Sabtu, 30 Mei 2015

Ruang ruang bersekat

Aku berdiri didepan sebuah nisan kayu yg melapuk. Nisan kayu yg mendatangkan rindu. Nisan kayu yg kembali membawa ingatan pada ruang ruang bersekat.

Dalam ruang bersekat itu kami menghabiskan banyak waktu. Berbagi satu potong roti atau sebungkus nasi basi. Dalam ruang bersekat itu kami tumbuh, menikmati rasa sakit yg dihadiahkan dunia.

"Copet ! Copet !"

Tujuh lelaki berbadan besar berlari di belakang. Jarak mereka semakin mendekat. Aku berlari sekencangnya. Tapi lubang di membuatku jatuh ke jalan tanpa aspal. Aku sudah tidak lagi bisa berdiri. Tujuh lelaki mulai terlihat berlari dari persimpangan jalan.

Tiba tiba seorang anak menarik tangaku. Membawaku bersembunyi di ruang sempit yg mebatasi dua rumah. Ketujuh lelaki berlalu pergi. Tetap berteriak. Tanpa melihat kami.

"Jangan jadi pencopet. Bodoh !"

Anak laki laki itu menghardik sambil meninju bahu kiriku.

Semenjak hari itu kami berteman akrab. Dia mengajaku untuk tinggal bersama di ruang bersekat. Sebuah rumah kardus di bawah jembatan layang.

Dalam ruang itu kami tinggal bertiga. Aku, Naga, dan Karin. Karin adalah adik perempuan Naga. Wanita kecil itu tidak banyak berbicara. Matanya terlalu sayu untuk terlihat bahagia. Kata Naga Karin masih trauma.

Sejak orang tua mereka meninggal karena kecelakaan, Karin dan Naga tinggal bersama paman mereka. Tapi sayang pria itu tidak merawat mereka dengan baik. Naga dan Karin selalu jadi tempat melampiaskan emosi. Hampir setiap hari mereka dipukuli. Apalagi kalau paman kalah judi, semalaman Karin dan Naga dicambuki.

Naga yg tidak tahan melihat memar di badan adiknya. Memutuskan untuk lari. Mengumpulkan receh dengan gitar kecil untuk hidup hari demi hari. Mereka mendirikan sebuah ruang bersekat yg disebut rumah.

"Yah mungkin kita memang tidak seberuntung anak anak lain yg tidur diatas kasur busa. Tapi setidaknya dalam ruang bersekat ini tidak ada orang dewasa yg berhak menyakiti kita."
.....
Aku menyesal karena tidak menepati janjiku pada Naga. Kali ini aku mencopet lagi. Aku hanya ingin membelikan Karin kue untuk ulang tahunya besok lusa. Dan aku rasa harga kue tidak akan terbayar dengan uang hasil ngamen. Alhasil aku berusaha mengambil dompet dari tas seorang ibu berbadan gempal yg terbuka. Sialnya lagi lagi aku ketahuan.

"Copet ! Copet !"

Kali ini dua belas laki laki berlari mengejarku. Mereka berlari lebih cepat dari yg dulu.

Tapi kali ini aku bersumpah tidak akan lagi jatuh ke lubang itu. 

Ah sial. Jalan di depanku ternyata buntu. Ada sebuah pagar tinggi. Bisa saja aku memanjatnya tapi sebelum sampai keatas dua belas pria itu pasti sudah sampai dan menarik kembali badanku.

Seorang anak laki laki melemparkan drum drum minya bekas dari balik pagar. Drum drum menggelinding. Memperlambat lari keduabelas laki laki tadi.

Aku berhasil melewati pagar dan kami berlari bersama. 

Sial. Ternyata tiga laki laki lain mengejar kami dari arah yg berbeda. Aku dan Naga berbelok ke kanan. Dan terus berlari.

Kedua belas laki laki mulai menyusul kami. Yg tiga lagi sudah semakin mendekat. Kami berlari sekencang yg kami bisa.

Lubang di jalan yg dulu. Aku bersumpah tidak akan lagi jatuh. Aku melompat. Tapi Naga jatuh.

Aku meraih tanganya dan membantunya berdiri. Naga menarik tanganya.

"Lari bodoh ! Lari !"
"Tapi"
"Cepat bodoh ! Lari !"

Naga mengambil sesuatu dari sakunya. Tiga buah gelang dengan inisial N,J dan K. 

"Berikan yg berisial K pada Karin. Itu hadiah ulang tahun untuknya. Dan katakan aku sangat menyayanginya."

Tiga laki laki sudah semakin dekat.

"Lari bodoh ! Cepat lari !"

Aku berlari. Bersembunyi di sela rumah tempat dulu Naga menarik tubuhku. Aku meringkuk dan menangis. Sekujur tubuhku berkeringat. Aku menangis.

Satu jam kemudian aku keluar dari tempat bersembunyi. Aku kembali ke tempat dimana Naga terjatuh. 

Naga tergeletak di tengah jalan. Sekujur tubuhnya lebam. Mulutnya mengucurkan darah. Jantungnya berhenti berdetak. Napas terakhir Naga berhembus di tempat itu. Tempat dimana dulu dia menarik badanku. Tempat dimana kami bertama kali bertemu. Dan tempat dimana untuk terakhir kalinya dia menolongku.
.....
15 tahun berlalu tanpa Naga. Aku dan Karin diadopsi. Kami tidak lagi tinggal di ruang bersekat. 

Karin tumbuh menjadi wanita yg cantik. Dua minggu lagi Karin akan menikah. Aku ? Tentu saja aku belum menikah. Mencintai perempuanpun aku belum berminat. Aku sudah berjanji pada Naga untuk mengaja Karin dan kali ini aku tidak akan mengingkarinya.

Semuanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang. Tapi sayang calon pria yg akan dinikahinya justru tertidur. Sudah hampir 5 hari. Tidur panjang akibat jantung yg semakin melemah.

Aku tidak tahan melihat mata Karin kembali sesayu itu. Sama sayunya ketika dia kehilangan Naga. Meskipun tidak menangis. Tapi aku tahu Karin ketakutan. Wanita itu paham betul sakitnya kehilangan.
....
Aku memacu mobil hitam yg diberikan ayah angkatku. Sampai pada batas kecepatan yg ada. Galih dalam kondisi kritis. Karin minta aku mengantarnya ke rumah sakit secepat mungkin. 

"Cepat ka ! Kalaupun Galih akan pergi sama seperti Ka Naga. Aku harus bilang dia tidak perlu menghawatir. Pergi saja dengan tenang. Nanti kalau Galih bertemu Ka Naga aku pengin dia bilang bahwa aku tumbuh dengan baik."

