Datang kembali ketempat ini, sama seperti membuka box kenangan. Kapsul waktu yg sudah lama terkubur.Sudah banyak yg berubah. Semakin megah seakan tak mau dikalahkan kemajuan jaman. Tapi aku masih ingat betul tiap sudut kenangan dalam perpustakaan ini. Ternyata dulu aku pernah muda dan penuh semangat.
5 tahun lalu tempat ini selalu jadi yg terfavorit. Paling nyaman. Almamaterku pasti punya maksud dan tujuan khusus membuat perpustakaan ini sedemikian rupa nyamanya. Wifi super cepat, sofa nyaman, cafe dimana mana. Mungkin agar mahasiswa betah berlama lama mencari ilmu atau mungkin untuk mempermudah proyek korupsi. Persetan. Yg jelas tempat ini pada akhirnya beralih fungsi dari tempat membaca jadi tempat nongkrong. Tujuan bolos nomor wahid.
Aku bukan mahasiswa ambi walaupun ip tergolong tinggi. Jadi aku sama seperti yg lain, alih alih membaca buku aku justru cekikikan tak karuan kalau sudah disini. Tapi bukan itu daya tarik utama tempat ini. Kenyamanan tidak ada artinya tanpa dia. Lelaki yg selalu duduk sendiri di sofa paling belakang. Khusuk di depan sketch book dengan rokok yg tak pernah lepas dari tangan. Di tempat ber ac macam ini merokok adalah hal yg di haramkan. Tapi entah mengapa dia melakukanya, entah sudah ditegur berapa ratus kali. Tapi setiap kali aku kesini tak pernah ada yg berubah.
Dia selalu sendiri, dengan sorot mata yg sayu. Ada banyak kepedihan di balik sorot mata itu. Perawakanya biasa, kulitnya coklat tua, rambut ditata seadanya. Khas laki laki. Biasa saja. Secara kasat mata tak ada yg istimewa.
Tapi selalu ada yg berbeda ketika aku melihatnya. Sorot mata itu. Ya mungkin sorot mata itu penyebabnya. Rasanya aku ingin ada disana. Memeluknya saat sorot mata itu semakin mengambarkan kepedihan. Ini adalah kali ke 23 aku disini, menatapnya diam diam.
.........
"Dek ayoolah, bantu abang. Kali ini aja."
"Gamau bang."
"Lombanya tiga hari lagi, abang gamau mundur gitu aja. Abang udah mati matian."
"Bilang aja ke vokalis abang siapa tau sakitnya bisa diundur sampe kelar lomba."
"Jangan becanda !"
"Yee siapa juga yg becanda."
"Yaudah kalau kamu gamau bantu, biar abang bilang ke bunda sebenernya kamu pergi ke bali sama adit bukan sama abang."
Sial. Berkat jebakan batman dari bang Diar disinilah aku sekarang. Stasiun gambir. 16:30. Masih setengah jam sebelum Argo Bima datang. Sendirian.
16:50. Gerbong 3 kursi nomor 17A.
"Sori, adenya Diar ya ? Boleh gue duduk."
"....."
Hidup adalah sebuah puzzle. Tiap kejadian merupakan kepingan takdir yang disatukan. Sekarang aku tau apa artinya itu. Tuhan punya alasan untuk setiap kejadian.
Termasuk ketika aku berada disini. Dalam Argo Bima menuju Surabaya. Anggota band bang Diar berangkat kemaren. Tapi ujian membuatku harus menyusul. Dan sialnya aku kehabisan tiket pesawat. Sepanjang hari aku mengutuk diri. Ngeri membayangkan perjalanan panjang lama dan membosankan dalam kereta.
Tapi entah apa yg harus kukatakan pada Tuhan sekarang. Kalimat syukur seperti apa yg harus aku panjatkan. Dia. Lelaki yg sekarang duduk khusuk dengan headset ditelinga. Tepat di sebelahku. Kita yg berbulan bulan lalu terasa jauh sekarang hanya berjarak beberapa jengkal. Bahkan baunya bisa kucium dengan jelas. Dia lelaki bermata sayu yg kulihat diam diam di sofa belakang. Rama.
30 menit pertama perjalanan kita habiskan dalam diam. Dia khusuk dengan headsetnya dan aku ? Masih mencoba mengumpulkan nyawa yg melayang kegirangan. Setelah 30 menit pertama susana perjalanan berubah haluan. Aku tak henti hentinya tertawa. Perjalanan dipenuhi lelucon dan kebodohanya. Ternyata aku salah. Mata sayu itu tidak sepenuhnya menyimpan kepedihan tapi juga kesederhanaan dan humor yg luar biasa mengagumkan.
