Rabu, 22 Juli 2015

Cheating

Jika sempurna itu ada. Maka bagiku sempurna itu,dia. Wanita dengan gaun putih di depan sana.

Aku berbeda dengan Ibra. Tak banyak yg aku tau soal wanita. Yg aku tahu tak lebih dari sekedar aku jatuh cinta.

Malam ulang tahun Ibra tujuh tahun yg lalu. Aku selalu benci dengan pesta semacam ini. Bukankah aku sudah bilang aku berbeda dengan Ibra. Seperti Thor dan Loki tapi dilahirkan dari rahim yg sama. Ibra suka sekali berpesta, dan hidup dalam kebebasan. Sedangkan aku ? Aku lebih suka sendiri di dalam perpustakaan.

Mungkin karena aku anak pertama. Aku merasa punya tanggung jawab yg besar. Aku harus bisa menjadi Thor yg tidak membuat Loki merasa hidup dalam bayang bayang. Aku tidak akan mengambil alih bisnis Ayah dan membuat Ibra menjadi Loki yg dipenuhi rasa iri. Lagi pula aku sama sekali tidak tertarik dengan bisnis rokok Ayah. Aku bersumpah tidak akan hidup sebagai pembunuh sumblimental.

Aku merasa berhutang pada ribuan nyawa yg melayang akibat rokok yg bahkan tidak pernah kami hisap. Itu alasan kenapa aku ingin menjadi seorang dokter ahli penyakit dalam. Setidaknya itu bisa mengobati sedikit rasa bersalah di dalam diriku.

Yaa aku seperti kebanyakan calon dokter lainya. Berkaca mata tebal, dan selalu terlihat formal. Kalau bukan karena dipaksa Ibra aku bersumpah tidak akan pernah datang ke bar macam ini. Sebagian besar tamu Ibra adalah anak anak manja yg hanya tau hura hura namun memiliki masa depan terjamin akibat saham dan bisnis orang tua mereka. Berandalan terselubung yg tidak perlu takut melanggar hukum karena Ayah mereka punya cukup uang untuk membelinya. Ah !

Tapi ada satu tamu Ibra yg membuatku merasa berbeda. Wanita itu. Jingga. Dia berpenampilan hampir sama dengan sebagian besar tamu lainya. Sekujur tubuhnya ditempeli brand brand yg membuat kelasnya terlihat dengan jelas. Tapi dia berbeda. Caranya bersikap jauh berbeda dengan putri manja. Ada semacam keberanian, kekuataan, kemandirian dan kecerdasan dalam matanya. Kualitas teratas bagi seorang wanita yg membuatnya menjadi lebih mahal dari cantiknya.

Sayang aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Bukan aku tak punya nyali tapi aku masih punya hati nurani. Saat itu Jingga masih menjadi pacar Ibra.

Aku hanya bisa memandangnya dalam diam dari balik piano di ruang tengah. Sesekali mengajaknya berbasa basi kalau Ibra belum datang. Aku tahu batasku tapi maaf aku akan tetap menunggu. Jingga adalah wanita dengan kualitas nomor wahid. Tapi aku tahu betul bagaimana Ibra. Tinggal tunggu waktu. Ibra akan merasa bosan dan mengencani wanita lainya.
.........
2 tahun aku habiskan untuk menunggu Jingga putus dengan Ibra. 3 tahun aku habiskan untuk mengejarnya. Melakukan segalanya untuk membuatnya jatuh cinta. 4 tahun aku habiskan untuk berusaha keras membuatnya bertahan disisiku. Hingga akhirnya saat ini tiba. Saat dimana Jingga mencoba gaun pernikahan kami.

9 tahun hidupku berpusat pada wanita ini. 9 tahun perjuanganku untuk saat saat seperti ini. Aku tidak pernah tahu seberapa pentingnya wanita sebelum pesta malam itu. Sebelum pada akhirnya aku menemukan Jingga.

Selesai mencoba baju aku dan Jingga pergi ke salah satu hotel kelas satu di Jakarta. Malam ini keluarga besar kami akan bertemu untuk membicarakan segala macam keribetan pernikahan. Sebelumnya aku mampir dulu ke Soekarno Hatta, hari ini Ibra pulang setelah menyelesaikan gelar masternya di Harvard Bussines School. Loki kecilku yg nakal akhirnya tumbuh menjadi pria yg tahu bagaimana cara berdiri diatas kakinya sendiri, bukan bersandar pada uang Ayah kami.

