hal yg tidak terduga. Ia mengembalikan apa yg seharusnya dikembalikan termasuk cinta.

Aku mengambil sebotol anggur dan meminumnya seperti onta yg baru menemukan oasis. Demi apapun ini pertama kalinya aku mabuk. Dengan kesadaran yg tinggal setengah aku berlari keatas panggung. Duduk dibelakang deretan tuts piano. Memainkannya dan menanyi dalam kesadaran yg tinggal setengah.

I can see the pain living in your eyes and i know how hard you try
You deserve to have so much more
I can feel your heart and i sympethize
And i'll never critizise all you ever mean to my life

I dont wanna let you down, 
I dont wanna lead you on
I dont wanna hold you back from where you might belong

You would never ask me why my heart is so disguise
I just cant live a lie anymore
I would rather hurt my self than ever make you cary
There's nothing left to say, oh goodbye

Goodbye - Air Suply

Aku menghiklaskan satu satunya wanita yg pernah aku cinta. Tidak. Aku tidak merasa kalah karena tidak berhasil memilikinya. Aku justru merasa menang karena berani memberinya kebebasan untuk memilih dan berhenti berpura pura mencintai aku.
.......

Minggu, 05 Juli 2015

Destiny's Game

19.25

Ah ! Aku selalu mengutuk Jakarta dan semua hiruk pikuk plus kemacetanya yg sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kalau tadi aku tidak menerobos jalur busway pasti pesawat ini sudah terbang. Jelas, aku tahu itu perilaku yg salah. Tapi kondisi kadang memaksa seseorang melupakan mana yg salah.

Aku merubah ponsel menjadi mode pesawat. 2 jam lagi aku sampai di Jogjakarta.

Ya, Jogja selalu punya cerita. Kota kecil dengan tradisi dan sejarah yg panjang. Kota yg selalu punya kisah istimewa.

Jogja seperti rumah yg menanti aku untuk kembali. Aku menemukan sesuatu disini. Sesuatu yg membuat aku lari dan akhirnya mencari mencari kembali.

Aku sengaja datang 3 hari lebih awal dari hari pernikahan Zahra. Aku mau punya waktu untuk mencari kembali apa yg sudah kutinggal pergi.
....
Jogjakarta, pertengahan Juni 5 tahun lalu.

"Lain kali ati ati nonaa"
"Gue pikir Jogja beda sama Jakarta."
"Copet mah dimana mana sama aja."

Pria itu mengembalikan dompet merah marun yg tadi sempat dibawa seseorang pergi. Dia membuka masker yg menutupi sebagian wajahnya dan mengulurkan tangan.

"Abimanyu."

Sebagai tanda terima kasih. Aku harus menuruti keinginan pria itu. Kami janji bertemu di Malioboro.

"Are you ready to find some fun ?"
"Awas lo ya macem macem sama gue !"
"Tenaaang nona, nih kalau perlu pegang ktp aku sebagai jaminan."

"Come on !"
Pria itu menarik tanganku, dan membawaku pergi. Kami berjalan disekitaran Jogjakarta. Pria itu dan segala tingkah konyolnya membuat aku lupa rasanya lelah.

Kami melewati banyak tempat bersejarah di Jogja. Dan dia menceritakan semuanya tanpa detail yg terlewat. Sepanjang jalan dia melakukan banyak hal konyol yg awalnya membuatku malu tapi lama lama aku merasakan kebebasan disisinya. Kebebasan yg membuat aku melupakan batasan batasan dan juga rasa sakit.

"Yeaaah here we are, nona !"

Damn ! You know where we are ? Abi bilang ini tempat paling cozy yg ada di Jogjakarta. Katanya semua penat bisa hilang. Dan tidak ada yg dilarang.

Nope ! Ini bukan bar atau semacamnya. Ini pasar malam. Ya literally pasar malam.

"Trust me ! Ini jauh lebih menyenangkan dibanding semua bar atau club mewah dijakarta. You can be anything you want without beer. Emmmm dan hari ini aku pengin kita jadi jadi anak kecil. Bersenang senanglah, nona !"

Abi benar benar membuat aku kembali menjadi anak kecil. Setiap detik bersamanya membuat aku lupa semua masalah yg membawaku berlibur ke Jogja. Abi membuat aku menjadi aku tanpa pernah menuntut apapun.
....
Kami menginap di sebuah losmen. Tapi tentu dengan kamar yg berbeda. 3 hari berlalu dengan banyak kebahagiaan.

"Kata mas Abi, saya harus menutup mata Non."
"Eh bu tapi..."

Abi selalu punya cara membuat liburan kami penuh warna. Eh hal konyol apa lagi yg mau dia lakukan malam ini.

Ibu pemilik losmen membuka penutup mataku. Ada semacam tenda berwarna merah di tepi pantai. Dikelilingi dengan lilin dan bunga mawar merah.

Didepan sana duduk Abi sedang memegang gitar dan memainkan sebuah lagu.

Beautiful Girls - Christian Bautista

Setelah nada terakhir di lagu itu. Abi datang dan mengulang beberapa lirik di lagu itu.

"Its was destiny's game when love finally came on. I just knew i'm in love again after a long long while. Did love again."
"Maksud lo bi ?"
"Ya aku suka sama kamu."
"Nama asli gue aja lo gatau gimana lo bisa bilang suka ?"
"Cinta bukan tentang seberapa dalam kita mengenal seseorang, tapi seberapa dalam kita memahami perasaan kita sendiri."

Aku berlari masuk ke dalam losmen. Kalau bisa rasanya aku ingin berlari jauh kembali sebelum tiga hari. Yg Abi tau ada sesuatu yg salah dalam percernaanku. Aku bilang akan memberinya jawaban senja besok hari.
.......
Diakhir sepertiga malam aku mengemasi sebuah barang barang. Aku harus pergi sebelum Abi bangun. Tidak, tidak ada yg salah pada Abi. Hanya saja dia datang disaat yg sangat tidak tepat.

Bohong kalau aku harus bilang aku tidak tertarik padanya. Abi tampan, dia punya sayu yg menenangkan. Tapi aku sedang pada masa tidak mempercayai semuanya. Terutama mereka. Kaum pria.

3 hari yg lalu hakim mengetuk palu perceraian kedua orang tuaku. Ayah menggugat cerai Ibu untuk menikahi perempuan yg setahun lebih muda dari aku. Ayah melupakan aku dan Ibu demi apa yg katanya dinamakan Tuhan dengan cinta. 

Aku lari dari rumah. Seorang diri berlibur ke Jogja. Mencari ketenangan. Bukan pria. Dalam hati aku tau Abi bukan Ayah. Tapi di sisi hati lainya aku tau aku sedang tidak bisa mempercayai mereka.
.....
5 tahun berlalu. Dan aku menyesali itu. Pergi diam diam dari Abi. Satu satunya laki laki yg pernah aku cintai. 

Entah apa yg nanti mungkin terjadi. Tapi aku rasa sudah saatnya aku berhenti menjadi seorang pengecut. Sudah saatnya aku lari karena takut pada luka.

Aku mencari Abi ke semua tempat yg pernah kami kunjungi. Ini peluang terakhir yg aku punya. Pergi ke losmen tempat dulu kami menginap.

