Minggu, 22 Maret 2015

Rahasia Senja

Aku selalu suka suasana ini. Sarapan pagi. Dengan masakan sederhana buatan ibuku. Pagi ini menunya hanya nasi goreng dan telur dadar yg dibuat sedemikian tipis agar semuanya dapat bagian. Ayah, Ibu, Azka, Dinar, Farah, dan si kecil Afnan.

Hidup kami tidak serba berlebihan. Makan ayam hanya awal bulan. Rumah tiga kamar berpenghuni tujuh kepala. Tapi tidak ada yg kusanksikan dari keadilan Tuhan. Toh materi bukan segalanya. Apa enaknya punya ferari lima kalau akhirnya jadi buronan KPK ?

Tapi percayalah kami tidak semiskin itu. Ayahku bukan tukang becak, kernet angkot, atau pemulung. Dia pegawai di Pertamina. Ya gajinya lumayan juga, kalau hanya untuk makan ayam saban dua hari sih bisa saja. Tapi alih alih membeli ayam uang ayah justru habis untuk biaya berobat dan cuci darah sialan itu. Bukan, bukan ayah yg sakit. Tapi aku, putri pertamanya.

Sejak lahir aku mengidap penyakit yg aku sendiri susah untuk mengeja namanya. Yang jelas ada kelainan di organ dalam tubuh yg menyebabkanku harus minum 9 butir obat saban hari plus bonus cuci darah setiap dua bulan. Dan ini menguras hampir habis gaji ayah. Hingga sisanya mampu membuat kami sekeluarg jadi vegetarian. Bukan karena ingin hidup sehat, tapi daging terlalu mahal.

Tapi ayah tidak pernah mengeluhkan aku. Baginya aku tetap anugrah. Buah dari doa yg dipanjatkanya setiap malam. Begitu pula dengan Ibu dan hampir semua anggota keluarga. Kukatakan hampir karena hal ini tidak berlaku untuk pria yg selalu memilih bangku terjauh dariku. Azka. Adik laki laki pertamaku.

......

"Kenapa ngga bisa ndapetin apa yg seharusnya aku dapetin karena orang itu ? Apa salah kalau aku pengin kaya anak anak lain. Aku cuman minta sepeda ayah. Bukan mobil atau motor harga puluhan juta. Kenapa ayah cuman peduli sama anak ayah yg sakit sakitan itu dan mengorbankan yg lainya ? Toh pada akhirnya dia juga akan mati juga buat apa buang buang uang cuman untuk menunda kematianya ?"

Tamparan ayah mendarat dengan sempurna di pipi Azka. Dia berlari ke luar, berlari sekencang yg dia bisa.

Aku tau persis kenapa Azka sangat membenciku. Karena baginya aku bukan seorang kakak, baginya aku tidak lebih dari perempuan sakit sakitan yg membuatnya harus hidup susah. Membuatnya kehilangan banyak hal yg sejsrusnya ia dapatkan.

Aku tidak tahu siapa yg harus disalahkan atas semua ini. Azka hanya ingin memiliki apa yg seharusnya. Ayah hanya ingin mengeluarkan uang sesuai dengan skala prioritasnya. Dan aku ? Aku hanya ingin tetap hidup. 

Azka hampir tidak pernah mengajaku berbicara semenjak dia beranjak remaja. Semenjak dia menginginkan banyak hal dan terpaksa melupakanya karena aku. Karena semua uang ayah dialokasikan untuk kesembuhanku. Atau mungkin tepatnya menunda kematianku. 

Orang bilang kematian adalah bagian dari tiga rahasia terbesar tuhan, selain jodoh dan juga rejeki. Katanya Tapi kenapa dokter dokter itu bisa tahu ? Apa mereka bukan bagian dari manusia pada umunya ? Semenjak penyakit ini datang, Dokter Danar menghakimi usiaku. Tak lebih dari kepala dua katanya tapi angka itu sepertinya mulai meleset. Buktinya aku masih bisa meniup lilin ulang tahun ke 21 tiga bulan lalu. Tapi entah sampai kapan judifikasi dokter ahli penyakit dalam itu bisa meleset. Mungkin tahun depan, bulan depan, atau setelah titik terakhir yg kutulis di paragfaf ini. Entah.