Karin berusaha keras meringankan kalimat. Tapi aku tahu dia merasakan sakit dan ketakutan. Sakit dan ketakutan yg sama seperti ketika aku bersembunyi di sela rumah dan meninggalkan Naga. Suaranya parau. Matanya menatap nanar ke arah gelang berinisial K yg melingkar di tanganya. Aku tahu Karin takut merasakan kehilangan semacam itu sekali lagi.

Aku memacu mobil semakin kencang. Sekencang yg mobil ini bisa. Aku menyalip sebuah truk yg berada di depanku. Tapi dari arah berlawanan sebuah mobil melaju sama kencangnya. Aku memutar kemudi ke arah kanan. Membiarkan mobil ini terbalik ke sisi kanan. Harus sisi kanan agar Karin yg duduk di kursi sebelah kiri tidak terluka dengan parah.

Aku terjepit diantara mobil yg terbalik ke arah kanan. Aku merasakan darah mengalir dari pelipis kanan dan hidung. Karin tidak terluka begitu parah. Tapi ah mata kananya terkena pecahan kaca mobil dan berdarah. 

Pelipis kananku semakin deras mengucurkan darah. Semuanya tiba tiba menghitam.

Aku memaksakan diri membuka mata. Ayah berlari di sisi kanan tandu yg membawaku ke ruang operasi. Seluruh badanku rasanya sakit. Bahkan untuk bernafaspun sakit. Bersusah payah aku mengeluarkan suara.

"Karin. Ayah dimana Karin ?"
"Karin baik baik saja Jugo. Dia ada di ruang operasi lain."
"Matanyaa ?"

Ayah diam. Aku tahu Ayah takut jawabanya akan membuatku semakin menghawatirkan Karin.

Aku menggenggam lengan Ayah dengan tangan penuh darah. Dia mendekatkan telinganya pada mulutku. Dia tahu aku semakin terbata bata. Semakin sulit bersuara.

"Ayah. Aku tidak perlu hidup. Aku hanya ingin menepati janjiku pada Naga. Berikan mataku pada Karin. Dan berikan jantungku pada Galih."

Air mata ayah menetes. Ayah mengerti. Dia menggengam tanganku yg berlumuran darah.

Badanku semakin sakit. Bahkan untuk bernafaspun sakit. Tapi aku merasa bahagia. Sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yg sangat aku rindukan. Naga.

Aku akan mengembalikan gelang berinisial N miliknya yg melingkar di tanganku selama 15 tahun. Aku akan berkata dengan bangga padanya bahwa aku telah menepati janji. Aku menjaga Karin sampai terakhir. Aku juga akan menyampaikan pesan Karin. Mengatakan bahwa adiknya itu tumbuh dengan baik.

Sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan Naga. Aku akan menceritakan banyak hal padanya. Aku akan menghabiskan banyak waktu denganya. Dan bersama sama kami akan menjaga Karin dari langit.

Selamat bertemu kembali, teman.
....



Selasa, 19 Mei 2015

Cantik

Pria itu selalu duduk disana. Bangku tengah kafe ini. Setiap malam dia disana menatapku dibalik kaca mata hitam.

Pria itu memakani kemeja kotak kotak kecil berwana biru laut yg lenganya digulung. Celananya berwarna hitam. Sejenis jins namun tidak terlalu ketat. Ia menggunakan convers berwana abu abu dengan tali berwarna putih. Jam tangan hitam menglingkar sempurna di lenganya. Tampan.

Tapi ada sesuatu yg merusak penampilan pria itu. Sesuatu yg membuat ketampananya sedikit aneh. Pria itu selalu menggunakan kaca mata berwarna hitam. Ya sebetulnya cukup keren juga. Tapi ruangan ini adalah kafe dengan pencahayaan remang. Apa yg mau dia lihat dengan kaca hitam ?

Malam ini seperti malam malam lainya. Pria itu menitipkan setangkai mawar merah dan kertas kecil pada bartender yg ditujukan padaku.

"Mawar selalu merah. Dan kamu selalu cantik. Sebagaimana malam malam sebelumnya."

Cih. Cantik. Pria ini tidak ada bedanya dengan puluhan pria sebelumnya. Selalu menyanjungkun dengan kalimat cantik. Menyukaiku karena aku cantik. Mereka tidak pernah tau betapa aku benci dipanggil cantik.

Bukanya semua pria selalu begitu. Memberi harga wanita berdasarkan visualitas. Mereka tidak pernah tahu bahwa pada akhirnya visualitas itulah yg menyiksa wanita. Saling bersaing satu dengan yg lainya. Tidak pernah merasa puas atas apa yg didapatkan dari Tuhan. Semuanya demi itu, visualitas.

Banyak pria yg mencintaiku karena visualitas. Mereka bilang aku cantik. Dan aku benci itu. Sampah. Bukankah visualitas tidak pernah abadi sama seperti cinta mereka ? 

Aku tidak akan membuka hati untuk cinta visualitas mereka. Sampah. Aku hanya akan mencintai seorang lelaki yg mencintaiku bukan karena aku Cantik. Tapi karena aku adalah aku.
....
Seharusnya aku lahir dengan nama Mulan. Mulanitya Sabrina. Tapi Ibu berubah pikiran setelah melihat wajahku. Cantik. Cantika Sabrina akhirnya nama terkutuk itu lah yg aku sandang. 

Sungguh aku lebih suka dipanggil dengan Mulan. Nitya. Sabrina. Siti atau siapalah dibanding Cantik. Tapi sayangnya semua orang selalu memanggilku begitu. Dan mengingatkanku pada semua luka.

Sejak lahir aku tidak tahu siapa ayahku. Yg aku dengar dari kakak ayahku bukan orang Indonesia. Itulah yg menyebabkan mataku berwarna hijau safir. Kami dilahirkan dari ibu yg sama namun dengan ayah yg berbeda.

Bagi ibu kami adalah aset. Kartu as untuk terus mengikat keuangan ayah ayah kami atas nama tanggung jawab.

Tepat dua hari setelah ulang tahunya yg ke 15, Ibu memaksa kakak mewarisi profesinya. Menghidupi kami dengan uang suami wanita lain. Kakak tentu menolaknya tapi kami bisa apa ? Ibu lah pemimpinya.
....
Tengah malam lewat Ibu datang dengan menggandeng dua orang pria. Satu kekasihnya dan satu pria kaya raya yg akan meniduri kakak. 

Pria itu berbadan gemuk. Pendek. Memakai jas hitam dengan kemeja putih dan dasi yg sudah tidak rapih. Kulitnya putih pucat. Seperti babi gempal yg tidak pernah puas. Di saku jasnya ada pin berbentuk garuda emas. Kalau kuingat sepertinya wajah laki laki paruh baya itu tidak asing. Aku pernah sekali dua kali melihat wajah itu di spanduk kampanye depan gang rumah.