"Yaah mbak, kenapa baru dateng ? Semenjak mbak pergi mas Abi selalu dateng kesini loh. Udah tiga tahun dan hampir setiap minggu. Dia selalu tanya ke saya apa mbak dateng nyari dia. Sebentar mbak."

Ibu pemilik losmen masuk ke dalam. Dan keluar dengan setumpuk surat.

"Ini semua surat yg ditinggalin sama mas Abi buat mbak. Katanya dia gatau dimana harus cari mbak. Tapi kalau ga salah ini surat terakhir yg mas Abi titipin ke saya. Sekitar setahun lalu kalau saya ga salah. Habis itu udah mas Abi ga pernah dateng lagi mbak."

Aku mengambil semua surat dari Ibu pemilik losmen. Aku baca satu persatu surat yg dibuat Abi. 231 surat ini isinya hampir sama. Tentang rasa cinta dan penantianya.

Aku menyimpan surat terakhir dalam saku celana. Surat yg belum siap untuk aku baca. Aku janji aku akan membalas semua penantian Abi untuk ini. Aku akan mencarinya. Dan surat terakhir ini hanya akan aku baca setelah aku menemukanya.
....
Aku bisa sedikit melupakan Abi disini. Pernikahan Zahra, sahabatku sewaktu SMA. Seperti takdir Zahra memilih menikah di Jogja. Seperti takdir Zahra mengingatkanku untuk kembali ke tempat dimana seharusnya aku kembali.

Pernikahan Zahra diadakan di sebuah gedung yg menghadap langsung pada pantai. Dekorasi putih dan merah dengan bunga bunga mawar yg cantik.

Aku bertemu dan bernostalgia bersaama beberapa teman lama. Setelah hampir tiga perempat jam kami habiskan untuk berbincang akhirnya kami masuk ke dalam. Antrian menyalami mempelai cukup panjang.

Zahra terlihat sangat cantik dengan gaun putih bercampur sedikit merah. Sesuai dengan tema resepsi ini. Aku mengamati mempelai pria. Selama ini aku tidak tahu siapa pacar Zahra. Yg aku tau cuman hampir setahun mereka berhubungan.

Aku merasakan ada sesuatu yg beda dimata mempelai pria itu. Sesuatu yg sepertinya sudah lama aku rindukan. Antrianku semakin dekat. Dan wajahnya semakin jelas. Wajah yg sangat aku rindukan.

Aku mengucapkan selamat pada Zahra dengan susah payah menahan air mata. Dan menyalami mempelai prianya yg terlihat sangat tampan dengan jas putih berpadu dasi dan kemeja merah. Kami bersalaman. Ia memandang wajahku cukup lama dan menghela napas panjang.

"Nona"

Rasanya aku ingin waktu berhenti disini. Rasanya aku ingin waktu memberi waktu untuk menghapus luka dan kerinduan yg telah jauh berlalu. Tapi tamu undangan lain mendesak dari belakang.

Aku berlalu pergi. Berjalan sejauh yg aku bisa. Keluar dari ruang resepsi ini. Rasanya aku ingin menumpahkan semua luka pada deru ombak di depan sana.

Aku merasakan sakit atas kerinduan dan luka yg terlalu menyesatkan. Aku meneteskan semuanya. Akumulasi air mata dari semua kerinduan selama 5 tahun yg aku punya.

Dari dalam terdengar suara seseorang bernyanyi. Aku tau betul ini suara Abi. Dia menyanyikan lagu yg sama tapi untuk orang yg berbeda. 

You said hello, and i turn to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew i'm in love again after a long long while 
Did love again
Its was destiny's game when love finally came on
I rush in line only to find that you were gone

Beautiful Girl - Christian Bautista

Pisau tumpul itu menusuk disini lebih dalam. Lebih sakit dari yg sebelumnya aku rasakan.

Aku membuka surat terakhir Abi yg aku simpan di saku celana. Surat aku janji hanya akan aku buka saat aku sudah menemukanya.

Dear nona yg tidak pernah aku tau siapa namanya,

Aku selalu kembali ke tempat ini. Sudah empat tahun. Tapi mungkin ini saatnya aku berhenti. Karena kamu tidak akan kembali.
Nona, cinta itu seperti minuman kaleng. Semuanya punya batas kadaluarsa. Selagi ada jangan disia siakan nona. Karena nanti kalau batasnya sudah terlewati sama seperti minuman kaleng. Hanya bisa menyakiti.
Maaf karena tidak menunggumu sedikit lebih lama.

Abimanyu,

Penyesalan semakin menyebar di dalam sini. Semakin menyakitkan. 5 tahun aku buang untuk mempersiapkan diri dan membiarkan kesempatan berlalu pergi.

Bait terakhir lagu yg terdengar dari dalam. Lagu yg dinyanyikan Abi.

Its was destiny's game when love finally came on
I rush in line only to find that you were gone

Suara Abi membawa pergi semua rasa pada debur ombak di depan sana.
......

Selasa, 23 Juni 2015

Dosa dalam Sujud Terakhir

Kalau harta berarti bahagia maka pria itu sempurna berbahagia. Hitung saja berapa jumlah mobil mewah yg terjajar di garasi. Atau coba cari nama Arjun Dharmawangsa di daftar pemilik saham perusahaan perusahaan konglomerat Asia. Tak sedikitpun dapat kau temukan cacat pada bahagianya.

Tapi harta berarti bahagia hanya bagi mereka yg tidak memilikinya. Bukankah selalu begitu ? Semua yg tidak ditakdirkan untuk kita terlihat lebih indah?

5 bulan berlalu tanpa satupun kerabat yg datang. Pria dengan kebahagiaan yg sempurna itu tertidur dengan wajah penuh luka. Lengkap dengan selang infus dan alat bantu bernapas. Tak ada bunga, hadiah, atau doa untuk kesembuhanya. 

Kalau harta berarti bahagia seharusnya sempurnalah kebahagianya. Tapi kenapa tuan dipenuhi kepedihan. Matanya menggambarkan kesepian. Badanya melukiskan kesakitan.
....
"Maaf. Maafkan aku. Maaf. Jangan. Jangan. Maaf."

Malam ini seperti malam malam sebelumnya. Selama 15 tahun setiap malam tuan selalu mengigau. Hartanya berlimpah. Kasurnya super mewah. Tapi tidurnya tidak pernah tenang.

Sama seperti setiap malam aku membangunkan tuan. Dia memeluku dengan keringat dan air mata yg becampur.

Tuan selalu ketakutan. Katanya dia punya dosa besar yg selalu menghantuinya setiap malam. Entah. Tapi sejujurnya dosanya memang banyak. Tuan adalah pria ambisius yg rela melakukan apapun demi ambisinya. Termasuk melanggar hak orang lain. Itulah kenapa tuan tidak memiliki siapapun dan dibenci banyak orang.

Tapi karna sudah 15 tahun bersamanya. Aku melihat kehidupanya lebih dekat. Aku melihat dari sudut pandang yg berbeda. Bukanya benci aku justru kasihan pada tuan. Bukankah pada dasarnya semua manusia itu baik ? Bukan jahat. Tuan hanya pria yg terperangkap dalam ambisi. Dia hanya ingin memutar balikan takdir. Dulu dia dihina karena kekurangan harta. Dan dia berusaha keras untuk tidak selamanya dilecehkan.