.......
Aku sudah kehilangan kendali atas otaku sendiri. Harusnya aku memikirkan ini tapi ujungnya justru memikirkan itu. Dan itu adalah dia, Rama.
Kita sering bertemu secara diam diam. Diantara malam, ketika abang dan anggota band yg lain sedang asyik bergelut dengan mimpi. Kita menjelajahi kota Surabaya hanya bermodalkan insting. Tapi aku tak pernah peduli kemanapun kita pergi. Karena yg penting bagiku adalah dengan siapa bukan kemana. Dan Rama selalu tau cara membuat malam kita menyenangkan.
Aku tau ini tidak sepenuhnya benar. Pertama, aku sudah berpacaran selama 3 tahun dengan Adit. Rencana tunangan bahkan sudah ada. Tahun depan setelah lulus kuliah. Kedua, Rama adalah teman bang Diar. Sudah 20 tahun aku jadi adiknya. Dan aku tau pasti abang tidak akan merestui hubungan kami.
Tapi bagaimana bisa aku mendustai perasaanku sendiri ?
.......
"Memangnya kamu Tuhan, bisa baca hati aku?"
"Dir kamu itu bukan orang asing buat aku. 5 tahun aku kenal kamu. Come on, tell me the truth, liar !"
"How if the truth will hurt you ?"
"Terrible lie are more paintfull than the truth."
Ya. Seburuk apapun sebuah kebenaran, kebohongan akan lebih menyakitkan. Aku tau ini menyakitkan tapi akan lebih menyakitkan bagi Adit kalau aku terus berbohong. Kujelaskan dengan berat padanya tentang Rama. Tentang cinta yg datang tak seharusnya. Tentang dia dan semua candanya yang membuatku jatuh cinta. Dengan hubunganku dan Adit yg semakin membosankan. Tentang kesepian yg kurasakan karena jarak yg memisahkan kita.
"Dir perjuangan aku buat kamu itu ga main main ya. Kamu tau semati matian apa aku buat kamu. Kalau tentang jarak itu kan udah kita omongin semenjak aku mutusin buat kuliah di amerika ? Aku kaya gini juga buat kamu. Buat anak anak kita kelak."
"Aku tau dit aku tau. Tapi kamu juga harus tau ini berat buat aku. Dimana kamu saat aku butuh ? Dia yg ada disisiku dit bukan kamu."
"Make it simple. Me or him ? Aku yg udah 3 tahun berjuang buat kamu atau dia yg baru kamu kenal 3 bulan?"
"Kalau aku bisa ngatur hatiku aku pasti milih kamu."
"Me or him dir !"
"Maaf dit."
"Pilihanmu. Aku bisa apa ? Good luck. Let me leave from your life."
Aku tau ada luka di setiap kata yg Adit ucapkan. Aku tau dia pria baik. Satu satunya yg kuat dengan semua egoku. Mungkin aku akan menyesal telah melepaskan dia. Setiap keputusan punya konsekuensinya masing masing. Apapun yg terjadi nanti atas pilihanku. Setidaknya aku tidak mendustai hati.
.........
Waktu juga punya batas. Tapi penantian ini masih belum terhenti. Sampai kapan aku harus menanti ?
7 tahun berlalu setelah saat itu. Saat dimana Rama pergi tanpa sepatah katapun. Tanpa kepastian akan aku. Akan kita.
Aku menjalani hari seperti biasa. Seperti orang orang pada umumnya. Waktu membantuku mengikis sedikit demi sedikit ingatan akan pria di sofa belakang yg matanya selalu dipenuhi kesayuan. Hidupku berjalan dengan baik. Tapi tidak di sini. Di hatiku. Sejujurnya aku masih merindukan dia.
Dalam doa doa yg kupanjatkan setiap malam, terselip nama pria bermata sayu itu. Aku rindu tawanya. Aku rindu kekonyolan kita. Aku rindu.
.........
Ada sesuatu dalam hujan. Sesuatu yg selalu bisa membawa kenangan. Sudah 10 hujan diawal juni yg terlewati. Taun berganti tapi tidak dengan ingatan. Hujan diawal juni selamanya tetap spesial.
Hujan diawal juni kesepuluh. Aku duduk di kursi belakang tempat pria itu mengkebiri batang demi batang rokoknya. Menanti untuk yg kesekian ratus kali.