Aku membawakan bir yg Ibu simpan dalam kulkas keruang depan. Laki laki berbadan gempal itu berjalan kearahku dan memegang pipiku. 

"Siapa ini ? Dia punya mata hijau safir yg sangat indah. Cantik sekali."
"Itu anaku. Cantik. Bukankah dia secantik ibunya."
"Aah tidak. Dia jauh lebih cantik darimu. Dan dari anakmu yg satu lagi itu. Berapa yg harus aku bayar untuk anak ini ?"
"Tapi dia baru berusia 10 tahun."
"Alah. Persetan."
"Berapa kamu berani bayar ? 10 juta ?"
"Untuk gadis secantik ini berapapun akan aku bayar asal dia miliku malam ini."

Aku merinding. Ketakutan. Meskipun mereka berbicara agak rancu karena pengaruh alkohol. Tapi aku sedikit mengerti apa yg mereka bicarakan. 

"Biar aku dandani dulu Cantik. Aku persiapkan dulu dia untuk anda."

Kakak bangkit dan membawaku ke ruang belakang. Ia berlari menuju kamarnya. Dan kembali lagi membawa kertas dan uang. Dia memeluk tubuhku. Membukakan pintu belakang. Dan menyuruhku segera pergi.

"Ini alamat ayah kandung mu. Ceritakan semuanya pada dia. Aku tidak mau kamu bernasib sama sepertiku. Pergilah cantik. Pergi yg jauh."
....
Dua tahun aku tinggal di rumah ayah. Dia sudah menikah dengan wanita cantik berkerudung yg aku panggil bunda. Untungnya mereka mau menerimaku. Dan tidak pernah mempermasalahkan siapa aku.

Aku punya tiga orang kakak laki laki. Salah satu kuliah di Singapura. Arjuna. Malam ini dia pulang ke Jogjakarta.

Bunda dan aku sibuk memasak makanan untuk menyambut kepulangan Abang. Malam ini sengaja diadakan pesta karena besok Ayah Bunda dan Bang Bima harus terbang ke Padang. Jantung kakek kumat lagi. Bang Tira tidak ikut karena kompetesi basket mengharuskan dia tinggal di asrama. Bang Juna tidak ikut katanya masih lelah. Dan aku ? Tentu saja aku ingin ikut tapi aku bukan anggota resmi keluarga ini. Kakek bahkan tidak tahu jika aku ada.

Diluar dugaan. Bang Juna juga tidak mempermasalahkan keberadaanku. Kami mendadak akrab bahkan sejak pertama kali bertemu.

Malam semakin menghitam. Ayah, ibu, dan Bang Bima sudah terbang pagi tadi. Bang Tira menginap di asrama malam ini. Bang Juna belum pulang. Aku masuk ke dalam kamar. Mematikan lampu. Dan menyelimuti tubuhku.

Lewat tengah malam. Aku mendengar pintu kamarku terbuka. Pintu kamar yg memang tidak biasa aku kunci. Lampu kamar tidak dinyalakan tapi aku bisa menerka wajah itu dalam remang.

"Abang udah pulang ?"

Laki laki itu menyalakan lampu. Berjalan mendekat ke arahku. Dia membelai rambutku.

"Stt... Diam ya Cantik."

Laki laki itu membelai pipiku. Mendekatkan bibirnya ke arahku. Sontak aku mendorong badanya. Tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk menjauhkan tubuhnya. 

Lelaki itu mencengkram lenganku dengan kuat. Sakit. Dia membuka beberapa kancing kemejanya. Mendekatkan badanya. Aku meronta semakin keras. Aku berusaha meraih apa saja yg ada disekitarku. Boneka beruang yg ayah berikan mendarat di kepala pria itu.

Lelaki itu mencengkram tubuhku semakin keras. Mendekatkan mukanya ke mukaku. Aku menabrakan keningku di matanya. Lelaki itu mengaduh memegangi matanya yg biru.

Aku berusaha lari. Tapi diraihnya mata kakiku. Dia menyeret badanku. Menarik sebuah kursi dan mendudukan badanku. Aku meronta. Menjerit sekeras tenaga. Tapi tidak satupun orang ada di rumah. Dan rumah kami terlalu besar. Tetangga tidak akan mendengar teriakanku. Sekeras apapun aku berteriak.

Lelaki itu mengikat tanganku dengan dasi dan ikat pinggangnya. Keras sekali. Sakit. Aku berteriak semakin menjadi. Pria itu mengambil baju di lemari. Sepertinya dia ingin menutup mulutku. Aku berteriak sebelum suaraku menghilang tersumbat kain.

"Kenapa abang melakukan ini ?"

Laki laki itu tertawa. Keras sekali. Menghapus air mata dan membelai pipiku.

"Karena kamu Cantik."

Pria itu menyumpal mulutku dengan baju yg dia ambil. Dia membuka kancing celananya. Aku menutup mata.

Darah segar terciprat di mukaku. Suara pecahan kaca terdengar. Memecah keheningan. 

"Apa yg Bang Juna lakukan ?"
"Diam kamu Yudistira !"
"Tapi dia adik kita."
"Dia terlalu cantik untuk jadi adik kita."

Kepala Bang Juna berdarah akibat lampu tidur yg di lembar Bang Tira. Mereka terlibat baku hamtam. Bang Juna memukul wajah Bang Tira. Mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Wajah Bang Tira dipukul bertubi. Bibirnya mengeluarkan darah segar. Bang Tira meraih pecahan lampu tidur dengan tanganya. Menusukan pecahan itu di perut Bang Juna, kakaknya.

Bang Juna mengerang kesakitan. Bang Tiar melepaskan ikatan di tanganku. Dan menggendongku keluar rumah. Membawaku berlari.

Aku tidak ingat lagi apa yg terjadi setelahnya. Yg aku tahu dua bulan aku berada di panti rehabilitasi anak korban trauma. Bang Tira mendekap di penjara. Dan Bang Juna terbaring di rumah sakit.

Setelah metalku kembali membaik. Aku memilih untuk pergi ke Jakarta. Tinggal seorang diri. Aku tidak mau lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa muak tapi aku juga merasa bersalah. Karena cantik aku membuat keluarga ayahku berantakan.
.....
Sudah delapan malam pria berkacamata hitam itu tidak duduk disana. Di bangku tengah cafe ini. Ya aku menghidupi diriku di Jakarta dengan bernyanyi di cafe. 

Aku punya beberapa fans. Atau pria yg mendekatiku. Tapi tidak ada yg sekeras lelaki itu berusaha. Sudah 6 bulan dia selalu duduk di kursi tengah dan menitipkan bunga mawar pada bartender. Tidak pernah terlewatkan satu malampun.