Sekarang biar aku sedikit bercerita tentang aku. Ya. Aku sama sebatang karanya dengan tuan. 15 tahun lalu tuan mengambilku dari jalanan. Katanya dia butuh supir untuk bekerja.

Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Ayah. Ah benci sekali kalau aku harus menyebut bajingan itu. Entah aku tidak pernah tau siapa namanya. Aku hanya tau ceritanya.

20 tahun lalu bajingan itu datang ke rumah kakek. Dia mahasiswa dari Jakarta sedang PKL di desa. Ibu adalah anak kepala desa tempat bajingan itu tinggal sementara. Suatu malam mereka membuat dosa yg berhasil menciptakan aku dalam dunia. Setelah tau aku ada dalam perut ibu bajingan itu lari. Pulang kembali ke Jakarta. Kakek dan desa mengusir ibu. Kata mereka aku dan ibu adalah aib.

Ibu pergi ke Jakarta untuk mencari bajingan itu. 6 bulan berlalu menjadi pencarian yg sia sia. Pertengahan malam di awal September ibu berteduh di bawah jembatan layang. Lalu aku melonjak minta dilahirkan. Ibu berjuang sendirian dibawah hujan. Diantara darah hujan dan tanah aku dilahirkan. Ibu memotong sendiri tali pusar yg menyatukan kami. Darahnya menderas dibawah hujan. Hingga habis nafas. Dan aku menangis sendirian.

Esoknya aku ditemukan sekelompok pengemis dan preman. Ibu dikuburkan aku dibesarkan. Ayah, ah maksudku bajingan itu entah ada dimana. Dalam hati aku mengutuknya. Dalam hati aku membencinya.
.....
"Sudahlah dok. Tidak ada orang lain yg bisa dokter beritahu tentang hari kematianku. Dokter tidak pelu repot repot melapangkan hati keluarga pasien. Pasien ini sebatang kara. Tidak satupun peduli apalagi bersedih atas kematianya. Beritahu saja kapan aku mati."

"Saya bukan Tuhan yg berhak menentukan kapan anda akan mati."

"Alah. Aku selalu benci basa basi macam ini dok. Untuk apa dan untuk siapa aku harus bertahan lebih lama ? Dikubur sekarang atau besok juga sama saja. Paling yg menangis untuku hanya Tiro dan Husky. Supir dan anjingku. Sisanya hanya akan berkirim bunga dengan air mata palsu yg dipaksa diteteskan sambil menunggu pembagian saham."

Dokter Ali menghela napas. Kode etik kedokteran memaksanya untuk melapangkan hati keluarga dan mempertahankan semangat hidup pasien. Tapi untuk kali tidak ada hal dalam kode etik yg bisa dia lakukan selain berkata jujur.

"Sel kanker sudah menjalar semakin luas. Paru paru anda sudah tidak lagi bisa diselamatnya. Operasipun percuma. Kemungkinan paru paru anda bisa kembali berfungsi hanya 10%. Hanya keajaiban tuhan yg bisa membuat anda bertahan hidup lebih dari satu setengah bulan."

"Oh. Yasudah aku mau tidur. Siapa tau bisa mempercepat kematianku." 

Pria tua itu mengusir dokter Ali pergi. Aku duduk di kursi depan tv. Pria itu memiringkan badanya ke samping. Membelakangi aku. Mungkin pria tua terlihat keras dan tidak peduli akan kematianya. Tapi aku tau pria itu memikirkanya sepanjang malam. Ketakutan dan sendirian.
....
"Ayolah Tiro. Kalaupun aku harus mati aku tidak ingin mati dalam kesepian."

"Tapi tuan..."

"Tiro. 20 tahun aku hidup dalam ketakutan dan penyesalan. Aku hanya ingin berbahagia sebelum kematianku. Menebus semua dosaku. Dia satu satunya yg aku punya Tiro bantu aku mencarinya. Tapi kalau sampai mati aku belum bisa menemukan dia. Buka amplop ini dan cari dia. Berikan semua hartaku padanya. Aku rela memberikan semua yg aku punya untuk menebus dosaku. Tapi sayang yg aku punya cuman harta."

Dan aku terpaksa menuruti keinginan konyol tuan. Mencari anaknya yg ia sendiri tidak tahu dimana. Terakhir yg ia tahu anaknya ada di Jogja. Tapi tuan tidak mau naik pesawat. Katanya harus jalur darat. Siapa tau dia temukan anaknya di jalan.

3 hari sudah perjalanan. Seharusnya kami bisa sampai Jogja lebih cepat. Tapi tuan banyak maunya. Katanya ada banyak hal yg ingin dia lakukan bersama anaknya. Tapi karena yg ada hanya aku maka dia minta berakting sebagai ayah dan anak. Sepanjang perjalan ini aku harus berhenti memanggilnya tuan menggantinya dengan ayah.

Satu hari tuan ah maksudku ayah. Tapi ah aku lebih nyaman memanggilnya tuan. Ayah mengingatkanku pada bajingan itu. Kami pergi ke lapangan basket. Katanya tuan ingin mengajari anaknya bermain basket. Akhirnya aku yg diajari.

Hari lain kami pergi ke tempat bermain ps. Katanya ia ingin beradu ps dengan anaknya. Hari berikutnya ke pantai. Katanya tuan ingin melihat seja bersama anaknya.

Hari ketiga pemerintah menentukan 1 Ramadhan. Tuan minta aku mengantarnya ke Mesjid. Katanya dia ingin solat tarawih bersama anaknya. Tapi lagi lagi anaknya belum ditemukan. Dan kami solat bersama.

Kami tetap di Masjid menunggu subuh datang. Kami berbincang sepanjang malam. Perbincangan ayah dan anak. Ya kami masih berakting. 

"Tiro, jadilah laki laki yg berani bertanggung jawab atas semua dosa yg kamu lakukan. Jangan sampai kamu sepertiku hidup dalam penyesalan dan ketakutan."

"Dan sesusah apapun hidupmu. Uang bukanlah segalanya. Bukan itu yg menjamin kamu bahagia. Hiduplah dan habiskan waktumu dengan orang orang yg kamu cintai."

"Satu lagi maafkan orang orang yg menyakitimu. Banyak orang ingin minta maaf hanya saja mereka tidak tahu caranya. Dan tidak pernah berani untuk melakukanya."

Kalimat demi kalimat menemani malam kami. Sebelum tuan akhirnya tertidur.

Tengah malam tuan mengigau seperti malam malam sebelumya. Aku membangunkanya seperti biasa. Tapi tuan tidak terbangun seperti biasa. Napasnya semakin tersengal. Ia memegangi jantungnya. Aku berlari keluar dan berteriak meminta bantuan. Saat aku kembali jantung tuan tidak lagi berdetak. Aku mengusapkan tangan diwajahnya. Memejamkan matanya untuk selamanya.

Sial aku belum berhasil mempertemukan tuan dengan anaknya. Aku belum berhasil memenuhi permintaan terakhir tuan untuk makan ketupat lebaran bersama anaknya. 

Aku menangisi kematianya. Aku kembali sendirian setalah 15 tahun bersamanya. Aku menyesal tidak menjalankan actingku sebagai anak dengan maksimal. Dan membiarkanya mati dalam kesendirian.
....
Aku berpakaian serba hitam. Setelah malam itu tuan berpulang. Dia berpulang dalam kesepian. Hanya aku yg menangisinya karena kasihan.