.....

"Iya jendral akan segera dilaksanakan. Iyaa, iyaa jendral besar !"

Tengah hari begini, aku harus berdesakan dalam kopaja p100 jurusan pasar senen tanggerang. Demi melaksanakan amanat jendral besar yg tasnya ketinggalan di rumah. Sebagai prajurit yg baik aku membawa tas seberat hampir satu kilo ini dengan amanah. 

"Neng ongkosnya neng."
"Eh iya bang, sebentar ya."

Sial. Aku lupa bawa uang. Mulai dari kantung celana sampe jaket sudah kurogoh tapi tidak seperakpun tertinggal disana. Bak penambang yg gagal dapat timah. Aku menghela napas iklas dan cemas. Dengan apa aku harus membayar ongkos kopaja ini. 

Aku sempat berfikir untuk menawarkan jam tangan casio hasil diskon yg sekarang melingkar di tanganku sebelum mendapatkan ide untuk menggeledah tas ayah. Benar saja, aku menemukan dompet ayah bersemayam dibalik tumpukan dokumen. Sekarang aku bukan lagi penambang yg gagal mendapatkan timah, tapi penambang yg berhasil mendapatkan emas. Dengan uang di dompet ayah aku bisa beli minum dan gorengan untuk mengganjal perut.

Tapi ada sesuatu yg lebih menarik di dpet ayah. Foto kami sekeluarga waktu belum berjumlah tujuh kepala. Hanya ada ayah, ibu, aku dan azka. Foto ketika kami berlibur ke Dufan. Aku bernostalgia kembali ke masa itu. Waktu itu Azka masih berperan sebagai adik kecilku yg manis. Kami tertawa dan bahagia bersama. Aku rindu Azka yg begitu. Azka yg tidak membenciku.

Aku penasaran dengan foto apalagi yg ada di dompet ayah. Mungkin saja aku bisa berbahagia dengan nostalgia yg terekam disana.

Foto selanjutnya adalah foto Afnan waktu lahir. Adik kecilku yg tampan. Selanjutnya ada foto wisuda smaku. Yg terakhir foto Dinar dan Farah waktu hari kartini. Mereka terlihat manis dengan pakaian adat jawa berwarna biru muda.

Aku berniat memasukan kembali semua foto itu ke dompet ayah sebelum melihat selembar foto lain yg disembunyikan di balik celah. Foto ayah, mengandeng tangan seorang pria. Perawakanya tidak terlalu besar, kulitnya sawo matang, rambutnya hampir sama panjang dengan rambutku, sebahu. Aku sama sekali tidak pernah melihat pria ini atau mendengar cerita ayah tentang pria ini sebelumnya. Ada sesuatu yg kuterka berbeda dari kedekatan mereka. Dalam foto ini lelaki itu bersandar di bahu ayah dan tanganya memeluk ayah. Aku berusaha melawan logikaku sendiri. Biar bagaimanapun pria ini ayahku. Aku berusaha sekeras yg aku bisa sampai pada akhirnya tetes demi tetes air mata luluh saat membaca tulisan dibalik foto itu 

"My real love"

Begitu tulisanya.
.....
Kadang kita hanya perlu diam dan menceritakan semua luka kepada angin. Dan itu yg sedang kulakukan. Sendiri. Diam. Dan penuh luka.

Sewaktu kecil ayah sering mengajaku pergi ke sini sebuah menara tua tak berfungsi. Ayah bilang kalau luka datang naik saja keatas dan biarkan angin menerbangkanya. Tapi ayah salah, tak semua luka bisa diterbangkan angin. Termasuk luka yg ia buat padaku.