Bukan. Aku tidak suka padanya. Bagiku dia sama saja dengan pria lainya. Bukankah sudah kubilang aku tidak akan jatub cinta pada lelaki yg mencintaiku karena aku cantik. Tapi benar apa yg orang bilang. Seacuh apapun kita pada sesuatu. Semuak apapun. Setelah terbiasa kemudian hilang selalu ada ruang kehilangan.

"Cowo yg biasa duduk kursi tengah itu kemana ? Tumben dia ga nitipin bunga buat gue ?"

Aku bertanya pada salah seorang bartender yg biasa memberikan bunga dan kertas darinya.

"Dia lagi operasi mata."
"Lah emang matanya kenapa ?"
"Dia buta dari lahir. Rentina matanya rusak. Setelah 23 tahun akhirnya dia menemukan seseorang mau mendonorkan rentina matanya."
"Buta ? Tapi bukanya dia selalu nulis kalimat di kertas ?"
"Bukan. Itu bukan dia yg nulis. Dia selalu nyuruh gue nulis kalimat itu."
....
Ada sesuatu yg harus aku tanyakan pada pria itu. Aku harus menanyakanya sebelum ia bisa melihat. Lewat bartender cafe itu aku tau nama rumah sakit tempat pria itu melakukan operasi mata.

Paviliun Matahari 17B

Pria itu tidur diatas ranjang. Dia seorang diri dalam ruangan. Matanya masih di perban. 

"Siapa itu ?"

Ternyata pria itu memang tidak bisa melihat.

"Enggg ini aku. Enggg perempuan yg selalu kamu kasih bunga mawar."
"Hah ? Kamu ? Darimana kamu tau aku disini ?"
"Bukan hal penting aku tau dari mana. Aku datang kesini cuman buat bertanya ?"
"Hal seperti apa yg mau kamu tanyakan sampai kamu jauh jauh datang ke sini ? Bukankah kamu selalu mengacuhkan mawar mawarku ?"

Benar aku selalu mengacuhkan semua mawarnya. Tapi pria ini tidak pernah gentar untuk memberikan mawar di malam malam berikutnya.

"Apa kamu mencintaiku."

Pria itu tertawa. Memecah keheningan.

"Seharusnya kamu tau itu tanpa perlu datang jauh jauh kesini. Untuk apa semua mawar merah itu, untuk apa aku selalu duduk di bangku itu setiap malam selama 6 bulan kalau aku tidak jatuh cinta sama kamu ?"

"Kenapa kamu mencintaiku."

Pria itu menjawab dengan tenang.

"Karena kamu cantik."
"Dari mana kamu tau aku cantik ? Kamu buta."

Pria itu tersenyum.

"Karena cantik tidak hanya tentang apa yg terlihat. Tapi tentang apa yg dirasakan."

Aku merasakan luka luka itu memudar. Ini pertama kalinya aku tidak benci dibilang cantik. Akhirnya aku menemukan lelaki yg akan aku cintai. Lelaki yg mencintaiku bukan dari mata tapi dari hati.
......

Senin, 18 Mei 2015

A Minor

Wanita itu duduk di depan sana. Memegang sebuah gitar kayu. Dan mulai memetiknya. Semenjak intro aku tau wanita itu memainkan lagu favoritku. Hotel California. Dan semenjak nada terakhir di lagu ini. A minor. Aku tahu bahwa aku mencintainya.

Setelah sedikit berbasa basi wanita itu turun dari atas panggung. Dia berjalan ke arahku. Ah tidak. Dia berjalan ke arah kursi kosong di belakang.

"Cantik ya ?"
"Emmm yaa emm, lumayan."
"Temenin gue ke sono yuk !"
"Tapi Len...."

Lendra meyeret tubuhku. Memaksaku menemaninya berkenalan dengan wanita itu yg aku cintai. Kalau saja aku bisa. Pasti sudah kukatakan padanya bahwa wanita itu miliku. Tapi ah mana mungkin.

"Hei boleh gue duduk ? Tadi lagunya keren banget. Kenalin gue Lendra."
"Ah masa sih ? Ara."
"Beneran. Sumpah keren banget. Oh iya kenalin temen gue. Kash sini !"

Sial. Tulangku seperti mengalami pengerasan tiba tiba. Sulit sekali untuk bergerak. Setelah bersusah payah akhirnya aku bisa memaksanya mengulurkan tangan.

"Akashi."

Wanita itu diam sejenak. Sial. Dia pasti mengira bahwa mengalami syndrom aneh atau semacamnya. Bagaimana bisa di ruangan sedingin ini tanganku berkeringat.

"Namanya kaya tokoh kartun itu ya. Emm siapa itu. Oh iya Kakashi."

Wanita itu tertawa. Manis. Tapi sayang belum bisa melepaskan kutukan pengerasan tulang tiba tiba yg menimpaku. Alhasil aku hanya bisa duduk diam sepanjang sisa malam.
.....
"Romo membesarkan kamu bukan untuk menjadi aib seperti ini Syailendra !"
 
Aneh. Tengah malam begini tuan berteriak. Gaduhnya bahkan terdengar sampai sini. Tempat aku tidur. Sebuah kamar kecil di bagian belakang rumah.

"Aku tau aku salah romo. Tapi..."

Persetan dengan sopan santun. Aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa penasaran. Aku memutuskan untuk mendekati ruang tamu. 

Tuan ada di kursi paling depan. Disampingnya ada nyonya. Di depan mereka duduk Lendra memegang tangan seorang gadis yg tertunduk menangis. Ara.

"Tapi apa Syailendra ! Romo sudah menjodohkan kamu dengan anak teman romo. Anak seseorang yg sederajat dengan kita."
"Tapi Ara sudah hamil romo. Dan itu anak Lendra."
"Romo tidak peduli Syailendra ! Nama baik keluarga kita jauh lebih penting dibanding perempuan itu atau anak yg dikandungnya !"
"Dimana hati nurani romo ?"
"Romo yg seharusnya tanya. Dimana hati nurani kamu Lendra ? Romo besarkan kamu. Setelah besar kamu rusak nama baik keluarga ini !"
"Lendra tau Lendra salah. Tapi bukankah romo yg bilang ke Lendra. Laki laki tidak boleh lari dari tanggung jawab. Besok Lendra mau menikahi Ara. Dengan atau tanpa restu dari romo."
"Keterlaluan kamu Syalen..."

Belum sempat tuan menyelesaikan kalimatnya dia sudah terjatuh. Tubuhnya lemas. Napasnya tersengal. Tangan kananya memegang jantung. 

Ibu berteriak. Lendra memanggil namaku. Aku berlari ke depan. Mengeluarkan mobil dari garasi di sisi samping rumah. Membantu Lendra mengangkat tuan.
.....
"Kash. Dari kecil kita dibesarin bareng. Dari kecil juga gue selalu bikin lo susah. Gue inget waktu gue mecahin guci kesayangan romo. Waktu itu gue ketakutan setengah mati. Lo tau kan romo selalu cambuk kaki gue setiap gue nakal. Tapi lo justru bilang ke romo kalau lo yg mecahin gucinya. Dan lo dicambuk."