Tapi ada satu tugas yg harus aku kerjakan. Mencari pria dalam foto di amplop ini.

Kata tuan dia satu satunya orang yg berhak atas warisan. Satu satunya orang yg dia punya. Katanya ini anaknya. Entah anak dari mana. Dia tidak pernah datang.

Kata tuan amplopnya hanya boleh dibuka setelah dia meninggal dunia. 

Aku menyobek bagian atas amplop hitam tersebut. Di dalamnya ada sebuah surat.

"Sewaktu muda aku berfikir bahwa uang adalah segalanya. Uang yg bisa membuat aku dan keluargaku lepas dari penghinaan. Aku terperangkap dalam ambisi besar. Aku melupakan banyak hal. Aku menghalalkan banyak hal. Dan aku hidup dalam dosa dosa besar. 
Aku hidup dalam ambisi yg berlebihan.

20 tahun aku hidup dalam ketakutan dan rasa bersalah.

Maaf karena aku terlalu pengecut untuk mengakui dosa dosaku. Bahkan dalam sujud. Aku takut mati dalam kesendirian. Aku takut melihat kebencian dalam matamu sebelum aku dimakamkan."

Aku memutar balik foto hitam putih yg ada disana. Sebuah foto tua yg hampir memudar. Tidak terlalu jelas. Tapi aku dapat mengenalinya. Wajah tuan sewaktu muda. Mengandeng lengan seorang wanita dengan rambut dikepang dua. Wajahnya sedikit samar. Tapi aku dapat mengenalinya. Wanita itu Ibu.
.....

Jumat, 12 Juni 2015

Divorce

Perempuan itu tertidur. Matanya hitam, akibat maskara dan eyeliner yg luntur. Perempuan itu terlalu lelah untuk kembali menangis.

Aku menutup sebagian tubuhnya dengan selimut. Merapikan rambut yg menutup wajah. Menghapus sisa air mata. Dan mencium keningnya.

Banyak yg berubah di wajah perempuan itu. Rambutnya tidak lagi tertata dengan rapih. Kuku yg dulu selalu terhias kutek merah, patah. Wajah cantiknya hilang dalam balutan rasa sakit.

Meskipun sudah dewasa. Tapi bagiku dia tetap sama. Perempuan kecil yg akan selalu aku lindungi. Perempuan yg selalu menempati posisi kedua setelah ibu. 

"Kenapa lagi sih adikmu itu mas ? Bertengkar lagi ? Dia itu terlalu keras jadi perempuan. Banyak menuntut."
"Jangan bicara sekeras itu."
"Biarin aja mas. Biar dia denger sekalian. Perempuan itu harusnya ngalah. Terima suami apa adanya. Seharunya dia bersyukur punya suami yg baik dan mau bertanggung jawab. Coba kalau waktu itu Bima lari. Mau apa coba dia ?"

Ada amarah yg menggerakan tangaku untuk menampar pipinya. Sekeras apapun sifatnya perempuan itu adalah adiku. Dan aku benci semua orang yg membuatnya semakin terluka, termasuk istriku sendiri.

Dibalik semua akibat selalu sebab.Tapi kadang yg terlihat hanya bagian akibat. Anjani kecilku bukanlah seorang perempuan yg keras. Tapi cinta dan luka telah berhasil merubah peringainya.
....
Musim hujan 5 tahun yg lalu.

Pernikahan selalu menjadi hal manis yg diimpikan semua perempuan. Tapi aku tahu bukan ini yg diimpikan oleh Jani.

Dia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun berwana putih. Wajahnya dipaksa untuk tersenyum di depan pendeta. Tapi aku tahu ada banyak luka di balik senyum itu.

Bukan seperti ini yg diimpikan oleh Anjani. Seharusnya dia menikah di masjid bukan gereja. Seharusnya Ayah ada disana. Bukan hanya aku disini.

Betapa bodohnya adiku itu. Dia merelakan sebagian besar hidupnya diatas cinta. Laki laki yg berdiri dengan tuksedo hitam di depan mimbar sana adalah Bima. Lelaki yg memberikan cinta dan juga luka pada Anjani.

Aku dan Anjani dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Islam yg kental. Anjani bahkan pernah sekolah di pesantren selama 6 tahun. Tapi pada akhirnya perempuan itu berada disini. Sebuah gereja, membuka penutup kepalanya, dan berpindah agama. Demi menikahi lelaki itu, Bima.

Ayah menentang Anjani. Tapi tekad Anjani sudah terlalu bulat. Sebulat perutnya yg sudah membesarkan embrio. Ayah mengusir Jani dari rumah. 

Jani mengorbankan mimpinya demi Bima. 22 tahun Jani bekerja keras untuk mimpi besarnya. Dan seluruh usaha keras itu seharusnya sudah membuahkan hasil. Jani diterima s2 di Harvard. Tapi pada akhirnya mimpi besar itu hilang demi cintanya.

Tentu saja Jani berubah jadi keras. Dia sudah mengorbankan banyak hal demi lelaki itu. Tapi hasilnya hanya luka. Jani menghabiskan semua tabunganya untuk membayar biaya sekolah pilot Bima. Tapi laki laki itu justru dikeluarkan dari sekolah.  Jani bekerja keras untuk menghidupi. Tapi laki laki itu hanya diam di rumah. Jani memberikan semua cinta dan ketulusan. Tapi laki laki itu pergi dengan perempuan lainya.

Mereka tidak pernah tahu apa yg sebenarnya. Dan selalu menyalahkan Jani atas sikapnya yg terlalu keras. Bima memang laki laki yg lembut. Tidak berkata kasar. Bertanggung jawab atas kesalahan spermanya. Tapi dibalik semua itu ada luka yg diam diam dia berikan pada Jani. Luka yg lebih menyakitkan dibanding tuntutan, amarah, atau sikap yg terlalu keras.
.....
"Mau ngapain lagi kamu Bim !"
"Sayang, aku minta maaf. Sungguh aku minta maaf. Aku sayang kamu. Kalau aku engga sayang buat apa aku bertahan selama ini. Silahkan cari laki laki lain di luar sana yg tahan dikasarin, dikerasin, direndahin ?"
"Emang aku kasar, tapi aku engga pernah ninggalin kamu buat laki laki lain. Aku kasar karena aku mau kamu berusaha lebih keras. Sebentar lagi Avka mau sekolah. Kamu tahu gaji ga akan cukup buat nyekolahin dia."
"Aku tau sayang. Aku bersyukur nikah sama kamu. Aku belajar buat berubah pelan pelan sayang. Aku juga pengin anak kita sekolah ditempat yg bagus. Aku janji bakal berusaha keras."
"Tapi kamu ninggalin aku buat perempuan lain."
"Aku udah engga sama dia sayang. Aku tau aku salah. Ternyata dia engga lebih baik dari kamu. Maaf sayang."
"Kamu pikir hati aku apa Bim ? Bisa datang pergi dan memberi luka sesuka hati kamu ?"

Bima berlutut didepan Anjani. Matanya meneteskan air mata.

"Maaf sayang. Aku mohon kasih aku kesempatan. Demi Avka. Demi perjuangan kita selama ini."

Jani memegang tangan lelaki itu. Mempersilahkanya berdiri. Lelaki itu mencium keningnya. Dan mereka pulang kembali.

