Religi bahkan menjadi salah satu komoditas unggulan dalam masa PDKT. Saling mengingatkan untuk solat. Kenyataanya belum tentu dilakukan.
Padahal sejatinya religi adalah urusan hati. Dyadik antara hamba dan tuhanya. Bukan antara hamba tuhanya dan hamba yg lain.
Kita tidak berhak menakar keimanan seseorang. Karena kita bukan tuhan yg bisa membaca hati. Kita tidak berhak merasa lebih benar karena berpegang teguh pada ajaran agama yg kita yakini. Toh sebagian besar dari kita meyakini suatu agama karena orang tua kita lebih dulu meyakini agama tersebut. Bolehlah merasa agama kita paling benar, karena memang diharuskan demikian, tapi bukan berarti kita berhak memaksakan orang lain pada kebenaran yg kita yakini.
Sayangnya saat ini masyarakat sering kali menakar keimanan seseorang lewat atribut yg dikenakan. Orang yg menggunakan dua lapis hijab panjang hingga menutup dada dianggap lebih beriman dibanding yg menbiarkan rambutnya terurai. Lalu masing masing dari kita mulai mengeksklusifkan diri. Merasa lebih benar dari golongan yg lainya. Merasa berhak menggurui atau mencela golongan lainya.
Yg berhijab panjang merasa orang lain rendah iman, lalu yg tidak berhijab menganggap mereka fanatik agama. Saling mencela dan menyakiti. Bukankah ada yg namanya habluminallah dan habluminanas ? Hubungan dengan tuhan (hambluminallah) biarlah jadi urusan masing masing. Jangan dicampur adukan dengan hambluminanas.
Surga atau neraka ditentukan oleh pahala dan dosa individu bukan kolektif. Jadi buat apa repot repot mengurusi dosa orang lain. Kalau dia masuk neraka toh tidak ada pengaruhnya buat kita. Tapi kalau kita mencela dosa orang dosa kita justru bertambah karenanya.
Lagipula tuhan itu letaknya di hati bukan di atribut-atribut yg kita kenakan bukan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar