Jumat, 31 Oktober 2014

Komoditas religi

Religi sekarang menjadi komoditas baru. Diperjual belikan untuk berbagai keperluan. Religi dijadikan tolak ukur dalam kelas kelas sosial. 

Religi bahkan menjadi salah satu komoditas unggulan dalam masa PDKT. Saling mengingatkan untuk solat. Kenyataanya belum tentu dilakukan. 

Padahal sejatinya religi adalah urusan hati. Dyadik antara hamba dan tuhanya. Bukan antara hamba tuhanya dan hamba yg lain.

Kita tidak berhak menakar keimanan seseorang. Karena kita bukan tuhan yg bisa membaca hati. Kita tidak berhak merasa lebih benar karena berpegang teguh pada ajaran agama yg kita yakini. Toh sebagian besar dari kita meyakini suatu agama karena orang tua kita lebih dulu meyakini agama tersebut. Bolehlah merasa agama kita paling benar, karena memang diharuskan demikian, tapi bukan berarti kita berhak memaksakan orang lain pada kebenaran yg kita yakini.

Sayangnya saat ini masyarakat sering kali menakar keimanan seseorang lewat atribut yg dikenakan. Orang yg menggunakan dua lapis hijab panjang hingga menutup dada dianggap lebih beriman dibanding yg menbiarkan rambutnya terurai. Lalu masing masing dari kita mulai mengeksklusifkan diri. Merasa lebih benar dari golongan yg lainya. Merasa berhak menggurui atau mencela golongan lainya.

Yg berhijab panjang merasa orang lain rendah iman, lalu yg tidak berhijab menganggap mereka fanatik agama. Saling mencela dan menyakiti. Bukankah ada yg namanya habluminallah dan habluminanas ? Hubungan dengan tuhan (hambluminallah) biarlah jadi urusan masing masing. Jangan dicampur adukan dengan hambluminanas.

Surga atau neraka ditentukan oleh pahala dan dosa individu bukan kolektif. Jadi buat apa repot repot mengurusi dosa orang lain. Kalau dia masuk neraka toh tidak ada pengaruhnya buat kita. Tapi kalau kita mencela dosa orang dosa kita justru bertambah karenanya.

Lagipula tuhan itu letaknya di hati bukan di atribut-atribut yg kita kenakan bukan ?

Sepersekian detik

Perlu aku mengebiri waktu untuk melihatmu sepersekian detik saja ?

Harusnya detik ini aku disana. Diantara ratusan mata metapmu penuh tawa. Tapi aku justru terjebak di tempat yg seharusnya.

Singkat cerita kita sudah lama tak berjumpa. Bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Dan ini waktu yg seharusnya. Hari ini untuk sepersekian detik saja.

Aku sudah mengakali waktu sedemikian rupa. Tapi akhirnya tetap sia sia. Kesempatan terlewat begitu saja.

Mungkin tuhan memintaku untuk lebih keras bersabar. Menahan rindu dan segalanya yg menggebu. Seperti berpuasa, nikmatnya berlebih saat buka. Seperti menanti berhari nikmatnya lebih walau hanya sepersekian detik saja.

Menjelang pertengahan malam
Pusgiwa, 30 november 2014

Rabu, 29 Oktober 2014

Seni dan kebrutalan

Seniman. Yg terlintas dikepala saat dengar kata ini pasti segerombolan orang berantakan, dengan rambut yg tak tertata, baju kumuh, rokok, minuman keras. Dan segala macam kebrutalan lainya.

Aku tidak habis pikir kenapa konotasinya jadi begini ? Masyarakat yg salah mengontruksikan atau senimanya yg memang begajulan ?

Yaa memang aku belum pantas mendapat predikat seniman. Sama sekali belum. Acting teater masih cemen, puisi juga cemen, menari apa lagi. Mungkin aku baru pantas disebut penyuka seni.

Tapi sebagai penyuka seni yg belum pantas disebut seniman aku kontra dengan paradigma yg dianut beberapa seniman atau seniman senimanan saat ini.

"Bukan seniman namanya kalau tidak merokok. Bukan senimana namanya kalau belum hidup bebas. Seniman itu ya golongan semau mau gue." - Anonim

Lah memang seniman itu spesies tersendiri yg diciptakan oleh Tuhan ? Memang seniman berbeda dengan manusia pada umumnya ? Memangnya senimana punya empat tangan ? Lalu kenapa harus mengkelas kelaskan diri. Dengan paradigma yg menyimpang pula.

Yg membedakan seniman dan nonseniman hanya bakat yg diberikan tuhan atau kemampuan yg diasah lebih keras dari yg lain. Berapa banyak batang rokok yg dihisap atau berapa botol minuman keras yg diminum sama sekali tidak menentukan besaran kualitas dalam seni.

Buat orang apatis macamku, orang lain mau ngerokok kek, minum kek, narkoba kek. Persetan. Bodo amat. Itu pilihan hidup yg harus dihargai. Mau jadi seniman yg brutal atau yang mahal. Bebas. Itu pilihan.