Aku tahu bukan cinta yg membuat Jani memaafkan lelaki itu. Mana mungkin cinta masih tetap sama setelah luka ? Jani hanya takut pada perceraian. Jani takut Avka merasakan luka yg sama sepertinya ketika Ayah dan Ibu bercerai. Jani hanya takut karena sebagian besar hidupnya sudah terbiasa dihabiskan bersama Bima.

Aku tahu. Jani berusaha keras membohongi dirinya sendiri. Berusaha meyakini Bima akan berubah. Tapi aku juga tahu dalam hatinya Jani tahu Bima tidak akan pernah bisa berubah.
.....
Aku turun dari pesawat. Berlari keluar bandara. Memberhantikan taxi dan pergi.

6 bulan telah berlalu. Seharusnya aku berangkat ke Bangka bertemu investor. Orang penting bagi Chevron. Tapi aku membatalkanya. Orang yg harus aku temui jauh lebih penting.

Sebelum merubah handphoneku menjadi mode pesawat. Anjani menelpon. Adiku itu menangis dan memberitahukan dimana dia sekrang berada. Sebuah taman tempat kami bermain semasa kecil.

Aku menyuruh supir untuk memacu taxi lebih cepat. Aku tidak tahu alasan Jani menangis. 

Taxi berhenti di depan jalan kecil dekat taman. Aku berlari. Tengah malam hampir lewat. Penerangan di taman sangat remang. Hujan turun semakin menderas. 

Aku menemukan perempuan itu duduk dibawah sebuah lampu. Menghadap ke danau. Perempuan itu membenamkan wajahnya di dadaku. Menumpahkan tangisnya disana.

Satu jam berlalu dalam diam dibawah hujan yg menderas. Anjani mulai mengangkat wajahnya dari dadaku. Aku membuka jaket dan memakaikanya. Anjani menyandarkan kepalanya di bahuku. Satu satunya tempat dimana dia bisa bersandar.

"Tiga hari lalu kami bertengkar lagi. Aku marah karena Bima masih belum bisa memberikan uang yg cukup untuk biaya sekolah Avka. Bima bilang aku terlalu merendahkanya. Bima bilang aku tidak bisa menerima apa adanya. Aku pergi dari rumah. Aku pikir aku salah. Aku pikir aku mengeluarkan kata kata yg terlalu menyakitkan. Aku berniat kembali dengan membawa bunga sebagai permintaan maaf dan hadiah peryaan ulang tahun pernikahan kami."

Kemarahan mulai terlihat tercampur dalam air mata yg menetes. Perempuan itu melanjutkan kalimat dengan getir.

"Aku masuk ke rumah dengan kunci cadangan yg aku punya. Aku sengaja tidak bilang apa apa pada Bima. Aku ingin memberinya kejutan. Tapi ternyata Bima memberiku kejutan yg lebih tidak terduga."

Air mata perempuan itu mengalir dibawah hujan yg menderas.

"Bima tidur diatas kasur kami. Sebagian tubuhnya tertutup selimut. Tapi aku tahu dia tidak mengenakan apapun. Disampingnya tidur seorang wanita yg juga tanpa busana."

Tangisan wanita itu semakin terdengar menyakitkan. Dia terisak semakin keras.

"Apa salah aku, Bang ? Aku sudah merelakan semuanya buat Bima. Keluarga. Mimpi besar. Aku berusaha keras membangun hidup dengan pria itu. Aku bertahan diantara luka. Tapi ini akhirnya."

Aku menatap mata perempuan itu. Menghapus sisa air mata dan luka yg tertanam disana.

"Jani, tidak ada yg bisa menjamin orang lain membalas ketulusan kita. Cinta dan ketulusan bukan hutang yg harus dibayar. Tapi Tuhan akan memberikan apa yg pantas kita dapatkan."

Aku memegang pipi wanita itu. Sekali lagi menyeka sisa air matanya.

"Tuhan mau Jani berlajar dari rasa sakit. Waktu kecil Jani marah sama Ayah karena menceraikan Ibu. Sekarang Jani belajar. Tidak semua cinta harus bersama."

Wanita itu masih menangis. Aku tahu dia menghawatirkan Avka. Aku tahu dia takut Avka merasakan luka yg sama.

"Jani, Avka pasti lebih terluka kalau harus terus melihat ibunya menangis. Sama seperti waktu Jani kecil cabut gigi. Sakit sih. Tapi mending sakit sekalian kan ? Berdarah banyak tapi setelah itu tumbuh yg baru. Dari pada terus menerus merasa sakit karena hal yang sama."

Wanita itu memeluk tubuhku. Air matanya mulai berhenti.

"Abang punya tiket ke Amerika besok sore. Tadinya Abang mau nganter ayah berobat. Tapi kayanya kamu lebih perlu. Abang harus menjauhkan kamu dari Bima. Dan kamu bisa baikan sama Ayah. Aku yg akan mengurus surat perceraianmu di Indonesia."

Aku mengambil map plastik dari dalam tas. Dokumen yg sudah 5 tahun aku simpan.

"Nanti dulu bilang makasihnya. Abang masih punya sesuatu buat kamu. Form pendaftaran Harvard Bussines School."

"Tapi aku sudah terlalu tua untuk mimpi itu bang."

"Hidup cuma sekali Jani. Tidak ada yg terlambat. Kecuali kalau kamu sudah mati. Kamu ingat Satria ? Tetangga kita dulu ?"

"Satria bang ?"

"Iya. Jangan pura pura. Abang tau kamu pernah pacaran sama dia sebelum dia pindah ke Amerika. Sekarang dia sedang s2 di Harvard. Abang sudah bilang suatu saat nanti kamu akan kembali ke sana. Ayah dan kamu bisa tinggal sementara di rumah dia."

"Oh ya."

"Dan bonus terakhirnya."

Aku mendekatkan mulutku pada telinganya. Dan berbisik.

"Dia masih lajang."

Perempuan itu mendorong wajahku dan tertawa. Kami berpelukan dibawah hujan untuk waktu yg lama. Menikmati kembali masa kecil kami di taman ini.
....

Sabtu, 30 Mei 2015

Ruang ruang bersekat

Aku berdiri didepan sebuah nisan kayu yg melapuk. Nisan kayu yg mendatangkan rindu. Nisan kayu yg kembali membawa ingatan pada ruang ruang bersekat.

Dalam ruang bersekat itu kami menghabiskan banyak waktu. Berbagi satu potong roti atau sebungkus nasi basi. Dalam ruang bersekat itu kami tumbuh, menikmati rasa sakit yg dihadiahkan dunia.

"Copet ! Copet !"

Tujuh lelaki berbadan besar berlari di belakang. Jarak mereka semakin mendekat. Aku berlari sekencangnya. Tapi lubang di membuatku jatuh ke jalan tanpa aspal. Aku sudah tidak lagi bisa berdiri. Tujuh lelaki mulai terlihat berlari dari persimpangan jalan.

Tiba tiba seorang anak menarik tangaku. Membawaku bersembunyi di ruang sempit yg mebatasi dua rumah. Ketujuh lelaki berlalu pergi. Tetap berteriak. Tanpa melihat kami.

"Jangan jadi pencopet. Bodoh !"

Anak laki laki itu menghardik sambil meninju bahu kiriku.

