Minggu, 10 Mei 2015

Bunga kertas

Aku benci tempat ini. Bau rumput dan tahah dikelilungi nisan nisan yg menua. Sedikit aroma kamboja melintas bersama kerinduan yg mendalam.

Kenapa yg mati tidak dilupakan saja ? Toh jadadnya sudah tidak ada. Kenapa ingatan tentangnya masih memberi luka ? Kenapa yg hidup tak lantas saja lanjutkan hidupnya ?

Setiap tanggal 23, Mawar selalu begitu. Duduk lemas didepan sebuah nisan dan menangis. Sebuah nisan yg terus melapuk tapi tak hentinya membuat luka. 

Banyu Alandra Resmana
bin Indra Resmana
Lahir : 10-06-81
Wafat : 23-04-2007
....
Aku masih ingat hari itu. Hari dimana aku menangisi es krim yg dibawa lari Edwin, ketua preman cilik SD Mangkukusuman. Dengan baju dan rambut berantakan aku menangis di pinggir trotar dekat sekolah. Aku menangis bukan karena es krim yg dibawa lari tapi karena keberanian yg tidak pernah aku miliki. Setiap Edwin merampas makanan, mencontek pr, atau mengejeku aku hanya bisa seperti ini. Ya seperti ini menangis seperti pecundang yg menyedihkan.

"Ini es krim kamu. Sudahlah jangan menangis, kucing manja."

Itu hari pertama aku berkenalan perempuan kecil berkepang dua, Mawar. Perawakanya jauh lebih kecil dari aku tapi jangan ditanya soal berkelahi. Kalau Edwin ketua preman maka mawar adalah captain para pahlawan.

Sejak kecil aku sudah tahu kelak Mawar akan tumbuh menjadi bunga yang cantik. Tapi bukan itu alasan aku mencintainya. Ada sesuatu dalam mata mawar yang membuatku ingin memilikinya. Mata tajam yang menyimpan banyak keberanian. Sesuatu yg tidak diberikan Tuhan kepadaku.
.....
Pubertas membuat perasaanku semakin menggila. Cinta monyet itu berubah jadi monyet menyebalkan yg selalu menggangu ketenanganku. Monyet yg membuat jantung berdetak lebih cepat, dan otak berfokus pada satu hal.

Perlahan aku ingin memberinya tahu bahwa aku selayaknya lelaki. Dan lelaki normal mana yg tidak ingin memetik bunga tercantik.

Setiap pagi aku menaruh bunga kertas di laci mejanya. Dan setiap pagi pula muka Mawar berseri melihatnya. Di pagi bunga kertas yg kesekian.

"Remi, liat deh. Setiap pagi gue dapet Mawar kertas."
"Lo suka ?"
"Jelaslah suka. Lo tau kan gue suka banget sama bunga Mawar. Dan lo tau ga apa yg paling gue suka."
"Apa?"
"Yang ngasih bunga ini lah. Feeling gue bilang yg kasih gue bunga ini pasti cowok yg gue suka dari dulu. Soalnya gue inget waktu kelompokan biologi gue pernah bilang ke dia kalau gue suka bunga Mawar. Dan dia satu satunya cowok yg selalu berangkat lebih pagi dari gue. Banyu."

Aku hanya bisa menelaan ludah dan menghela napas panjang. Rasanya seperti tersedak es batu. Keras dan dingin. Aku belum menyatakan perasaan tapi sudah ditolak mentah mentah. Banyu. Kalau pria ini yg disukai Mawar aku bisa apa ? 

Bukan. Bukanya aku pengecut yg tidak mau berjuang atau tidak berani berkata jujur. Tapi kalaupun aku harus bersaing dengan pria itu tentu aku akan kalah bahkan sebelum perang. Amunisiku kalah jumlah. Kalian harus tau siapa Banyu itu. Dia ketua tim basket sekolah, dengan IQ diatas rata rata dan tampang bintang iklan. Perawakanya jangan ditanya. Dia mantan runer up element of the years 2 tahun lalu. Sedangkan aku ? Yaa lihat saja sendiri. Menyedihkan bukan ?

Dan masih ada satu lagi alasan kenapa aku memendam perasaan itu sampai sekarang. Ada sesuatu yg membuat aku dan Mawar tidak akan pernah bisa menyatu. Prinsip dasar yg membuat kita berbeda, kepercayaan.

Kenapa di dunia ini harus ada agama? Kalau toh nyatanya itu membuat kita berbeda lalu berkelahi satu dengan yg lainya. Siapa sebenarnya yg mengkontruksikan makna agama, Tuhan atau kita ? Katanya semua agama mengajarkan kebaikan tapi kenapa ada perang salib ?

Yaaah kadang beberapa hal memang seharusnya demikian. Berbeda dan berkelahi. Supaya hidup tidak berjalan membosankan. Bukankah butuh sedikit warna hitam untuk membuat pelangi ?