Lendra berbicara dipinggir ruang ICU rumah sakit. Wajahnya pusat. Sekujur tubuhnya berkeringat.

"Maafin gue Kash. Lo selalu jadi kambing hitam atas semua kesalahan gue. Tapi gue mohon bantu gue sekali lagi. Gue gamau kehilangan romo Kash. Gue ga tahan liat ibu nangis."

Suara Lendra semakin parau. Mata mulai memerah. Pria itu menangis.

"Gue mohon lo jaga Ara. Nikahin dia dan bawa dia jauh dari sini."

Rasanya aku ingin sekali memukul wajah tampan Lendra yg kini pucat pasi. Bagaimana bisa dia memintaku menikahi wanita yg sudah dihamilinya ? Tapi kemudian aku ingat siapa aku. Dan akan jadi siapa aku tanpa dia dan keluarganya.

Ya. Aku adalah anak pembantu di rumah Lendra. Ayahku sudah meninggal semenjak aku belum dilahirkan. Ibu bekerja hampir 7 tahun di rumah tuan. Sampai pada akhirnya ia sakit keras dan meninggal. Waktu itu usiaku baru genap 3 tahun. Aku sebatang kara, ibu dan ayah tidak punya keluarga. Sebetulnya ada tapi mereka mengacuhkan kami dan sibuk mengisi perut mereka sendiri. Semenjak itu aku dibesarkan keluarga Lendra. Disekolahkan dan diberi pakaian layak. Meski Lendra menganggapku sebagai kakanya tapi aku sadar diri dan tau siapa aku. Dan mungkin ini saatnya aku membalas budi keluarga ini.

Aku menggandeng tangan Ara dan mengajaknya pergi. Dia diam mengikuti dan mengerti.

Tidak. Aku melepaskan Ara. Dan berlari ke arah Lendra. Aku memeluknya. Lalu menonjok wajah tampanya.

"Pelukan itu untuk salam perpisahan. Dan tonjokan itu untuk luka yg kau berikan pada Ara."

Lendra mengusap mulutnya yg berdarah. Dan tersenyum penuh luka. Aku kembali menggandeng tangan Ara dan membawanya pergi. Jauh dari tempat ini.
....
Aku sudah resmi jadi suami Ara. Tapi tidak sekalipun aku pernah menyentuhnya. Aku memilikinya secara status tapi tidak pernah benar benar bisa memilikinya.

Ara tidak memperlakukanku selayaknya suami. Dia memperlakukanku seperti orang asing. Tidak banyak bicara. Menjawab pertanyaanku seadanya. 

Aku berusaha sekuat tenaga membuatnya kembali ceria. Tapi dia tetap sama. Murung dan tidak banyak bicara.

Lendra menyuruh kami pindah ke Jogja dan menempati rumah lama keluarga mereka. Tapi Ara tidak mau menempati rumah itu. Katanya mengingatkanya pada luka.

Aku berusaha keras membuatnya bahagia. Bekerja sebagai kuli bangunan. Menyewa sepetak rumah sederhana. Meskipun Ara menganggapku tidak ada tapi aku mencintainya. Sungguh. Dengan tulus. Aku tidak peduli bagaimana caranya memperlakukanku. Aku tidak peduli bagaimana dia tidak pernah menyentuhku. Aku hanya ingin membahagiakanya dan Lara anak kandung Lendra yg secara akta adalah anaku.

Lara tidak salah. Bukan dia yg minta dilahirkan sedemikian rupa. Lendra dan Ara lah yg bersalah. Tapi aku tidak pernah membenci mereka. Tidak Lendra. Tidak Ara. Dan juga Lara.

Lara kubesarkan seperti anaku sendiri. Aku berusaha keras memberikan yg terbaik untuknya. Dia adalah alasan dibalik semua keringat yg aku cucurkan. Lara bukan luka. Lara adalah bahagia.
....
3 tahun berlalu. Tidak banyak yg berubah dalam hidupku. Ara masih menganggapku tidak ada. Menatapku saja dia tidak bersedia. Kalau aku pulang kerja Ara memilih untuk masuk kamar.

Ara tidak pernah memasak. Sebelum pergi aku yg mencarikan kami sarapan. Kadang kalau uang sudah semakin tipis aku sendiri yg masakan. Meski hanya telur atau mie instan.

Aku mengantar Lara ke sekolah. Pulang aku yg menjemputnya. Membelikan pula makan untuk kami sekeluarga. Aku dan Lara makan bersama. Tapi Ara tidak. Dia baru akan makan setelah aku pergi.

Ara tidak melakukan pekerjaan rumah. Semuanya aku yg lakukan. Malam kami tidur terpisah. Ara dan Lara dalam kamar dan aku di bangku kayu depan rumah.

Aku melakukan semuanya dengan ikhlas dan berbahagia. Meskipun dingin diluar sini. Tapi semua cintaku ada di dalam. Mereka adalah kekuatan. Begini saja sudah cukup. Tapi kalau aku boleh sedikit meminta. Aku ingin Ara kembali bahagia. Dan memainkan lagu yg diakhiri kunci a minor itu sekali lagi saja.
.....
Sudah hampir 5 bulan aku bekerja lebih keras. Aku ingin membelikan Ara sebuah gitar kayu. Aku berharap benda itu bisa mengobati sedikit luka.

Sianganya aku masih menjadi kuli bangunan. Malam hari aku berjualan nasi goreng. Dan rutinitas harian serta pekerjaan rumah masih kulakukan sebagaimana biasanya.

Akhirnya sebuah gitar kayu seharga 1.270.000 berhasil aku beli. Tapi Ara masih tidak berminat untuk menyentuhnya atau menganggap aku ada. 

Ah sudahlah. Mungkin Tuhan ingin aku berusaha lebih keras. Mungkin Tuhan masih menguji ketulusan. 

Tengah malam lewat. Hujan deras mengguyur Jogjakarta. Sudah hampir dua jam aku berteduh di pinggir gedung tua. Tapi tidak bisa. Aku harus pulang. Ara dan Lara belum makan. Aku harus membawakan mereka makanan.

Aku dorong gerobak nasi goreng melewati hujan yg semakin menjadi. Dingin sekali. Sesampainya di rumah aku membuatkan nasi goreng untuk Ara dan Lara. Membangunkan mereka untuk makan malam yg terlalu telat. Mereka makan dan aku mandi. Selesai mandi aku menggelar sarung dan bersiap tidur di kursi depan rumah.

