Dalam ruang bersekat itu kami menghabiskan banyak waktu. Berbagi satu potong roti atau sebungkus nasi basi. Dalam ruang bersekat itu kami tumbuh, menikmati rasa sakit yg dihadiahkan dunia.
"Copet ! Copet !"
Tujuh lelaki berbadan besar berlari di belakang. Jarak mereka semakin mendekat. Aku berlari sekencangnya. Tapi lubang di membuatku jatuh ke jalan tanpa aspal. Aku sudah tidak lagi bisa berdiri. Tujuh lelaki mulai terlihat berlari dari persimpangan jalan.
Tiba tiba seorang anak menarik tangaku. Membawaku bersembunyi di ruang sempit yg mebatasi dua rumah. Ketujuh lelaki berlalu pergi. Tetap berteriak. Tanpa melihat kami.
"Jangan jadi pencopet. Bodoh !"
Anak laki laki itu menghardik sambil meninju bahu kiriku.
Semenjak hari itu kami berteman akrab. Dia mengajaku untuk tinggal bersama di ruang bersekat. Sebuah rumah kardus di bawah jembatan layang.
Dalam ruang itu kami tinggal bertiga. Aku, Naga, dan Karin. Karin adalah adik perempuan Naga. Wanita kecil itu tidak banyak berbicara. Matanya terlalu sayu untuk terlihat bahagia. Kata Naga Karin masih trauma.
Sejak orang tua mereka meninggal karena kecelakaan, Karin dan Naga tinggal bersama paman mereka. Tapi sayang pria itu tidak merawat mereka dengan baik. Naga dan Karin selalu jadi tempat melampiaskan emosi. Hampir setiap hari mereka dipukuli. Apalagi kalau paman kalah judi, semalaman Karin dan Naga dicambuki.
Naga yg tidak tahan melihat memar di badan adiknya. Memutuskan untuk lari. Mengumpulkan receh dengan gitar kecil untuk hidup hari demi hari. Mereka mendirikan sebuah ruang bersekat yg disebut rumah.
"Yah mungkin kita memang tidak seberuntung anak anak lain yg tidur diatas kasur busa. Tapi setidaknya dalam ruang bersekat ini tidak ada orang dewasa yg berhak menyakiti kita."
.....
Aku menyesal karena tidak menepati janjiku pada Naga. Kali ini aku mencopet lagi. Aku hanya ingin membelikan Karin kue untuk ulang tahunya besok lusa. Dan aku rasa harga kue tidak akan terbayar dengan uang hasil ngamen. Alhasil aku berusaha mengambil dompet dari tas seorang ibu berbadan gempal yg terbuka. Sialnya lagi lagi aku ketahuan.
"Copet ! Copet !"
Kali ini dua belas laki laki berlari mengejarku. Mereka berlari lebih cepat dari yg dulu.
Tapi kali ini aku bersumpah tidak akan lagi jatuh ke lubang itu.
Ah sial. Jalan di depanku ternyata buntu. Ada sebuah pagar tinggi. Bisa saja aku memanjatnya tapi sebelum sampai keatas dua belas pria itu pasti sudah sampai dan menarik kembali badanku.
Seorang anak laki laki melemparkan drum drum minya bekas dari balik pagar. Drum drum menggelinding. Memperlambat lari keduabelas laki laki tadi.
Aku berhasil melewati pagar dan kami berlari bersama.
Sial. Ternyata tiga laki laki lain mengejar kami dari arah yg berbeda. Aku dan Naga berbelok ke kanan. Dan terus berlari.
Kedua belas laki laki mulai menyusul kami. Yg tiga lagi sudah semakin mendekat. Kami berlari sekencang yg kami bisa.
Lubang di jalan yg dulu. Aku bersumpah tidak akan lagi jatuh. Aku melompat. Tapi Naga jatuh.
Aku meraih tanganya dan membantunya berdiri. Naga menarik tanganya.
"Lari bodoh ! Lari !"
"Tapi"
"Cepat bodoh ! Lari !"
Naga mengambil sesuatu dari sakunya. Tiga buah gelang dengan inisial N,J dan K.
"Berikan yg berisial K pada Karin. Itu hadiah ulang tahun untuknya. Dan katakan aku sangat menyayanginya."
Tiga laki laki sudah semakin dekat.
"Lari bodoh ! Cepat lari !"
Aku berlari. Bersembunyi di sela rumah tempat dulu Naga menarik tubuhku. Aku meringkuk dan menangis. Sekujur tubuhku berkeringat. Aku menangis.
Satu jam kemudian aku keluar dari tempat bersembunyi. Aku kembali ke tempat dimana Naga terjatuh.