Semenjak hari itu kami berteman akrab. Dia mengajaku untuk tinggal bersama di ruang bersekat. Sebuah rumah kardus di bawah jembatan layang.

Dalam ruang itu kami tinggal bertiga. Aku, Naga, dan Karin. Karin adalah adik perempuan Naga. Wanita kecil itu tidak banyak berbicara. Matanya terlalu sayu untuk terlihat bahagia. Kata Naga Karin masih trauma.

Sejak orang tua mereka meninggal karena kecelakaan, Karin dan Naga tinggal bersama paman mereka. Tapi sayang pria itu tidak merawat mereka dengan baik. Naga dan Karin selalu jadi tempat melampiaskan emosi. Hampir setiap hari mereka dipukuli. Apalagi kalau paman kalah judi, semalaman Karin dan Naga dicambuki.

Naga yg tidak tahan melihat memar di badan adiknya. Memutuskan untuk lari. Mengumpulkan receh dengan gitar kecil untuk hidup hari demi hari. Mereka mendirikan sebuah ruang bersekat yg disebut rumah.

"Yah mungkin kita memang tidak seberuntung anak anak lain yg tidur diatas kasur busa. Tapi setidaknya dalam ruang bersekat ini tidak ada orang dewasa yg berhak menyakiti kita."
.....
Aku menyesal karena tidak menepati janjiku pada Naga. Kali ini aku mencopet lagi. Aku hanya ingin membelikan Karin kue untuk ulang tahunya besok lusa. Dan aku rasa harga kue tidak akan terbayar dengan uang hasil ngamen. Alhasil aku berusaha mengambil dompet dari tas seorang ibu berbadan gempal yg terbuka. Sialnya lagi lagi aku ketahuan.

"Copet ! Copet !"

Kali ini dua belas laki laki berlari mengejarku. Mereka berlari lebih cepat dari yg dulu.

Tapi kali ini aku bersumpah tidak akan lagi jatuh ke lubang itu. 

Ah sial. Jalan di depanku ternyata buntu. Ada sebuah pagar tinggi. Bisa saja aku memanjatnya tapi sebelum sampai keatas dua belas pria itu pasti sudah sampai dan menarik kembali badanku.

Seorang anak laki laki melemparkan drum drum minya bekas dari balik pagar. Drum drum menggelinding. Memperlambat lari keduabelas laki laki tadi.

Aku berhasil melewati pagar dan kami berlari bersama. 

Sial. Ternyata tiga laki laki lain mengejar kami dari arah yg berbeda. Aku dan Naga berbelok ke kanan. Dan terus berlari.

Kedua belas laki laki mulai menyusul kami. Yg tiga lagi sudah semakin mendekat. Kami berlari sekencang yg kami bisa.

Lubang di jalan yg dulu. Aku bersumpah tidak akan lagi jatuh. Aku melompat. Tapi Naga jatuh.

Aku meraih tanganya dan membantunya berdiri. Naga menarik tanganya.

"Lari bodoh ! Lari !"
"Tapi"
"Cepat bodoh ! Lari !"

Naga mengambil sesuatu dari sakunya. Tiga buah gelang dengan inisial N,J dan K. 

"Berikan yg berisial K pada Karin. Itu hadiah ulang tahun untuknya. Dan katakan aku sangat menyayanginya."

Tiga laki laki sudah semakin dekat.

"Lari bodoh ! Cepat lari !"

Aku berlari. Bersembunyi di sela rumah tempat dulu Naga menarik tubuhku. Aku meringkuk dan menangis. Sekujur tubuhku berkeringat. Aku menangis.

Satu jam kemudian aku keluar dari tempat bersembunyi. Aku kembali ke tempat dimana Naga terjatuh. 

Naga tergeletak di tengah jalan. Sekujur tubuhnya lebam. Mulutnya mengucurkan darah. Jantungnya berhenti berdetak. Napas terakhir Naga berhembus di tempat itu. Tempat dimana dulu dia menarik badanku. Tempat dimana kami bertama kali bertemu. Dan tempat dimana untuk terakhir kalinya dia menolongku.
.....
15 tahun berlalu tanpa Naga. Aku dan Karin diadopsi. Kami tidak lagi tinggal di ruang bersekat. 

Karin tumbuh menjadi wanita yg cantik. Dua minggu lagi Karin akan menikah. Aku ? Tentu saja aku belum menikah. Mencintai perempuanpun aku belum berminat. Aku sudah berjanji pada Naga untuk mengaja Karin dan kali ini aku tidak akan mengingkarinya.

Semuanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang. Tapi sayang calon pria yg akan dinikahinya justru tertidur. Sudah hampir 5 hari. Tidur panjang akibat jantung yg semakin melemah.

Aku tidak tahan melihat mata Karin kembali sesayu itu. Sama sayunya ketika dia kehilangan Naga. Meskipun tidak menangis. Tapi aku tahu Karin ketakutan. Wanita itu paham betul sakitnya kehilangan.
....
Aku memacu mobil hitam yg diberikan ayah angkatku. Sampai pada batas kecepatan yg ada. Galih dalam kondisi kritis. Karin minta aku mengantarnya ke rumah sakit secepat mungkin. 

"Cepat ka ! Kalaupun Galih akan pergi sama seperti Ka Naga. Aku harus bilang dia tidak perlu menghawatir. Pergi saja dengan tenang. Nanti kalau Galih bertemu Ka Naga aku pengin dia bilang bahwa aku tumbuh dengan baik."

Karin berusaha keras meringankan kalimat. Tapi aku tahu dia merasakan sakit dan ketakutan. Sakit dan ketakutan yg sama seperti ketika aku bersembunyi di sela rumah dan meninggalkan Naga. Suaranya parau. Matanya menatap nanar ke arah gelang berinisial K yg melingkar di tanganya. Aku tahu Karin takut merasakan kehilangan semacam itu sekali lagi.

Aku memacu mobil semakin kencang. Sekencang yg mobil ini bisa. Aku menyalip sebuah truk yg berada di depanku. Tapi dari arah berlawanan sebuah mobil melaju sama kencangnya. Aku memutar kemudi ke arah kanan. Membiarkan mobil ini terbalik ke sisi kanan. Harus sisi kanan agar Karin yg duduk di kursi sebelah kiri tidak terluka dengan parah.

Aku terjepit diantara mobil yg terbalik ke arah kanan. Aku merasakan darah mengalir dari pelipis kanan dan hidung. Karin tidak terluka begitu parah. Tapi ah mata kananya terkena pecahan kaca mobil dan berdarah. 

Pelipis kananku semakin deras mengucurkan darah. Semuanya tiba tiba menghitam.

Aku memaksakan diri membuka mata. Ayah berlari di sisi kanan tandu yg membawaku ke ruang operasi. Seluruh badanku rasanya sakit. Bahkan untuk bernafaspun sakit. Bersusah payah aku mengeluarkan suara.

"Karin. Ayah dimana Karin ?"
"Karin baik baik saja Jugo. Dia ada di ruang operasi lain."
"Matanyaa ?"

Ayah diam. Aku tahu Ayah takut jawabanya akan membuatku semakin menghawatirkan Karin.

Aku menggenggam lengan Ayah dengan tangan penuh darah. Dia mendekatkan telinganya pada mulutku. Dia tahu aku semakin terbata bata. Semakin sulit bersuara.