"Ayah. Ini kan hujan. Kenapa ayah tidur diluar ?"
"Di dalam kan cuman ada satu kamar. Dan kasurnya tidak cukup untuk kita bertiga. Jadi ayah tidur diluar."
"Emangnya ayah ga dingin ?"
"Engga. Selama kalian ngerasa hangat di dalam sana ayah juga hangat kok."

Gadis kecil itu merangkak tidur dipangkuanku. Aku membelai rambutnya. Mendongengkan cerita kancil dan buaya.

"Minggu depan Lendra menikah dengan wanita yg dijodohkan ayahnya. Aku tau dari teman di Jakarta."

Ara berdiri di depan pintu. Ini kali pertama ia mengajaku berbicara. Meski matanya tidak tertuju padaku. Matanya nanar menatap hujan yg menderas.

"Aku udah ikhlas kok. Aku udah bisa terima. Lendra emang engga pernah ditakdirkan buat aku."

Hujan semakin deras mengguyur kota Jogjakarta.

"Kenapa kamu mau menikahi aku ? Aku kan sudah mengandung anak pria lain ? Kenapa kamu masih baik padahal aku selalu bersikap dingin ? Apa karena kamu harus balas budi dengan keluarga Lendra ? Atau kamu hanya merasa iba padaku?"

"Engga. Aku memang harus balas budi sama keluarga Lendra. Tapi aku tidak akan melakukanya kalau aku tidak ingin. Dan aku memang merasa sedikit iba. Tapi bukan itu alasanku melakukan semua ini."

"Terus ?"

"Karena aku cinta kamu Ara. Kami ingat kejadian di cafe 4 tahun lalu. Waktu itu kamu duduk di depan panggung. Dengan baju berwarna putih. Kamu memegang gitar lalu memetiknya. Sejak intro aku tahu itu lagu favoritku. Hotel California. Dan sejak nada terakhir di lagu itu. A minor. Aku tahu kalau aku mencintai kamu."

Wanita itu terdiam. Matanya menatap nanar ke depan. Melihat hujan yg semakin menderas.

Wanita itu masuk ke dalam rumah. Lalu kembali ke depan dengan membawa gitar yg aku berikan. Dia duduk disampingku. Hujan semakin menderas. 

"Terima kasih karena telah dan masih mencintaiku sampai sekarang. Bagaimana bisa aku terus mencintai laki laki yg memberikanku luka dan mengabaikan laki laki yg dengan ikhlas mencintaiku. Lelaki yg bekerja keras untuk membahagiakan aku dan anaku dengan pria lain."

Hujan semakin deras mengguyur kota Jogjakarta. Aku kehilangan kata kata.

"Terima kasih juga buat gitarnya. Aku akan memainkan lagu itu lagi. Supaya kamu tidak berhenti mencintaiku."

Hujan semakin deras. Wanita duduk disampingku. Memegang gitar kayu. Dan mulai memetiknya. Sejak intro aku tau ini lagu favoritku. Hotel California. Dan di nada terakhir lagu ini. A minor. Aku tahu bahwa aku tetap mencintainya.
......

Minggu, 10 Mei 2015

Bunga kertas

Aku benci tempat ini. Bau rumput dan tahah dikelilungi nisan nisan yg menua. Sedikit aroma kamboja melintas bersama kerinduan yg mendalam.

Kenapa yg mati tidak dilupakan saja ? Toh jadadnya sudah tidak ada. Kenapa ingatan tentangnya masih memberi luka ? Kenapa yg hidup tak lantas saja lanjutkan hidupnya ?

Setiap tanggal 23, Mawar selalu begitu. Duduk lemas didepan sebuah nisan dan menangis. Sebuah nisan yg terus melapuk tapi tak hentinya membuat luka. 

Banyu Alandra Resmana
bin Indra Resmana
Lahir : 10-06-81
Wafat : 23-04-2007
....
Aku masih ingat hari itu. Hari dimana aku menangisi es krim yg dibawa lari Edwin, ketua preman cilik SD Mangkukusuman. Dengan baju dan rambut berantakan aku menangis di pinggir trotar dekat sekolah. Aku menangis bukan karena es krim yg dibawa lari tapi karena keberanian yg tidak pernah aku miliki. Setiap Edwin merampas makanan, mencontek pr, atau mengejeku aku hanya bisa seperti ini. Ya seperti ini menangis seperti pecundang yg menyedihkan.

"Ini es krim kamu. Sudahlah jangan menangis, kucing manja."

Itu hari pertama aku berkenalan perempuan kecil berkepang dua, Mawar. Perawakanya jauh lebih kecil dari aku tapi jangan ditanya soal berkelahi. Kalau Edwin ketua preman maka mawar adalah captain para pahlawan.

Sejak kecil aku sudah tahu kelak Mawar akan tumbuh menjadi bunga yang cantik. Tapi bukan itu alasan aku mencintainya. Ada sesuatu dalam mata mawar yang membuatku ingin memilikinya. Mata tajam yang menyimpan banyak keberanian. Sesuatu yg tidak diberikan Tuhan kepadaku.
.....
Pubertas membuat perasaanku semakin menggila. Cinta monyet itu berubah jadi monyet menyebalkan yg selalu menggangu ketenanganku. Monyet yg membuat jantung berdetak lebih cepat, dan otak berfokus pada satu hal.

Perlahan aku ingin memberinya tahu bahwa aku selayaknya lelaki. Dan lelaki normal mana yg tidak ingin memetik bunga tercantik.

Setiap pagi aku menaruh bunga kertas di laci mejanya. Dan setiap pagi pula muka Mawar berseri melihatnya. Di pagi bunga kertas yg kesekian.

"Remi, liat deh. Setiap pagi gue dapet Mawar kertas."
"Lo suka ?"
"Jelaslah suka. Lo tau kan gue suka banget sama bunga Mawar. Dan lo tau ga apa yg paling gue suka."
"Apa?"
"Yang ngasih bunga ini lah. Feeling gue bilang yg kasih gue bunga ini pasti cowok yg gue suka dari dulu. Soalnya gue inget waktu kelompokan biologi gue pernah bilang ke dia kalau gue suka bunga Mawar. Dan dia satu satunya cowok yg selalu berangkat lebih pagi dari gue. Banyu."

Aku hanya bisa menelaan ludah dan menghela napas panjang. Rasanya seperti tersedak es batu. Keras dan dingin. Aku belum menyatakan perasaan tapi sudah ditolak mentah mentah. Banyu. Kalau pria ini yg disukai Mawar aku bisa apa ? 

Bukan. Bukanya aku pengecut yg tidak mau berjuang atau tidak berani berkata jujur. Tapi kalaupun aku harus bersaing dengan pria itu tentu aku akan kalah bahkan sebelum perang. Amunisiku kalah jumlah. Kalian harus tau siapa Banyu itu. Dia ketua tim basket sekolah, dengan IQ diatas rata rata dan tampang bintang iklan. Perawakanya jangan ditanya. Dia mantan runer up element of the years 2 tahun lalu. Sedangkan aku ? Yaa lihat saja sendiri. Menyedihkan bukan ?