Ibra memeluk Jingga. Khas berandalan Amerika yg tidak tahu cara menghormati tempat umum di Indonesia. Sial dia memeluk dan menepuk pantatku juga. Seperti sepasang gay yg baru merayakan  LGBT dan meniat untuk langsung terbang ke Amerika. 

"Long time no see, Bang. Waktu Bunda ngabarin gue tentang rencana pernikahan lo gue bersyukur banget ternyata lo bukan gay, Bang. And you'll married with the most beautiful woman in this country. Woow !"

Khas Ibra, lelucon yg menjengkelkan. Tapi Ibra selalu tahu cara bersikap dan mencairkan suasana. Lelucon murahan macam itu nyatanya selalu bisa membuat kami semua tertawa. Aku bahkan tidak pernah bisa membuat Jingga tertawa selepas itu. Bersamaku Jingga selalu menjadi wanita anggun yg berkelas tapi disamping Ibra Jingga bisa menjadi bocah yg tertawa dengan sangat lepas.
......
Empat bulan sebelum pernikahan kami. Aku harus kembali ke Berlin. Mengurus segala tetek bengek demi diwisuda. Sayang Jingga tidak bisa ikut. Dia harus menjalani apa yg dinamakan orang Jawa sebagai pingitan.

Aku mengawasi semua persiapan pernikahan lewat teknologi yg dinamakan Skype. Ya memang teknologi bisa membuat semua yg jauh terasa dekat. Tapi tetap saja bukan kedekatan yg sebenarnya. 

Komunikasi kami sebatas maya. Jingga seperti kehilangan atensinya untuk berbicara denganku. Semua yg kami bahas sebatas formalitas. Kami juga jadi sering bertengkar. Entah apa yg sebenarnya dipertengkarkan tapi ego membuat kepala jadi susah didinginkan.

Sudah hampir 2 minggu aku dan Jingga tidak saling berbicara. Aku merasa dia semakin menjauh. Terakhir kali aku coba telpon dia bilang, nanti kita bicarakan kalau kamu sudah di Indonesia.
......
"Mang, kok cuman mamang yg jemput ? Yg lain kemana ?"
"Yg lain sudah nunggu aden di rumah."

Akhirnya aku pulang ke Jakarta. Tapi tanpa sambutan yg meriah. Ayah, Bunda, dan Ibra bahkan tidak ada di bandara. Apalagi Jingga.

Benar apa yang Mamang bilang. Semuanya ada di rumah. Bahkan Jingga dan kedua orang tuanya. Aku memeluk tubuh dan mencium kening wanita yg sangat dirindukan itu. Tapi dia hanya diam. Seperti kehilangan kehangatan. Semua diam. Dengan wajah muram dan sedikit tegang. Entah apa yg terjadi.

"Duduk Harjun. Ada yg mau Ibra bicarakan sama kamu."

Suara ayah memecah keheningan. Aku duduk dalam keanehan. Entah apa yg terjadi.

Ibra menegakan wajahnya yg dari tadi tertunduk. Pucat pasi. Keringatnya terlalu berlebihan untuk suhu ruangan sedingin ini. Ibra punya jiwa yg sangat bebas. Ia sama seperti Loki yg kehilangan rasa takut untuk apapun. Prinsipnya adalah menikmati kehidupan. Baru kali ini aku melihat ketakutan dalam matanya.

Ibra menarik napas dan bersiap untuk berkata. Sebelum Jingga mendahuluinya. Menenggelamkan mukanya di pahaku lalu menangis. Entah apa yg terjadi.

"Aku tidak tahu apa aku pantas untuk bilang maaf Harjun."

Wanita yg sangat aku cintai itu menangis. Dan berkata bersama luka.

"Aku hamil."

Wanita yg sangat aku cintai itu menangis. Dan berkata bersama luka.

"Dan ini anak Ibra."

Wanita yg sangat aku cintai itu menangis. Dan berkata bersama luka. Entah apa yg terjadi.
......
Dan disinilah aku sekarang. Di dalam gedung yg seharusnya menjadi tempat paling sempurna. Melihat ke arah wanita dengan gaun putih yg seharusnya menjadi wanita paling sempurna.