Inbox :
I can see liberty crying. As always she cry every june. Sadly, i knew i was be a part of her tears. I dreamed a day to wipe her tears. Could it become real, my liberty ?
Email itu yg membuatku datang ke tempat ini. Tempat dimana dia berjanji datang untuk menghapus kesedihan. Entah apa yg aku rasakan. Yang aku tahu hanya sedari dari aku bersusah payah untuk menahan cairan turun dari mataku.
Matanya, hanya itu satu satunya tetap sama. Sayu. Waktu telah merubah pria itu. Tanganya tidak lagi membawa rokok, celananya tidak lagi koyak. Rambutnya ditata rapi tidak lagi berantakan. Dan apa itu ditanganya ? Dia menggunakan jam berwarna silver. Dulu hanya karet gelang nasi bungkus yang melingkar disana.
Kalau ini bukan perpustakaan sebuah kampus nomor wahid yang dijejali ratusan mahasiswa dengan kapasitas otak yang katanya diatas rata-rata. Kalau saja aku tidak perlu menanggung gengsi atas usia dan pakaian kerja serta hak 12 cm yg menempel pada telapak kaki, aku pasti sudah berlari menghabur dan membenamkan mukaku di dada pria itu. Atau mungkin aku akan berteriak memaki ketika mata sayu yg kurindukan itu muncul dari sisi kiri sebuah dinding besar. Tapi kode etik sialan yg ada di otaku ini melarangku untuk melakukan semua itu. Alhasil hanya basa basi sampah yang keluar dari mulutku.
"Hai. Apa kabar ? Kapan pulang ke indonesia ?" Dan serangkaian formalitas menggelikan lainya.
Lelaki pendiam itu tetap diam. Sedikit tersenyum. Lalu memeluku.
Apa ini ? Rasanya seperti ditelanjangi di muka umum. Aku rasa 75% manusia yg melihat adegan ini akan mengingat aku dan rama sebagai pasangan cabul yg hobi pamer kemesraan di depan umum. Tapi persetanlah ! Selama ditelanjanginya bersama pria ini aku rela. Sungguh.
Aku tidak membalas pelukanya. Bukan karena tidak mau tapi karena tiba tiba aku lupa caranya menggerakan tangan.
Lelaki bermata sayu itu melepaskan pelukanya, menatapku. Betapa sialnya aku. Cairan yg kutahan dengan susah payah akhirnya luluh juga dari mata. Setelah 10 tahun berlalu, aku masih bocah kecil ingusan yg cengeng.
"Finally i can wipe your tears, my liberty. Sorry for so much pain that i give to you. I won't but i should."
Aku kehilangan semua pertanyaan, makian dan kemarah. Diam.
"Aku pergi sepuluh tahun yg lalu bukan karena aku mau. Tapi aku harus dir. Malam terakhir di Surabaya setelah aku mengantarmu ke kamar hotel, Diar menarik kerah bajuku, dia menyeretku ke parkiran mobil. Aku tidak bisa inget apa yang dia lalukan, yang aku tahu pelipis, hidung, dan daguku mengucurkan darah."
Diam. Aku masih diam. Memendam kemarahan.
"Kamu ga boleh nyalahin Diar. Kalau aku jadi dia mungkin aku melakukan hal yg lebih mengerikan. Dia hanya seorang kakak yg tidak mau hidup adik perempuanya hancur karena laki-laki berengsek seperti aku."
"Aku tau kamu Ram, aku tau kamu laki-laki baik. Hidupku tidak mungkin hancur karena kamu."
Dia tertawa. Matanya semakin meredup.
"Aku bukan seperti apa yg kamu pikirkan. Aku bukan pria baik. Abangmu tau persis siapa aku. Aku memilih kuliah disini bukan karena ini universitas bagus tapi karena ini satu satunya cara untuk lari dari keluarga yg sangat aku benci. Ibu meninggalkan kami dan memilih untuk menikah dengan pria bule saat bisnis ayah nyaris gulung tikar. Beruntung 3 tahun kemudian bisnisnya membaik tapi sial. Ayah justru jadi suka main perempuan."
Helaan napasnya terdengar semakin memberat.
"Dan aku. Aku ini tukang main judi, tukang mabok, dan juga pemakai narkoba. Diar teman yg baik. Dia tidak mempermasalahkan semua itu. Bahkan dia rela menyerahkan motornya ketika seorang preman hampir membunuhku yg mangkir dari hutang."