Ayah selalu jadi orang yg kubanggakan. Ayah selalu jadi alasan kenapa aku bertahan diantara ambang kematian. Tapi ayah tak selamanya jadi pahlawan. Terkadang ia justru menjadi luka yg menyakitkan.

Aku tidak habis pikir kenapa ayah bisa jadi penyuka sesama jenis. Atau sejak kapan. Selama ini tak ada yg salah dalam keluarga kecil kami. Ayah dan ibu bahkan nyaris tidak pernah bertengkar. Sampai kemudian detail detail kejadian melayang, dan pada akhirnya aku tau semua kebahagiaan hanya sandiwara. 

"Luka tidak diciptakan tuhan untuk membuatmu bersedih. Luka diciptakan tuhan untuk membuatmu belajar. Bukankah kita perlu merasakan luka sebelum tau apa itu bahagia ?"

Seorang pria menyodorkan sapu tangan. Pria yg entah datang dari mana.

"Saat kamu merasa sakit, kamu mulai menyalahkan tuhan. Mempertanyakan mengapa ini begini dan mengapa itu begitu. Tapi ketahuilah tuhan selalu punya rencana dibalik rencana."

Aku menyaka air mata dengan sapu tangan pria itu. Pria yg entah datang dari mana.

"Saat kamu merasa terluka saat itu juga ribuan manusia merasakan hal yg sama dengan alasanya masing masing. Jangan pernah merasa paling terluka. Mau tau luka yg aku punya ?"

Aku bisa merasakan sakit dari setiap halaan nafas bahkan sebelum aku mendengarnya ceritanya. Cerita dari pria yg entah datang dari mana.

"Sejak kecil aku tidak pernah melihat wajah ayahku. Namanya pun bahkan tidak. Ibu tidak pernah cerita. Atau mungkin dia tidak tau harus menceritakan pria yg mana. Sebesar apapun dosanya dia tetap ibuku. Sampai saat dia ingin menjual adiku, dan membuatnya bernasib sama dengan dia. Semenjak itu aku sudah tidak lagi bisa mentolerir dosa dosa wanita itu. Tengah malam, aku menggendong Fana berlari menjauh dari Surabaya. Kau tau berapa usiaku saat itu ? Sebelas. Dan aku sudah harus menghadapi kerasnya hidup. Kau tau apa yg membuatku bertahan ? Karena aku seorang kakak. Harga mati bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya."

Pria itu kembali menghela napas. Kali ini rasanya semakin berat. Pria yg entah datang dari mana.

"Hidup selalu punya rencana. Hidup selalu punya hal yg tak terduga. Dan kadang hidup punya karma. Setengah hidup kuhabiskan untuk mengutuk dosa dosa ibuku. Dan setengah hidup lainya sekarang kugunakan untuk mengutuk dosa dosaku. Dua tahun lalu Fana kecelakaan dan membuatnya berbaring setengah tak bernyawa di ruang ICU. Dokter sudah berkali kali menyarankan aku untuk mengikhlaskan kepergianya. Tapi bagaiama aku bisa bertahan hidup dengan kehilangan alasan aku bertahan hidup ? Kuhalalkan segala hal untuk nyawanya. Untuk membayar dokter dan rumah sakit terbaik. Termasuk dengan menjadi simpanan ibu ibu berkepala empat yg kesepian. Kau pasti jijik mendengarnya bukan ? Tapi aku seorang kakak. Dan harga mati bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya."

Pria itu kemudian tersenyum dan mengulurkan tanganya.

"Thomas..."
......
Thomas benar. Aku seorang kakak. Dan harga mati bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya. Maka jalan inilah yg aku pilih. Menbiarkan rahasia ayah tetap menjadi rahasia. 

Bukan untuk melindungi ayah. Tapi untuk melindungi mereka semua, Azka, Dinar, Farah, Afnan dan juga Ibu. Biarlah aku yg menanggung dosa karena menyembunyikan kebenaran. Biarlah lukaku yg menjadi tameng.