Tapi segala penantian, perjuangan, dan ketulusan selama 9 tahun untuk hari sempurna ini sudah menjadi sia sia. Bukan aku disisinya tapi Ibra.

Seminggu sebelum disebar nama calon mempelai pria dalam undangan itu diubah. Dari namaku menjadi nama adik laki lakiku satu satunya.

Bukan aku tidak merasakan luka. Tapi aku hanya mencoba menjadi pria dewasa yg berani menghadapi segala luka yg dihadiahkan dunia. Takdir selalu punya banyak hal yg tidak terduga. Ia mengembalikan apa yg seharusnya dikembalikan termasuk cinta.

Aku mengambil sebotol anggur dan meminumnya seperti onta yg baru menemukan oasis. Demi apapun ini pertama kalinya aku mabuk. Dengan kesadaran yg tinggal setengah aku berlari keatas panggung. Duduk dibelakang deretan tuts piano. Memainkannya dan menanyi dalam kesadaran yg tinggal setengah.

I can see the pain living in your eyes and i know how hard you try
You deserve to have so much more
I can feel your heart and i sympethize
And i'll never critizise all you ever mean to my life

I dont wanna let you down, 
I dont wanna lead you on
I dont wanna hold you back from where you might belong

You would never ask me why my heart is so disguise
I just cant live a lie anymore
I would rather hurt my self than ever make you cary
There's nothing left to say, oh goodbye

Goodbye - Air Suply

Aku menghiklaskan satu satunya wanita yg pernah aku cinta. Tidak. Aku tidak merasa kalah karena tidak berhasil memilikinya. Aku justru merasa menang karena berani memberinya kebebasan untuk memilih dan berhenti berpura pura mencintai aku.
.......

Minggu, 05 Juli 2015

Destiny's Game

19.25

Ah ! Aku selalu mengutuk Jakarta dan semua hiruk pikuk plus kemacetanya yg sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kalau tadi aku tidak menerobos jalur busway pasti pesawat ini sudah terbang. Jelas, aku tahu itu perilaku yg salah. Tapi kondisi kadang memaksa seseorang melupakan mana yg salah.

Aku merubah ponsel menjadi mode pesawat. 2 jam lagi aku sampai di Jogjakarta.

Ya, Jogja selalu punya cerita. Kota kecil dengan tradisi dan sejarah yg panjang. Kota yg selalu punya kisah istimewa.

Jogja seperti rumah yg menanti aku untuk kembali. Aku menemukan sesuatu disini. Sesuatu yg membuat aku lari dan akhirnya mencari mencari kembali.

Aku sengaja datang 3 hari lebih awal dari hari pernikahan Zahra. Aku mau punya waktu untuk mencari kembali apa yg sudah kutinggal pergi.
....
Jogjakarta, pertengahan Juni 5 tahun lalu.

"Lain kali ati ati nonaa"
"Gue pikir Jogja beda sama Jakarta."
"Copet mah dimana mana sama aja."

Pria itu mengembalikan dompet merah marun yg tadi sempat dibawa seseorang pergi. Dia membuka masker yg menutupi sebagian wajahnya dan mengulurkan tangan.

"Abimanyu."

Sebagai tanda terima kasih. Aku harus menuruti keinginan pria itu. Kami janji bertemu di Malioboro.

"Are you ready to find some fun ?"
"Awas lo ya macem macem sama gue !"
"Tenaaang nona, nih kalau perlu pegang ktp aku sebagai jaminan."

"Come on !"
Pria itu menarik tanganku, dan membawaku pergi. Kami berjalan disekitaran Jogjakarta. Pria itu dan segala tingkah konyolnya membuat aku lupa rasanya lelah.

Kami melewati banyak tempat bersejarah di Jogja. Dan dia menceritakan semuanya tanpa detail yg terlewat. Sepanjang jalan dia melakukan banyak hal konyol yg awalnya membuatku malu tapi lama lama aku merasakan kebebasan disisinya. Kebebasan yg membuat aku melupakan batasan batasan dan juga rasa sakit.

"Yeaaah here we are, nona !"

Damn ! You know where we are ? Abi bilang ini tempat paling cozy yg ada di Jogjakarta. Katanya semua penat bisa hilang. Dan tidak ada yg dilarang.