Naga tergeletak di tengah jalan. Sekujur tubuhnya lebam. Mulutnya mengucurkan darah. Jantungnya berhenti berdetak. Napas terakhir Naga berhembus di tempat itu. Tempat dimana dulu dia menarik badanku. Tempat dimana kami bertama kali bertemu. Dan tempat dimana untuk terakhir kalinya dia menolongku.
.....
15 tahun berlalu tanpa Naga. Aku dan Karin diadopsi. Kami tidak lagi tinggal di ruang bersekat.
Karin tumbuh menjadi wanita yg cantik. Dua minggu lagi Karin akan menikah. Aku ? Tentu saja aku belum menikah. Mencintai perempuanpun aku belum berminat. Aku sudah berjanji pada Naga untuk mengaja Karin dan kali ini aku tidak akan mengingkarinya.
Semuanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang. Tapi sayang calon pria yg akan dinikahinya justru tertidur. Sudah hampir 5 hari. Tidur panjang akibat jantung yg semakin melemah.
Aku tidak tahan melihat mata Karin kembali sesayu itu. Sama sayunya ketika dia kehilangan Naga. Meskipun tidak menangis. Tapi aku tahu Karin ketakutan. Wanita itu paham betul sakitnya kehilangan.
....
Aku memacu mobil hitam yg diberikan ayah angkatku. Sampai pada batas kecepatan yg ada. Galih dalam kondisi kritis. Karin minta aku mengantarnya ke rumah sakit secepat mungkin.
"Cepat ka ! Kalaupun Galih akan pergi sama seperti Ka Naga. Aku harus bilang dia tidak perlu menghawatir. Pergi saja dengan tenang. Nanti kalau Galih bertemu Ka Naga aku pengin dia bilang bahwa aku tumbuh dengan baik."
Karin berusaha keras meringankan kalimat. Tapi aku tahu dia merasakan sakit dan ketakutan. Sakit dan ketakutan yg sama seperti ketika aku bersembunyi di sela rumah dan meninggalkan Naga. Suaranya parau. Matanya menatap nanar ke arah gelang berinisial K yg melingkar di tanganya. Aku tahu Karin takut merasakan kehilangan semacam itu sekali lagi.
Aku memacu mobil semakin kencang. Sekencang yg mobil ini bisa. Aku menyalip sebuah truk yg berada di depanku. Tapi dari arah berlawanan sebuah mobil melaju sama kencangnya. Aku memutar kemudi ke arah kanan. Membiarkan mobil ini terbalik ke sisi kanan. Harus sisi kanan agar Karin yg duduk di kursi sebelah kiri tidak terluka dengan parah.
Aku terjepit diantara mobil yg terbalik ke arah kanan. Aku merasakan darah mengalir dari pelipis kanan dan hidung. Karin tidak terluka begitu parah. Tapi ah mata kananya terkena pecahan kaca mobil dan berdarah.
Pelipis kananku semakin deras mengucurkan darah. Semuanya tiba tiba menghitam.
Aku memaksakan diri membuka mata. Ayah berlari di sisi kanan tandu yg membawaku ke ruang operasi. Seluruh badanku rasanya sakit. Bahkan untuk bernafaspun sakit. Bersusah payah aku mengeluarkan suara.
"Karin. Ayah dimana Karin ?"
"Karin baik baik saja Jugo. Dia ada di ruang operasi lain."
"Matanyaa ?"
Ayah diam. Aku tahu Ayah takut jawabanya akan membuatku semakin menghawatirkan Karin.
Aku menggenggam lengan Ayah dengan tangan penuh darah. Dia mendekatkan telinganya pada mulutku. Dia tahu aku semakin terbata bata. Semakin sulit bersuara.
"Ayah. Aku tidak perlu hidup. Aku hanya ingin menepati janjiku pada Naga. Berikan mataku pada Karin. Dan berikan jantungku pada Galih."
Air mata ayah menetes. Ayah mengerti. Dia menggengam tanganku yg berlumuran darah.
Badanku semakin sakit. Bahkan untuk bernafaspun sakit. Tapi aku merasa bahagia. Sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yg sangat aku rindukan. Naga.
Aku akan mengembalikan gelang berinisial N miliknya yg melingkar di tanganku selama 15 tahun. Aku akan berkata dengan bangga padanya bahwa aku telah menepati janji. Aku menjaga Karin sampai terakhir. Aku juga akan menyampaikan pesan Karin. Mengatakan bahwa adiknya itu tumbuh dengan baik.
Sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan Naga. Aku akan menceritakan banyak hal padanya. Aku akan menghabiskan banyak waktu denganya. Dan bersama sama kami akan menjaga Karin dari langit.
Selamat bertemu kembali, teman.
....