Selalu datang kebenciaan dan rasa jijik saat aku melihat ayah. Selalu ada iba saat aku melihat Ibu. Dan selalu ada luka saat aku melihat Azka, Dinar, Farah,dan juga Afnan. Aku tidak ingin keluarga ini berantakan dan membuat luka pada mereka. Sebuah luka yg akan mereka tanggung seumur hidup karena keluarga yg tidak semestinya. Biarlah aku yg bersandiwara. Berperan menjadi kakak yg bahagia.
......
Ternyata aku tidak bisa selamanya lari dari justifikasi dokter Danar. Tidak selamanya aku melewati hari dengan selayaknya. Maka disinilah aku sekarang. Ruang ICU dengan aroma yg menjijikan. Tergeletak lemah menanti takdir Tuhan. Sebagai manusia aku tak berhak tau kapan kematian yg Tuhan gariskan. Tapi tanpa keajaiban, yg aku waktunya sudah semakin mendekat.

Taukah kalian rasanya hidup dengan batas ? Seperti deadline ketika mengejarkan tugas. Tapi deadlineku adalah kematian. Seperti mengejakan tugas. Aku hanya ingin melakukan yg terbaik selama masanya belum habis. Meski dengan selang infus ini tidak banyak lagi yg bisa kulakukan. Tapi sungguh aku masih ingin hidup. Aku masih ingin melihat Azka diwisuda, melihat Dinar dan Farah menemukan pangeran mereka. Melihat Afnan tumbuh dewasa. Kalau aku bisa sungguh aku ingin melobi usia dengan Tuhan.

Sayang aku bukan narapidana dengan hukuman mati yg berhak mendapatkan permintaan terakhir. Kalau saja aku punya itu. Tidak banyak yg aku minta. Aku hanya ingin memeluk Azka dan memanggilku kakak seperti dulu saat belum ada benci di hatinya untuku. 

Yaah tapi sepertinya hingga ajalpun keinginan itu tidak mungkin terwujud. Hingga saat ini Azka tidak pernah menjenguku di ICU. Kalau tiba giliranya jaga dia hanya duduk dan menunggu di ruang depan. Sepertinya dia tidak peduli kapan aku menghembuskan nafas untuk yg terakhir.

Aku seorang kakak. Dan harga mati bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya. Tapi tidak ada yg bisa kulakukan untuk Azka. Yah selain hal kecil ini. Semenjak 5 bulan lalu aku menyisihkan uang untuk sepeda Azka. Terkadang aku mengurangi jumlah obat yg harus kubeli. Terkadang aku menahan lapar saat istirahat. Aku juga sudah tidak lagi pernah membeli baju atau sepatu baru. Toh apa fungsinya mereka ? Sebentar lagi aku akan mati. 789.000 rupiah akhirnya terkumpul. Aku membeli sepeda warna biru secara online . Seharusnya hari ini sepeda biru itu sampai di rumah, bersama dengan surat terakhir yg kubuat untuk Azka.

Untuk adiku, Azka
Kalau aku bisa melobi Tuhan. Aku akan minta tidak dilahirkan sebagai Senja yg hanya bisa memberikan duka. Kalau aku bisa melobi Tuhan. Aku ingin dilahirkan sebagai Senja yg tidak memberi luka. Tapi maaf Azka, karena aku tidak bisa melobi Tuhan. 
Mungkin sepeda ini tidak bisa mengganti apa yg sudah kuambil dari apa yg seharusnya kamu dapatkan. Aku benar benar minta maaf Azka, hanya ini yg bisa aku berikan. Semoga setelah kemartianku nanti bahagiamu tidak lagi tertunda.
Hadiah terakhir dari kakakmu, Senja.
.....
Selesai cuci darah aku memutuskan untuk mampir ke pavilium mawar tempat Fana dirawat. Aku belum sempat mampir kesana sejak Thomas bilang adiknya dipindahkan ke rumah sakit ini. Thomas memang pria yg baik. Terlepas dari halal atau tidak pekerjaanya. Toh apa salahnya, ia hanya seorang kakak. Dan harga mati bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya. Terkadang kita harus melihat lebih dekat pada banyak hal agar menjadi bijak. Terkadang kita harus melihat alasan dibalik pilihan orang lain yg menyimpang.