"Motor abang yg hilang itu ..."
"Motor itu tidak pernah hilang. Dia hanya mengarang cerita. Tapi, aku memang lelaki berengsek yg tidak tau diri. Setelah semua kebaikanya, aku justru mengencani adik perempuan kesayanganya. Seharusnya aku tau siapa aku sebelum berani jatuh cinta pada tuan putri dari keluarga baik baik."
"Tapi aku bisa menerimamu. Aku tidak pe..."
"Aku tau dira aku tahu persis. Kamu sama baiknya dengan Diar. Tapi bagaimana dengan kedua orangtuamu ? Keluarga besarmu ? Mana mungkin mereka rela merelakan putrinya menikah dengan sampah seperti aku. Apalagi setelah sebelumnya putri yg mereka banggakan itu berpacaran dengan anak mentri lulusan kedokteran di amerika dengan moral tanpa cacat."
"Sneak ! So you run ?"
"I won't but i should. Aku lelah terus menerus bersembunyi dari preman preman itu. Aku sudah menjual ginjal, tapi hanya cukup untuk melunasi seperempatnya. Amerikalah satu satunya tempat aman untuku, meski setiap hari aku harus melihat muka suami baru ibuku yg memuakan itu."
"Then how about me ? Have you ever thinking about me ?"
" i thingking about you, every breath. Aku berusaha memantaskan diriku. Diar bilang aku boleh kembali kalau aku sudah pantas untuk adik perempuanya. Aku berusaha menjauh dari barang haram itu. Berusaha membangun bisnis. Then now i'm back as a better man for you."
"Tapi ram..."
Pria kecil menabrak kaki Rama. Dibantunya pria kecil itu berdiri.
"Maaf om, saya tidak bisa melihat. Kata dokter saya buta dari lahir."
Aku kenal suara itu ya aku sangat mengenalinya.
"Rama ?"
Dua pria didepanku menoleh. Hening. Yang kecil kemudian berteriak.
"Bundaaa"
Seorang pria berlari lari kecil dibelakang. "Rama, disini kamu ternyata. Ayah cari dari tadi. Ayah bilangkan tunggu disamping mobil sayang. Untung ketemu bunda."
"Ram, kenali ini Arjuna suamiku, dan ini Rama anaku."
Pria bermata sayu iyu tersenyum lalu menjabat tangan Arjuna. Mengacak acak rambut Rama kecil.
"Hei kita punya nama yang sama anak manis."
20 menit sisa pertemuan kami dihabiskan dengan bincang bincang formalitas sebagai bentuk tata krama dari tiga orang pria dewasa. Rama tersenyum. Tapi semuanya terlihat begitu terpaksa. Dia memang sudah lebih hangat tapi mata itu tidak akan pernah bisa berbohong. Mata itu semakin meredup walau bibirnya tersenyum.
........
Maaf karena tidak menunggumu sedikit lebih lama. Tapi cinta sama saja dengan minuman kaleng. Semua punya tanggal kadaluarsa. Makanya jangan diamkan selagi kamu punya waktu untuk meminumnya. Jika tidak minuman itu akan berakhir sebagai racun bagi tubuhmu.
Satu masa, satu kesempatan untuk cinta. Dan bila masa sudah mengalun berganti, cintamu tidak akan berarti lagi.
Setelah pertemuan itu kembali berjalan sebagaimana selayaknya. Tugasku sebagai ibu dari Rama kecil dan istri dari Arjuna. Pria bermata sayu itu tetap disana. Kita berbincang terkadang kalau dia datang beretemu bang Diar.
Jangan tanya apa yg ada dihatiku ? Tentu saja pria bermata sayu itu tetap punya tempat tersendiri disini. Tapi bisa apa ? Aku sudah menikah. Dan hubungan kami hanya bisa sebatas sebagaimana seharusnya. Tapi setidaknya kerinduanku sudah bertaut. Melihat mata itu sekali lagi, sudah cukup untuku.
.....
Apa yg bisa lebih dicintai dari seorang wanita lebih dari anaknya ?
Rama kecil adalah segalanya bagiku. 3 tahun yg lalu dia hadir dan mengisi lubang sepi di hatiku. Lubang yg telah ditinggal pria bermata sayu itu.
Arjuna memilih nama Syailandra untuknya. Tapi aku merajuk mengusungkan nama Rama. Bang Diar tentu tau maknanya tapi tidak dengan Arjuna. Aku hanya mencoba menghadirkan kembali sesuatu yg sudah lama hilang. Pria itu dalam pria kecil ini. Rama.