Nope ! Ini bukan bar atau semacamnya. Ini pasar malam. Ya literally pasar malam.

"Trust me ! Ini jauh lebih menyenangkan dibanding semua bar atau club mewah dijakarta. You can be anything you want without beer. Emmmm dan hari ini aku pengin kita jadi jadi anak kecil. Bersenang senanglah, nona !"

Abi benar benar membuat aku kembali menjadi anak kecil. Setiap detik bersamanya membuat aku lupa semua masalah yg membawaku berlibur ke Jogja. Abi membuat aku menjadi aku tanpa pernah menuntut apapun.
....
Kami menginap di sebuah losmen. Tapi tentu dengan kamar yg berbeda. 3 hari berlalu dengan banyak kebahagiaan.

"Kata mas Abi, saya harus menutup mata Non."
"Eh bu tapi..."

Abi selalu punya cara membuat liburan kami penuh warna. Eh hal konyol apa lagi yg mau dia lakukan malam ini.

Ibu pemilik losmen membuka penutup mataku. Ada semacam tenda berwarna merah di tepi pantai. Dikelilingi dengan lilin dan bunga mawar merah.

Didepan sana duduk Abi sedang memegang gitar dan memainkan sebuah lagu.

Beautiful Girls - Christian Bautista

Setelah nada terakhir di lagu itu. Abi datang dan mengulang beberapa lirik di lagu itu.

"Its was destiny's game when love finally came on. I just knew i'm in love again after a long long while. Did love again."
"Maksud lo bi ?"
"Ya aku suka sama kamu."
"Nama asli gue aja lo gatau gimana lo bisa bilang suka ?"
"Cinta bukan tentang seberapa dalam kita mengenal seseorang, tapi seberapa dalam kita memahami perasaan kita sendiri."

Aku berlari masuk ke dalam losmen. Kalau bisa rasanya aku ingin berlari jauh kembali sebelum tiga hari. Yg Abi tau ada sesuatu yg salah dalam percernaanku. Aku bilang akan memberinya jawaban senja besok hari.
.......
Diakhir sepertiga malam aku mengemasi sebuah barang barang. Aku harus pergi sebelum Abi bangun. Tidak, tidak ada yg salah pada Abi. Hanya saja dia datang disaat yg sangat tidak tepat.

Bohong kalau aku harus bilang aku tidak tertarik padanya. Abi tampan, dia punya sayu yg menenangkan. Tapi aku sedang pada masa tidak mempercayai semuanya. Terutama mereka. Kaum pria.

3 hari yg lalu hakim mengetuk palu perceraian kedua orang tuaku. Ayah menggugat cerai Ibu untuk menikahi perempuan yg setahun lebih muda dari aku. Ayah melupakan aku dan Ibu demi apa yg katanya dinamakan Tuhan dengan cinta. 

Aku lari dari rumah. Seorang diri berlibur ke Jogja. Mencari ketenangan. Bukan pria. Dalam hati aku tau Abi bukan Ayah. Tapi di sisi hati lainya aku tau aku sedang tidak bisa mempercayai mereka.
.....
5 tahun berlalu. Dan aku menyesali itu. Pergi diam diam dari Abi. Satu satunya laki laki yg pernah aku cintai. 

Entah apa yg nanti mungkin terjadi. Tapi aku rasa sudah saatnya aku berhenti menjadi seorang pengecut. Sudah saatnya aku lari karena takut pada luka.

Aku mencari Abi ke semua tempat yg pernah kami kunjungi. Ini peluang terakhir yg aku punya. Pergi ke losmen tempat dulu kami menginap.

"Yaah mbak, kenapa baru dateng ? Semenjak mbak pergi mas Abi selalu dateng kesini loh. Udah tiga tahun dan hampir setiap minggu. Dia selalu tanya ke saya apa mbak dateng nyari dia. Sebentar mbak."

Ibu pemilik losmen masuk ke dalam. Dan keluar dengan setumpuk surat.

"Ini semua surat yg ditinggalin sama mas Abi buat mbak. Katanya dia gatau dimana harus cari mbak. Tapi kalau ga salah ini surat terakhir yg mas Abi titipin ke saya. Sekitar setahun lalu kalau saya ga salah. Habis itu udah mas Abi ga pernah dateng lagi mbak."