Dan masih ada satu lagi alasan kenapa aku memendam perasaan itu sampai sekarang. Ada sesuatu yg membuat aku dan Mawar tidak akan pernah bisa menyatu. Prinsip dasar yg membuat kita berbeda, kepercayaan.

Kenapa di dunia ini harus ada agama? Kalau toh nyatanya itu membuat kita berbeda lalu berkelahi satu dengan yg lainya. Siapa sebenarnya yg mengkontruksikan makna agama, Tuhan atau kita ? Katanya semua agama mengajarkan kebaikan tapi kenapa ada perang salib ?

Yaaah kadang beberapa hal memang seharusnya demikian. Berbeda dan berkelahi. Supaya hidup tidak berjalan membosankan. Bukankah butuh sedikit warna hitam untuk membuat pelangi ?

Tidak. Inti ceritaku bukan pada agama atau cara memandang Tuhan, tapi cara memandang sesama manusia. Aku ingin Mawar tetap jadi Mawar dan Remi tetap Remi. Tidak ada yg harus mengalah dan berubah atas nama cinta. Bisa saja aku memaksakan ini. Memaksa Mawar masuk Islam atau aku yg menjadi Protestan. Tapi bagaimana bisa manusia tidak menghianati manusia lainya kalau menghinati Tuhanya saja dia bersedia ?
....
Tahun kelima pacaran mereka memutuskan untuk bertunangan. Sejak bulan lalu Mawar sibuk mengurusi ini dan itu. Dan sialnya sebagai sahabat aku kena imbas juga. Kalau saja akal sehat dan moralku tidak bekerja dengan baik pasti gedung ini sudah kubakar. Bagaimana bisa aku membantu pesta pertunangan wanita yg aku cintai dengan pria lain ?

"Rem gue pinjem motor lo ya. Gue mau ambil bunga kertas yg gue pesen dulu."
"Lah pestanya kan bentar lagi Ban."
"Makanya gue minjem motor lo, biar cepet. Lo tau kan Mawar suka banget bunga kertas. Gue mau kasih dia kejutan."

20.45

Pesta ini seharusnya dimulai sejak dua jam yg lalu. Tapi Banyu hilang entah dimana. 

22.10

Dua per tiga tamu undangan sudah pulang. Sepertiga lainya terpaksa tinggal sebagai bentuk sopan santun.

23.15

"Selamat malam. Saya dari pihak kepolisian. Benar ini orang tua dari saudara Banyu Resmana ? Anak Bapak terlibat kecelakaan beruntun malam tadi. Dan sekarang jasadnya ada di Rumah Sakit Tugu."

Aku lihat sesuatu dalam mata Mawar. Semacam luka yg memakan semua keberanian dalam mata itu. Tubuhnya jatuh terduduk di bawah kue pertunangan. Dia diam. Tidak satupun air mata jatuh dari matanya. Luka yg terlalu dalam membuatnya lupa cara meneteskan air mata. Diam. Mawar hanya bisa diam.

Tiga hari kemudian polisi menyerahkan barang barang Banyu yg tersisa dari kecelakaan. Termasuk bunga kertas dengan noda darah yg mengering. Bunga ini sudah cukup menjelaskan banyak hal bagi Mawar. Noda darah mengering disana membuatnya sangat membenci bunga kertas. Noda darah mengering disana menbuat mata tajam mawar sayu. Keberanian di mata itu hilang.

....
8 tahun berlalu. Nisan Banyu semakin lapuk. Tapi luka Mawar tidak membaik. Dan keberanian di mata itu tidak pernah kembali.

Tidak ada lagi laki laki lain dalam hidup Mawar selain ayahnya, Dimas adiknya, dan aku sahabatnya.

"Buat apa Rem ? Cinta itu luka. Membiarkan mereka datang berarti memberikan kesempatan untuk terluka ketika pada akhirnya mereka harus pergi."

Seharusnya aku senang karena wanita yg aku cintai tidak jadi bertunangan dengan pria lain. Tapi bukan keadaan begini yg aku inginkan. 

Mawar tidak menjalankan hidupnya dengan berbagahagia. Setiap menit yg berlalu berarti luka. Dia memang tetap hidup selayaknya tapi benci pada segala hal. Dia banyak diam, dan menghabiskan sendiri hidupnya. Tidak ada lagi keberanian untuk menghadapi dunia di mata itu.
....
Aku mulai menyalahkan diriku atas apa yg terjadi pada Mawar. Kalau saja waktu itu aku tidak meminjamkan motorku pada Banyu. Semua hal akan berjalan berbeda. Aku rela menukar apapun untuk menebus dosaku. Untuk membeli kembali keberanian di mata itu. Termasuk jika aku harus menukarnya dengan kesepakatan yg mungkin saja mengakhiri hidupku.

Banyu punya adik kembar. Tapi mereka tidak dibesarkan bersama. Bara dibesarkan oleh paman mereka yg tidak memiliki anak di Praha. Keluarga Banyu pernah mengalami masa sulit yg membuat mereka tidak sanggup untuk mengidupi dua orang anak dan harus merelakan salah satu diantaranya agar dapat hidup layak. 

Sudah hampir setahun aku mecari keberadaan Bara. Minggu lalu aku terbang ke Praha untuk menemuinya. Meskipun tidak identik tapi Banyu dan Bara terlihat hampir sama. Aku menceritakan semua yg terjadi pada Mawar. Yaaa, kalau kalian bisa baca situasi kalian akan tahu apa yg aku rencanakan dan kenapa aku harus bersusah payah mencari pria ini.

Aku tidak tahu yg kulakukan ini beretika atau tidak. Aku memaksa Bara menduplikasi Banyu. Dan yg lebih buruk lagi aku memaksanya mencintai Mawar. Ah tapi tidak. Sepertinya untuk yg satu ini Bara tidak terpaksa. Bagaimana mungkin ada seorang pria yg terpaksa mecintai wanita secantik Mawar ?

Aku menggunakan kembali trik lamaku. Bunga kertas. Tapi kali ini aku tidak perlu menunggu Mawar berspekuliasi tentang siapa yg memberikanya. Dan ya pasti aku juga tidak bilang aku pelakunya. 

"Kayanya si Bara deh. Itu loh anak baru divisi marketing."
"Oh ya ?"
"Iya sumpah lo mesti ketemu deh sama dia."
"Ngapain ?"
"Yaa lo temuin aja dulu."
"Gak penting abis lo Rem."
.....
Tidak. Aku tidak bisa terus begini. Aku harus melakukan sesuatu agar keberanian di mata itu kembali. Termasuk jika aku harus pergi agar dia tidak terus bergantung padaku. Dan melupakan jutaan pria lain di dunia. Bukanya aku merasa dia seperti parasit. Aku bahagia sungguh. Berada di sampingnya atau membantunya adalah yg selalu aku inginkan. Tapi buat apa kalau pada kenyataanya meskipun bersamdar di bahuku Mawar tetap tidak bahagia.