Tapi Rama kecilku tidak seberuntung anak lainya. Dia dilahirkan dalam keadaan tidak sempurna. Rentina matanya mengalami kelainan. Ya Rama kecilku buta.
Aku dan Arjuna menjadi mata bagi Rama. Dalam dunianya yang gelap kami coba menghadirkan cinta. Tapi tetap saja sebagai ibu aku ingin dia juga bisa melihat bagaimana wajahku bagaimana wajah dunia yg dia pijak.
Hari ini, 10 jam lagi impianku itu akan terwujud. Setelah bertahun tahun mencari donor mata akhirnya hari ini ada seseorang yang rela mendonorkan matanya. Entah siapalah dia. Katanya hanya seseorang yg ingin organ tubuhnya lebih bermanfaat sebelum meninggal 7 hari lagi.
......
"Yaelah mau kemana sih bang. Hobi banget ya lo nyulik gue tiba tiba."
Disinilah aku, dalam Pajero warna hitam milik penculik berdarah dingin. Abangku. Dari tadi dia cuma diam tidak banyak bicara. Ah entahlah.
Entah bagaimana ceritanya aku dan abang sekarang ada disini. Gedung perpustakaan. Sofa paling belakang. Ah ini pasti rencana bodoh abang, mempertemukanku dengan Rama. Apa dia lupa bahwa aku sudah menjadi ibu beranak satu.
"Apaan sih bang. Lo mau bawa temen lo ini kesini ? Bang gue udah pernah ketemu dia kali. Telat lo !"
19.30
"Mana sih temen lo itu bang, hobi banget tuh orang bikin gue nunggu."
20.15
"Ah gue mau balik bang. Bilang deh ke temen lo itu. Kalau ga niat gausah bikin gue nunggu."
"Rama ga pernah punya niatan bikin lo nunggu. I , i was the man who made you wait too long."
"Yeah bicth ! I know ! Kalau abang narik gue kesini buat njelasin kejadian waktu lo gebugin Rama sampe hampir mampus, semua itu sia sia. Gue udah tau bang."
"Maaf..."
"I really want to kill you. But yeaah emm its okay. He told me you just wanna save me. Back home dude !"
"Ada lagi yang mau gue omongin de."
Wow. Baru kali ini gue liat abang gue bertampang serius. Baru hari ini abang tidak banyak bicara.
"Rama sudah meninggal. 3 hari yg lalu. Gagal ginjal. Ginjalnya yg cuman tinggal satu itu tidak lagi bisa bekerja seorang diri. Dan menurutmi siapa laki laki bodoh yg mau memberikan matanya kepada anak dari wanita yg dicintainya dari lelaki lain. It was him. He told me to give it to you."
Sesuatu tiba tiba masuk ke dalam sini. Sesuatu yg sangat menyakitkan. Hujan tiba tiba turun di luar dan juga didalam diriku. Lelaki yg kucintai sudah pergi. Lelaki yg kucintai menitipkan matanya pada buah cintaku. Lelaki itu, yg biasa duduk di sofa ini.
Satu demi satu kejadian melintas di kepalaku. Mulai dari awal aku melihatnya duduk disini. Awal dimana aku terpikat dengan mata sayunya. Beranjak pada saat di kereta. Waktu aku pertama kali berbincang bersamanya. Hari hari menyenangkan di Surabaya. Waktu dimana dia menghilang. 10 tahun penantian. Sampai pelukan terakhir yang juga terjadi di sofa ini.
Aku membuka bungkusan yang diberikan bang Diar. Didalamnya ada sebuah sketch book kumal. Halaman demi halaman berisi coretan. Sampailah aku pada halaman terakhir. Lukisan seorang wanita sedang tertawa di sofa bagian depan. Wanita yg kukenali sebagai aku. Dibagian bawah lukisan wanita itu tertulis
Tertulis sebuah sajak yg tak pernah tertujukan
Tentang yg hadir dalam kesepian
Sedikit bahagia diantara kesedihan
Mawar merah di sofa depan
10 Juni 1995
Sesuatu yg menyakitkan itu menusuk semakin dalam disini. Aku sampai harus menutup mulut agar isaknya tidak mengeras.
Sebuah kertas jatuh ke lantai.
"Bukan kah mata ini yg membuatmu jatuh cinta ? Kutitipkan padanya, kuabadikan aku dalam dia."
Aku menangis di sofa belakang tempat pria itu menghabiskan waktunya.
.......