Aku membawakan Fana boneka hello kitty. Kata Thomas Fana punya banyak koleksi boneka hello kitty. 

Pavilliun Mawar 7A

Kata suster jaga ini kamar Fana. Tapi aku sedikit ragu. Didepan kamar ini ada empat buah sepatu. Sepasang tentu punya Thomas. Tapi sepasang lainya seperti sepatu perempuan berusia 40an. Seingatku Thomas bilang tidak punya keluarga. Dan ibunya, ia sama sekali tidak tau dimana wanita itu sekarang.

Dari pada salah kamar dan kepalang malu. Lebih baik aku lihat dulu dari jendela. Kebetulan jendelanya sedikit terbuka. 

Fana terbaring dengan infus di kasur yg berada di tegah ruangan. Disisi kiri aku melihat Thomas sedang mengambil minuman di kulkas. Ah ternyata ini memang kamar Fana. Aku beranjak dari jendela. Tapi sebentar. Ada seorang perempuan keluar dari toilet yg berada di sisi belakang ruangan itu. Wanita berusia sekitar 40an. Wanita itu berjalan ke arah Thomas. Dia menarik lengan Thomas dengan manja. Thomas balas membelai rambut wanita itu. Mereka berpelukan. Thomas meregangkan pelukan, dan mengusap bibir wanita itu dan mereka berciuman. Wanita itu ibuku.

Detail detail kecil kejadian melintas dikepalaku. Kemudian aku tau. Aku tau apa yg sebenar benarnya terjadi pada keluarga kecilku yg harmonis.

Persetan dengan selang infus ini. Persetan dengan kondisiku. Persetan dengan hujan yg menderas. Aku hanya ingin berlari. Belari sejauh aku bisa berlari. Berharap semua luka dibawa hujan pergi. 

Bagaimana bisa takdir mempermainkanku seperti ini. Bagaimana bisa rahasia mereka selucu ini. Persetan dengan mereka yg aku perjuangkan. Persetan. Rasanya aku ingin mati saja supaya sakitnya tidak lagi terasa.

Aku berlari menuju menara tua tempat ayah dulu sering mengajaku pergi. Tempat ibu mengajariku melukis. Tempat Thomas bertemu denganku. Tempat luka luka menertawai aku. Rasanya aku ingin mati saja disini supaya luka turut dibawa pergi.

Semuanya telihat memudar. Dadaku rasanya perih. Sakit antara rasa dan juga raga. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Lututku ngilu. Nafasku semakin sesak. Udaranya semakin dingin. Aku menggil. Hujan semakin deras mengguyur. Kesadaranku semakin hilang. Semuanya berubah jingga. Aku hanya bisa mendengar suara langkah mendekat. 

Ada tangan yg menyangga kepalaku agar tidak jatuh ke bawah. Tangan seorang lelaki yg kemudian berteriak.

"Kakaaaaak"

Lelaki itu melepaskan jaketnya dan mengenakanya padaku. Ia mengeluarkan handphone. Memencet beberapa nomor lalu membantingnya. Aku semakin hilang kesadaran. Semuanya jingga. Aku tidak lagi bisa melihat dengan jelas. Tapi aku tau dia menangis. Karena beberapa butir hujan terasa hangat. Sebagaimana semestinya air mata. Dia menegakan tubuhku. Menyandarkan di punggungnya. Dan bersusah payah menggendongku. Sesekali aku bergetar. Sepertinya ia terjatuh. Ia berusaha berlari dengan menggendongku menerjang hujan yg semakin menjadi. Aku memaksakan sisa kesadaranku untuk berbicara.