Aku mengambil semua surat dari Ibu pemilik losmen. Aku baca satu persatu surat yg dibuat Abi. 231 surat ini isinya hampir sama. Tentang rasa cinta dan penantianya.

Aku menyimpan surat terakhir dalam saku celana. Surat yg belum siap untuk aku baca. Aku janji aku akan membalas semua penantian Abi untuk ini. Aku akan mencarinya. Dan surat terakhir ini hanya akan aku baca setelah aku menemukanya.
....
Aku bisa sedikit melupakan Abi disini. Pernikahan Zahra, sahabatku sewaktu SMA. Seperti takdir Zahra memilih menikah di Jogja. Seperti takdir Zahra mengingatkanku untuk kembali ke tempat dimana seharusnya aku kembali.

Pernikahan Zahra diadakan di sebuah gedung yg menghadap langsung pada pantai. Dekorasi putih dan merah dengan bunga bunga mawar yg cantik.

Aku bertemu dan bernostalgia bersaama beberapa teman lama. Setelah hampir tiga perempat jam kami habiskan untuk berbincang akhirnya kami masuk ke dalam. Antrian menyalami mempelai cukup panjang.

Zahra terlihat sangat cantik dengan gaun putih bercampur sedikit merah. Sesuai dengan tema resepsi ini. Aku mengamati mempelai pria. Selama ini aku tidak tahu siapa pacar Zahra. Yg aku tau cuman hampir setahun mereka berhubungan.

Aku merasakan ada sesuatu yg beda dimata mempelai pria itu. Sesuatu yg sepertinya sudah lama aku rindukan. Antrianku semakin dekat. Dan wajahnya semakin jelas. Wajah yg sangat aku rindukan.

Aku mengucapkan selamat pada Zahra dengan susah payah menahan air mata. Dan menyalami mempelai prianya yg terlihat sangat tampan dengan jas putih berpadu dasi dan kemeja merah. Kami bersalaman. Ia memandang wajahku cukup lama dan menghela napas panjang.

"Nona"

Rasanya aku ingin waktu berhenti disini. Rasanya aku ingin waktu memberi waktu untuk menghapus luka dan kerinduan yg telah jauh berlalu. Tapi tamu undangan lain mendesak dari belakang.

Aku berlalu pergi. Berjalan sejauh yg aku bisa. Keluar dari ruang resepsi ini. Rasanya aku ingin menumpahkan semua luka pada deru ombak di depan sana.

Aku merasakan sakit atas kerinduan dan luka yg terlalu menyesatkan. Aku meneteskan semuanya. Akumulasi air mata dari semua kerinduan selama 5 tahun yg aku punya.

Dari dalam terdengar suara seseorang bernyanyi. Aku tau betul ini suara Abi. Dia menyanyikan lagu yg sama tapi untuk orang yg berbeda. 

You said hello, and i turn to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew i'm in love again after a long long while 
Did love again
Its was destiny's game when love finally came on
I rush in line only to find that you were gone

Beautiful Girl - Christian Bautista

Pisau tumpul itu menusuk disini lebih dalam. Lebih sakit dari yg sebelumnya aku rasakan.

Aku membuka surat terakhir Abi yg aku simpan di saku celana. Surat aku janji hanya akan aku buka saat aku sudah menemukanya.

Dear nona yg tidak pernah aku tau siapa namanya,

Aku selalu kembali ke tempat ini. Sudah empat tahun. Tapi mungkin ini saatnya aku berhenti. Karena kamu tidak akan kembali.
Nona, cinta itu seperti minuman kaleng. Semuanya punya batas kadaluarsa. Selagi ada jangan disia siakan nona. Karena nanti kalau batasnya sudah terlewati sama seperti minuman kaleng. Hanya bisa menyakiti.
Maaf karena tidak menunggumu sedikit lebih lama.

Abimanyu,

Penyesalan semakin menyebar di dalam sini. Semakin menyakitkan. 5 tahun aku buang untuk mempersiapkan diri dan membiarkan kesempatan berlalu pergi.

Bait terakhir lagu yg terdengar dari dalam. Lagu yg dinyanyikan Abi.

Its was destiny's game when love finally came on
I rush in line only to find that you were gone

Suara Abi membawa pergi semua rasa pada debur ombak di depan sana.
......