"Ayah. Aku tidak perlu hidup. Aku hanya ingin menepati janjiku pada Naga. Berikan mataku pada Karin. Dan berikan jantungku pada Galih."

Air mata ayah menetes. Ayah mengerti. Dia menggengam tanganku yg berlumuran darah.

Badanku semakin sakit. Bahkan untuk bernafaspun sakit. Tapi aku merasa bahagia. Sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yg sangat aku rindukan. Naga.

Aku akan mengembalikan gelang berinisial N miliknya yg melingkar di tanganku selama 15 tahun. Aku akan berkata dengan bangga padanya bahwa aku telah menepati janji. Aku menjaga Karin sampai terakhir. Aku juga akan menyampaikan pesan Karin. Mengatakan bahwa adiknya itu tumbuh dengan baik.

Sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan Naga. Aku akan menceritakan banyak hal padanya. Aku akan menghabiskan banyak waktu denganya. Dan bersama sama kami akan menjaga Karin dari langit.

Selamat bertemu kembali, teman.
....



Selasa, 19 Mei 2015

Cantik

Pria itu selalu duduk disana. Bangku tengah kafe ini. Setiap malam dia disana menatapku dibalik kaca mata hitam.

Pria itu memakani kemeja kotak kotak kecil berwana biru laut yg lenganya digulung. Celananya berwarna hitam. Sejenis jins namun tidak terlalu ketat. Ia menggunakan convers berwana abu abu dengan tali berwarna putih. Jam tangan hitam menglingkar sempurna di lenganya. Tampan.

Tapi ada sesuatu yg merusak penampilan pria itu. Sesuatu yg membuat ketampananya sedikit aneh. Pria itu selalu menggunakan kaca mata berwarna hitam. Ya sebetulnya cukup keren juga. Tapi ruangan ini adalah kafe dengan pencahayaan remang. Apa yg mau dia lihat dengan kaca hitam ?

Malam ini seperti malam malam lainya. Pria itu menitipkan setangkai mawar merah dan kertas kecil pada bartender yg ditujukan padaku.

"Mawar selalu merah. Dan kamu selalu cantik. Sebagaimana malam malam sebelumnya."

Cih. Cantik. Pria ini tidak ada bedanya dengan puluhan pria sebelumnya. Selalu menyanjungkun dengan kalimat cantik. Menyukaiku karena aku cantik. Mereka tidak pernah tau betapa aku benci dipanggil cantik.

Bukanya semua pria selalu begitu. Memberi harga wanita berdasarkan visualitas. Mereka tidak pernah tahu bahwa pada akhirnya visualitas itulah yg menyiksa wanita. Saling bersaing satu dengan yg lainya. Tidak pernah merasa puas atas apa yg didapatkan dari Tuhan. Semuanya demi itu, visualitas.

Banyak pria yg mencintaiku karena visualitas. Mereka bilang aku cantik. Dan aku benci itu. Sampah. Bukankah visualitas tidak pernah abadi sama seperti cinta mereka ? 

Aku tidak akan membuka hati untuk cinta visualitas mereka. Sampah. Aku hanya akan mencintai seorang lelaki yg mencintaiku bukan karena aku Cantik. Tapi karena aku adalah aku.
....
Seharusnya aku lahir dengan nama Mulan. Mulanitya Sabrina. Tapi Ibu berubah pikiran setelah melihat wajahku. Cantik. Cantika Sabrina akhirnya nama terkutuk itu lah yg aku sandang. 

Sungguh aku lebih suka dipanggil dengan Mulan. Nitya. Sabrina. Siti atau siapalah dibanding Cantik. Tapi sayangnya semua orang selalu memanggilku begitu. Dan mengingatkanku pada semua luka.

Sejak lahir aku tidak tahu siapa ayahku. Yg aku dengar dari kakak ayahku bukan orang Indonesia. Itulah yg menyebabkan mataku berwarna hijau safir. Kami dilahirkan dari ibu yg sama namun dengan ayah yg berbeda.

Bagi ibu kami adalah aset. Kartu as untuk terus mengikat keuangan ayah ayah kami atas nama tanggung jawab.

Tepat dua hari setelah ulang tahunya yg ke 15, Ibu memaksa kakak mewarisi profesinya. Menghidupi kami dengan uang suami wanita lain. Kakak tentu menolaknya tapi kami bisa apa ? Ibu lah pemimpinya.
....
Tengah malam lewat Ibu datang dengan menggandeng dua orang pria. Satu kekasihnya dan satu pria kaya raya yg akan meniduri kakak. 

Pria itu berbadan gemuk. Pendek. Memakai jas hitam dengan kemeja putih dan dasi yg sudah tidak rapih. Kulitnya putih pucat. Seperti babi gempal yg tidak pernah puas. Di saku jasnya ada pin berbentuk garuda emas. Kalau kuingat sepertinya wajah laki laki paruh baya itu tidak asing. Aku pernah sekali dua kali melihat wajah itu di spanduk kampanye depan gang rumah.

Aku membawakan bir yg Ibu simpan dalam kulkas keruang depan. Laki laki berbadan gempal itu berjalan kearahku dan memegang pipiku. 

"Siapa ini ? Dia punya mata hijau safir yg sangat indah. Cantik sekali."
"Itu anaku. Cantik. Bukankah dia secantik ibunya."
"Aah tidak. Dia jauh lebih cantik darimu. Dan dari anakmu yg satu lagi itu. Berapa yg harus aku bayar untuk anak ini ?"
"Tapi dia baru berusia 10 tahun."
"Alah. Persetan."
"Berapa kamu berani bayar ? 10 juta ?"
"Untuk gadis secantik ini berapapun akan aku bayar asal dia miliku malam ini."

Aku merinding. Ketakutan. Meskipun mereka berbicara agak rancu karena pengaruh alkohol. Tapi aku sedikit mengerti apa yg mereka bicarakan. 

"Biar aku dandani dulu Cantik. Aku persiapkan dulu dia untuk anda."

Kakak bangkit dan membawaku ke ruang belakang. Ia berlari menuju kamarnya. Dan kembali lagi membawa kertas dan uang. Dia memeluk tubuhku. Membukakan pintu belakang. Dan menyuruhku segera pergi.

"Ini alamat ayah kandung mu. Ceritakan semuanya pada dia. Aku tidak mau kamu bernasib sama sepertiku. Pergilah cantik. Pergi yg jauh."
....
Dua tahun aku tinggal di rumah ayah. Dia sudah menikah dengan wanita cantik berkerudung yg aku panggil bunda. Untungnya mereka mau menerimaku. Dan tidak pernah mempermasalahkan siapa aku.

Aku punya tiga orang kakak laki laki. Salah satu kuliah di Singapura. Arjuna. Malam ini dia pulang ke Jogjakarta.

Bunda dan aku sibuk memasak makanan untuk menyambut kepulangan Abang. Malam ini sengaja diadakan pesta karena besok Ayah Bunda dan Bang Bima harus terbang ke Padang. Jantung kakek kumat lagi. Bang Tira tidak ikut karena kompetesi basket mengharuskan dia tinggal di asrama. Bang Juna tidak ikut katanya masih lelah. Dan aku ? Tentu saja aku ingin ikut tapi aku bukan anggota resmi keluarga ini. Kakek bahkan tidak tahu jika aku ada.