"Azkaaa"
"Kakak jangan banyak bicara sudah kakak diam saja." Lelaki itu menghardiku dengan suara bergetar. Aku tau ia menangis.
"Maaf."
"Kakak jangan banyak bicara sudah diam saja. Aku yg seharusnya minta maaf. Bagaimana bisa aku menyalahkanmu atas apa yg tidak bisa kudapatkan. Bagaimana bisa aku membencimu atas kemalangan yg menimpamu. Maaf ka maaf." Lelaki itu menghardiku dengan suara bergetar. Aku tau ia menangis.
"Tapi aku harus memberi tahumu sebuah rahasia. Meskipun kita terlahir dalam keluarga yg tidak semestinya. Meskipun ayah berkelainan seksual dan ibu bercinta dengan pria yg lebih muda. Setelah aku pergi. Kamu adalah seorang kakak. Dan harga mati bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya. Bijaklah dalam melihat kesalahan orang lain. Entah apapun yg akan kamu lakukan setelah mengetahui hal ini lakukanlah karena kamu tau itu yg terbaik dan karena kamu tau itu bisa melindungi adik adik dari luka."
Lelaki itu berlari semakin kencang. Menggendongku diantara hujan. Aku tau ia menangis.
"Dan Azka, kalau aku harus mati sekarang. Maka aku akan mati dengan bahagia. Karena aku tau, aku memiliki adik sepertimu. Aku bisa mengandalkanmu untuk menjaga Dinar, Farah, dan juga Afnan. Jadilah kakak yg baik untuk mereka Azka."

Kepalaku terasa semakin berat. Semuanya terlihat semakin jingga. Aku sudah tidak lagi bisa membuka mata. Sepertinya aku masuk dalam tidur terpanjang. Dibawah hujan, dalam gendongan adiku, Azka.


Jumat, 20 Maret 2015

Tentang malamku

Ketika bulan berada diatas awan
Gelap merayap bersama udara dingin yang mengehembus kulitku perlahan
Aku hanya ingin menceritakan tentang malamku yg sendirian
Melihat bayangmu yg samar dibawah lampu temarang
Menghayalkan pelukan yg tak pernah bisa kudapatkan

Aku benci bersandiwara pada mereka
Seolah tak pernah ada sesuatu
Menghianati rasa yg pelahan melayang
Menahan nafsuku untuk menyentuh dan membelai rambutmu

Entah apa rasa yg sebenarnya ada
Diantara rahasiaku dan rahasiamu
Entah cinta atau hanya pertemanan biasa
Diantara cerita dan malam malam yg kita habiskan secara diam diam

Seandainya aku punya nyali utuk menatap matamu dihadapan mereka
Seandainya aku bisa berhenti memperdulikan resiko yg akan datang
Seandainya aku boleh mendekapmu dalam terang
Aku hanya ingin menceritakan tentang malamku yg tak lagi sendirian


Diakhir sepertiga malam
Pusgiwa, 7 september 2014
Serambi mencuri curi pandang padanya...

Terserah, persetan !

Aku menyerah saja
Apapun akhirnya nanti terserah saja
Bisa apa ?
Berlari dari kesakitan ?
Sudahlah kuhadapi saja, 
Persetan dengan air mata dan semua kesakitanku kelak
Kujalani saja

Aku tidak berharap banyak
Mana berani berharap pada ketidakpastian
Bisa mati dalam penantian 
Lagi pula laki laki semuanya sama
Mahluk pengumbar harapan
Dan sayangnya,
Wanita diciptakan sebagai mahluk pecandu harapan
Tapi mana ada candu yg berujung pada kebaikan ?

Hah bodohnya aku dan wanita
Pria dianggapnya berwibawa dan penuh cinta
Padahal otak mereka tak lebih dari kisaran isi celana kita
Pria dianggapnya pelindung
Padahal mereka melindungi untuk merenggut
Lalu meninggalkan, dan mencari isi celana lainya