Tapi setidaknya jangan menghalalkan kebrutalan atas nama seni.

Anomalous Ludus

Aku adalah seorang ludus sejati. Bagiku cinta adalah tentang apa yg terlihat, tentang bagaimana cara lelaki berpakaian dan menampilkan dirinya. Penampilan adalah penilain teratas dalam memilih pria. Tadinya.

Sampai cinta datang tanpa disengaja. 

Sebagai seorang ludus, aku sama sekali tak pernah tertarik pada dia. Tidak ada yg memikat mata, semua yg terlihat di sisi luar dirinya biasa saja. Lalu tuhan memberikan kami takdir untuk bersama seharian. Ini adalah kali pertama kita saling berbincang. Kali pertama aku tau bahwa ternyata dia tidak sependiam kelihatanya. Dia membiarkanku menertawakan kebodohanya seharian. 

Sama seperti hujan, dia sederhana dan menyenangkan.

Semenjak saat itu aku tidak pernah berhasil mengeliminasi dia dari isi kepala. Selalu dia dia dan dia. Semua waktu yg kita lewati bersama selalu menyenangkan. Tertawa dan membicarakan banyak hal absurd. 

Our first togetherness,

Pada saatnya nanti ada seseorang yg mampu merubahmu 180 derajat, dan ketika saat itu tiba maka dia lah orangnya - Ananda Adetya Ayuningtyas

Sebagai seorang ludus sejati, tidak mungkin bagiku untuk jatuh cinta padanya. Tapi apa mau dikata kalau sudah hati yg bicara ? Ini cinta. Lagi pula sampai kapan pria dan cinta hanya jadi prestige belaka ? Ya ini cinta !

Tapi situasi membuat kita harus menutupi rasa yg ada. Pura pura acuh seperti tak pernah ada apa apa. Demi apapun ini menyakitkan. Meskipun aku seorang aktor teater tapi bagiku acting hanya diperuntuntukan diatas panggung. Aku benci beracting dalam kehidupan nyata. Benci sekali.

Jarak yg dekat justru membuat kita semakin menjauh. Karena kita terjebak dalam sandiwara super tolol. Yg lain bisa memeluk dan tertawa denganya sesukau hati tapi aku ? Hanya bisa diam menjaga jarak dan menikmati sakitnya sendirian.

Hingga keadaan terus saja memburuk. Kita saling menakar hati. Mencari tau arti satu sama lainya tanpa pernah bertana. Atau mungkin sebenarnya hanya aku yg menakar hatinya dan berharap memiliki arti untuk dia. Ah lagi lagi aku sedang menakar hati. Maaf.

Lo boleh bilang gue bajingan, tapi jangan pernah lo bilang gue pengecut karena aku pemanis di hidup kamu - leluconya.

Tapi sayangnya kali ini aku harus bilang bahwa dia pengecut atau kita berdua pengecut. Saling menunggu. Egois. Sama sama tidak mau mengambil resiko. Sama sama terlalu takut pada penolakan. Atau mungkin hanya aku yg takut dan dia tidak peduli karena aku memang tidak pernah spesial untuk dia. Ah lagi dan lagi menakar hati. Maaf.

Good actor should demolish their self defense mechanism - Randhy Prasetya

Sudah kepalang tanggung. Biar aku yg meruntuhkan self defense mechanism. Meruntuhkan semua tembok dan gengsi yg terbangun dengan kokoh. Biar aku yg berhenti menjadi pengecut dan bertanya arti aku buatnya.

Tapi keadan semakin terus memburuk. Dia bahkan tak sempat menyisihkan waktu untuk mendengarkan pengakuan. Tentang apa yg ada disini. Tentang betapa aku teramat sangat mencintai dia.

Satu. Batu. Satu. Doaku. Semoga Allah melindungi kesibukanmu - Ismi Rahmawati

Sekarang kita semakin berjarak. Tak ada lagi canda atau sapa. Tak punya waktu untuk saling bertatap muka atau sekedar berkiriman pesan. Aku masih menunggu chatnya. Berharap waktu bisa mengembalikan leluconya dan tawaku seperti dulu.

Jangan buat arti cinta jadi remeh dengan menyamakanya dengan pacaran. Cinta dan pacar punya arti yg berbeda.

Perasaanku masih tetap sama. Tapi ambisiku runtuh sudah. Aku sudah tidak lagi berambisi untuk memilikinya atau mengikatnya dalam komitmen. Persetan dengan status pacaran. Persetan ! Persetan dengan pernyataan cinta. Persetan ! Persetan dengan dia mencintaiku atau tidak. Persetan !

Melihatnya sehat. Mengaguminya dalam diam. Mengenang semua leluconya. Menantikan kebersamaan seperti dulu. Mendoakan kebahagiaanya dalam tiap solatku. Itu sudah cukup. Sungguh. 

"When you love someone then you can't find the reason why, thats the pure love," they said.