Diluar dugaan. Bang Juna juga tidak mempermasalahkan keberadaanku. Kami mendadak akrab bahkan sejak pertama kali bertemu.

Malam semakin menghitam. Ayah, ibu, dan Bang Bima sudah terbang pagi tadi. Bang Tira menginap di asrama malam ini. Bang Juna belum pulang. Aku masuk ke dalam kamar. Mematikan lampu. Dan menyelimuti tubuhku.

Lewat tengah malam. Aku mendengar pintu kamarku terbuka. Pintu kamar yg memang tidak biasa aku kunci. Lampu kamar tidak dinyalakan tapi aku bisa menerka wajah itu dalam remang.

"Abang udah pulang ?"

Laki laki itu menyalakan lampu. Berjalan mendekat ke arahku. Dia membelai rambutku.

"Stt... Diam ya Cantik."

Laki laki itu membelai pipiku. Mendekatkan bibirnya ke arahku. Sontak aku mendorong badanya. Tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk menjauhkan tubuhnya. 

Lelaki itu mencengkram lenganku dengan kuat. Sakit. Dia membuka beberapa kancing kemejanya. Mendekatkan badanya. Aku meronta semakin keras. Aku berusaha meraih apa saja yg ada disekitarku. Boneka beruang yg ayah berikan mendarat di kepala pria itu.

Lelaki itu mencengkram tubuhku semakin keras. Mendekatkan mukanya ke mukaku. Aku menabrakan keningku di matanya. Lelaki itu mengaduh memegangi matanya yg biru.

Aku berusaha lari. Tapi diraihnya mata kakiku. Dia menyeret badanku. Menarik sebuah kursi dan mendudukan badanku. Aku meronta. Menjerit sekeras tenaga. Tapi tidak satupun orang ada di rumah. Dan rumah kami terlalu besar. Tetangga tidak akan mendengar teriakanku. Sekeras apapun aku berteriak.

Lelaki itu mengikat tanganku dengan dasi dan ikat pinggangnya. Keras sekali. Sakit. Aku berteriak semakin menjadi. Pria itu mengambil baju di lemari. Sepertinya dia ingin menutup mulutku. Aku berteriak sebelum suaraku menghilang tersumbat kain.

"Kenapa abang melakukan ini ?"

Laki laki itu tertawa. Keras sekali. Menghapus air mata dan membelai pipiku.

"Karena kamu Cantik."

Pria itu menyumpal mulutku dengan baju yg dia ambil. Dia membuka kancing celananya. Aku menutup mata.

Darah segar terciprat di mukaku. Suara pecahan kaca terdengar. Memecah keheningan. 

"Apa yg Bang Juna lakukan ?"
"Diam kamu Yudistira !"
"Tapi dia adik kita."
"Dia terlalu cantik untuk jadi adik kita."

Kepala Bang Juna berdarah akibat lampu tidur yg di lembar Bang Tira. Mereka terlibat baku hamtam. Bang Juna memukul wajah Bang Tira. Mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Wajah Bang Tira dipukul bertubi. Bibirnya mengeluarkan darah segar. Bang Tira meraih pecahan lampu tidur dengan tanganya. Menusukan pecahan itu di perut Bang Juna, kakaknya.

Bang Juna mengerang kesakitan. Bang Tiar melepaskan ikatan di tanganku. Dan menggendongku keluar rumah. Membawaku berlari.

Aku tidak ingat lagi apa yg terjadi setelahnya. Yg aku tahu dua bulan aku berada di panti rehabilitasi anak korban trauma. Bang Tira mendekap di penjara. Dan Bang Juna terbaring di rumah sakit.

Setelah metalku kembali membaik. Aku memilih untuk pergi ke Jakarta. Tinggal seorang diri. Aku tidak mau lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa muak tapi aku juga merasa bersalah. Karena cantik aku membuat keluarga ayahku berantakan.
.....
Sudah delapan malam pria berkacamata hitam itu tidak duduk disana. Di bangku tengah cafe ini. Ya aku menghidupi diriku di Jakarta dengan bernyanyi di cafe. 

Aku punya beberapa fans. Atau pria yg mendekatiku. Tapi tidak ada yg sekeras lelaki itu berusaha. Sudah 6 bulan dia selalu duduk di kursi tengah dan menitipkan bunga mawar pada bartender. Tidak pernah terlewatkan satu malampun.

Bukan. Aku tidak suka padanya. Bagiku dia sama saja dengan pria lainya. Bukankah sudah kubilang aku tidak akan jatub cinta pada lelaki yg mencintaiku karena aku cantik. Tapi benar apa yg orang bilang. Seacuh apapun kita pada sesuatu. Semuak apapun. Setelah terbiasa kemudian hilang selalu ada ruang kehilangan.

"Cowo yg biasa duduk kursi tengah itu kemana ? Tumben dia ga nitipin bunga buat gue ?"

Aku bertanya pada salah seorang bartender yg biasa memberikan bunga dan kertas darinya.

"Dia lagi operasi mata."
"Lah emang matanya kenapa ?"
"Dia buta dari lahir. Rentina matanya rusak. Setelah 23 tahun akhirnya dia menemukan seseorang mau mendonorkan rentina matanya."
"Buta ? Tapi bukanya dia selalu nulis kalimat di kertas ?"
"Bukan. Itu bukan dia yg nulis. Dia selalu nyuruh gue nulis kalimat itu."
....
Ada sesuatu yg harus aku tanyakan pada pria itu. Aku harus menanyakanya sebelum ia bisa melihat. Lewat bartender cafe itu aku tau nama rumah sakit tempat pria itu melakukan operasi mata.

Paviliun Matahari 17B

Pria itu tidur diatas ranjang. Dia seorang diri dalam ruangan. Matanya masih di perban. 

"Siapa itu ?"

Ternyata pria itu memang tidak bisa melihat.

"Enggg ini aku. Enggg perempuan yg selalu kamu kasih bunga mawar."
"Hah ? Kamu ? Darimana kamu tau aku disini ?"
"Bukan hal penting aku tau dari mana. Aku datang kesini cuman buat bertanya ?"
"Hal seperti apa yg mau kamu tanyakan sampai kamu jauh jauh datang ke sini ? Bukankah kamu selalu mengacuhkan mawar mawarku ?"

Benar aku selalu mengacuhkan semua mawarnya. Tapi pria ini tidak pernah gentar untuk memberikan mawar di malam malam berikutnya.

"Apa kamu mencintaiku."

Pria itu tertawa. Memecah keheningan.

"Seharusnya kamu tau itu tanpa perlu datang jauh jauh kesini. Untuk apa semua mawar merah itu, untuk apa aku selalu duduk di bangku itu setiap malam selama 6 bulan kalau aku tidak jatuh cinta sama kamu ?"

"Kenapa kamu mencintaiku."

Pria itu menjawab dengan tenang.

"Karena kamu cantik."
"Dari mana kamu tau aku cantik ? Kamu buta."

Pria itu tersenyum.

"Karena cantik tidak hanya tentang apa yg terlihat. Tapi tentang apa yg dirasakan."

Aku merasakan luka luka itu memudar. Ini pertama kalinya aku tidak benci dibilang cantik. Akhirnya aku menemukan lelaki yg akan aku cintai. Lelaki yg mencintaiku bukan dari mata tapi dari hati.
......