23 Januari, Pemakaman Tanah Kusir

Kadang kita menelan pil pahit untuk sembuh dan kembali bertahan hidup. Dan ini salah satu bagian terberat dari misi mengembalikan keberanian di mata itu. Aku akan menjadi pil pahit yg mau tidak mau akan Mawar telan.

"Banyu itu udah mati Mawar. Lo pikir dia seneng apa liat lo nangis mulu di makam dia ?"

Aku sedikit menarik nafas sebelum menlanjutkan kalimat yg tidak hanya menyakiti Mawar tapi juga aku.

"Engga cukup apa lo jadi parasit buat gue yg masih hidup ? Harus lo gangguin Banyu juga di alam sana ?"

Sial. Berat sekali melanjutkan kalimat ini. Berbohong memang bukan keahlianku. 

"Kalau bukan karena gue ngerasa ikut bersalah atas kematian Banyu. Gue ga akan mau jadi budak lo gini. Sampe gue harus ngorbanin kehidupan gue sendiri demi nemenin lo Mawar. Tapi 8 tahun udah cukup, sampe kapan lo mau bikin gue ngelepasin kehidupan pribadi gue ? Sampe kapan gue ga bisa bahagia sama cewe lain cuman karena harus jadi sahabat lo ? Gue masih normal Mawar gue juga pengin menikah sama cewe yg gue sayang bukanya bersahabat seumur hidup gue sama lo."

Bahu Mawar mengeras. Meskipun tidak terisak, tapi aku tahu dia menangis.

"Besok gue mau pindah ke Surabaya. Gue mohon jangan ganggu hidup gue lagi. Bersandarlah sama laki laki lain. Jangan jadi parasit di hidup gue mulu !"

Aku yakin suaraku akan bergetar jika kalimat ini harus dilanjutkan. Lebih baik aku berjalan ke arah mobil dan pulang.  Biarlah kalimat menyakitkan lain yg sudah kupersiapkan tidak pernah Mawar dengar.

Fortuner hitamku merjalan menjauhi pemakaman. Meninggalkan Mawar yg masih duduk di depan makam. Punggung wanita yg aku cintai itu tertinggal di kaca spion bersama luka dan cinta dalam diam.
.....
Aku menghabiskan sebagian besar waktu bersama ayah, ibu, abang, dan dua keponakanku. Aku takut kalau kalau nanti waktunya tiba dan habislah semua waktuku bersama mereka. Aku tidak lagi tahu tentang dia. Tapi tidak seharipun waktuku berlalu tanpa menghawatikanya.

Rasanya seperti ada beban yg terlepas dari pundak ketika tukang pos datang dan aku tahu apa yg aku dapatkan. Undangan pernikahan. Mawar dan Bara. Mungkin ini saatnya aku berhenti menghawatirkan wanita itu dan justru mulai menghawatirkan hidupku sendiri.

21 Desember 2015

Aku merapikan jas hitam yg kukenakan. Melihat sekali lagi tatanan rambutku di cermin. Setelah 1 tahun berlalu akhirnya hari ini aku bisa kembali melihat wanita yg kucintai dalam diam itu. 

Aku tidak membawa motor. Dan kalaupun bawa aku bersumpah tidak akan meminjamkanya pada Bara dan membuatnya bernasib sama dengan Banyu. Biar aku yg sendiri membawa bunga kertas untuk Mawar.

Wanita itu terlihat sangat anggun dalam balutan gaun berwarna putih. Mawar benar benar bunga yg cantik. Sayang aku tidak pernah ditakdirkan untuk memetiknya.

Aku sengaja memilih barisan di belakang. Aku masih ingin melihat bunga cantik itu sedikit lebih lama. 

Sampai juga pada giliranku menyalami kedua mempelai. Aku menjabat tangan mempelai pria. Dan memberikan bunga kertas pada mempelai wanita. Bunga kertas yg sama seperti yg selalu ia temukan di laci mejanya selama SMA dan diatas meja kerjanya.

Wanita itu terdiam. Dan aku lupa caranya bicara.  Wanita itu menangis. Dan aku memeluk tubuhnya. Kami tidak saling berbicara tapi kami saling mengerti.
....
"Oke, gue bisa bantu buat jadi pengganti Banyu. Tapi lo juga harus bantu gue. Gue punya seorang adik. Meskipun bukan adik kandung, tapi gue sayang banget sama dia. Gue rela ngelakuin apa aja buat dia sama kaya lo rela ngelakuin apa aja buat Mawar. Semenjak 8 bulan lalu dia koma. Dokter bilang dia akan terus begitu sampai seseorang rela mendonorkan sumsum tulang belakangnya. Tentu aja gue rela, tapi karena bukan saudara kandung darah kami berbeda, dan organ dalam kami tidak cocok satu sama lainya. Ini kesepakatan kita. Gue bakal buat keberanian di mata Mawar balik lagi dan setelah itu lo juga mesti kembaliin hidup adik gue, donorin sumsum tulang belakang lo. Deal ?"

Yaah itulah kesepakan yg kami buat sekitar dua tahun lalu. Kesepakatan antara aku dan Bara. Dan disinilah aku sekarang. Ruang operasi. Menunggu dokter menyuntikan obat bius yg membuat aku bisa melupakan semua rasa sakit.

Bara sudah memperingatkanku dua tahun lalu. Kemungkinan operasi ini berhasil adalah 20 persen. Itu berarti peluang untuk aku hidup lebih kecil dibanding kematian. Tapi bukankah sudah kubilang bahwa aku rela menukar apapun asal keberanian dalam mata Mawar bisa kembali. Keberanian yg selalu membuat aku mencintainya dalam diam.

Dokter menyuntikan obat bius di lengan tangan kananku. Dan aku mulai mengantuk. Aku mengingat kembali hari itu hari dimana Edwin merampas es krimku. Hari dimana aku berkenalan dengan gadis berkepang dua di depan trotoar sekolah. Dan juga hari itu. Hari dimana wanita itu mengenakan gaun berwarna putih. Terakhir kali kami berremu. Sungguh aku ingin hidup lebih lama untuk melihat kembali keberanian yg telah kembali kedalam matanya. Tapi kalaupun waktuku habis disini. Dan kalaupun hari itu adalah yg terakhir. Setidaknya aku sudah memberikan bunga kertasku sendiri pada Mawar. Bunga kertas yg akan menyampaikan cinta dalam diam.
.....