Tidak. Inti ceritaku bukan pada agama atau cara memandang Tuhan, tapi cara memandang sesama manusia. Aku ingin Mawar tetap jadi Mawar dan Remi tetap Remi. Tidak ada yg harus mengalah dan berubah atas nama cinta. Bisa saja aku memaksakan ini. Memaksa Mawar masuk Islam atau aku yg menjadi Protestan. Tapi bagaimana bisa manusia tidak menghianati manusia lainya kalau menghinati Tuhanya saja dia bersedia ?
....
Tahun kelima pacaran mereka memutuskan untuk bertunangan. Sejak bulan lalu Mawar sibuk mengurusi ini dan itu. Dan sialnya sebagai sahabat aku kena imbas juga. Kalau saja akal sehat dan moralku tidak bekerja dengan baik pasti gedung ini sudah kubakar. Bagaimana bisa aku membantu pesta pertunangan wanita yg aku cintai dengan pria lain ?

"Rem gue pinjem motor lo ya. Gue mau ambil bunga kertas yg gue pesen dulu."
"Lah pestanya kan bentar lagi Ban."
"Makanya gue minjem motor lo, biar cepet. Lo tau kan Mawar suka banget bunga kertas. Gue mau kasih dia kejutan."

20.45

Pesta ini seharusnya dimulai sejak dua jam yg lalu. Tapi Banyu hilang entah dimana. 

22.10

Dua per tiga tamu undangan sudah pulang. Sepertiga lainya terpaksa tinggal sebagai bentuk sopan santun.

23.15

"Selamat malam. Saya dari pihak kepolisian. Benar ini orang tua dari saudara Banyu Resmana ? Anak Bapak terlibat kecelakaan beruntun malam tadi. Dan sekarang jasadnya ada di Rumah Sakit Tugu."

Aku lihat sesuatu dalam mata Mawar. Semacam luka yg memakan semua keberanian dalam mata itu. Tubuhnya jatuh terduduk di bawah kue pertunangan. Dia diam. Tidak satupun air mata jatuh dari matanya. Luka yg terlalu dalam membuatnya lupa cara meneteskan air mata. Diam. Mawar hanya bisa diam.

Tiga hari kemudian polisi menyerahkan barang barang Banyu yg tersisa dari kecelakaan. Termasuk bunga kertas dengan noda darah yg mengering. Bunga ini sudah cukup menjelaskan banyak hal bagi Mawar. Noda darah mengering disana membuatnya sangat membenci bunga kertas. Noda darah mengering disana menbuat mata tajam mawar sayu. Keberanian di mata itu hilang.

....
8 tahun berlalu. Nisan Banyu semakin lapuk. Tapi luka Mawar tidak membaik. Dan keberanian di mata itu tidak pernah kembali.

Tidak ada lagi laki laki lain dalam hidup Mawar selain ayahnya, Dimas adiknya, dan aku sahabatnya.

"Buat apa Rem ? Cinta itu luka. Membiarkan mereka datang berarti memberikan kesempatan untuk terluka ketika pada akhirnya mereka harus pergi."

Seharusnya aku senang karena wanita yg aku cintai tidak jadi bertunangan dengan pria lain. Tapi bukan keadaan begini yg aku inginkan. 

Mawar tidak menjalankan hidupnya dengan berbagahagia. Setiap menit yg berlalu berarti luka. Dia memang tetap hidup selayaknya tapi benci pada segala hal. Dia banyak diam, dan menghabiskan sendiri hidupnya. Tidak ada lagi keberanian untuk menghadapi dunia di mata itu.
....
Aku mulai menyalahkan diriku atas apa yg terjadi pada Mawar. Kalau saja waktu itu aku tidak meminjamkan motorku pada Banyu. Semua hal akan berjalan berbeda. Aku rela menukar apapun untuk menebus dosaku. Untuk membeli kembali keberanian di mata itu. Termasuk jika aku harus menukarnya dengan kesepakatan yg mungkin saja mengakhiri hidupku.

Banyu punya adik kembar. Tapi mereka tidak dibesarkan bersama. Bara dibesarkan oleh paman mereka yg tidak memiliki anak di Praha. Keluarga Banyu pernah mengalami masa sulit yg membuat mereka tidak sanggup untuk mengidupi dua orang anak dan harus merelakan salah satu diantaranya agar dapat hidup layak. 

Sudah hampir setahun aku mecari keberadaan Bara. Minggu lalu aku terbang ke Praha untuk menemuinya. Meskipun tidak identik tapi Banyu dan Bara terlihat hampir sama. Aku menceritakan semua yg terjadi pada Mawar. Yaaa, kalau kalian bisa baca situasi kalian akan tahu apa yg aku rencanakan dan kenapa aku harus bersusah payah mencari pria ini.

Aku tidak tahu yg kulakukan ini beretika atau tidak. Aku memaksa Bara menduplikasi Banyu. Dan yg lebih buruk lagi aku memaksanya mencintai Mawar. Ah tapi tidak. Sepertinya untuk yg satu ini Bara tidak terpaksa. Bagaimana mungkin ada seorang pria yg terpaksa mecintai wanita secantik Mawar ?

Aku menggunakan kembali trik lamaku. Bunga kertas. Tapi kali ini aku tidak perlu menunggu Mawar berspekuliasi tentang siapa yg memberikanya. Dan ya pasti aku juga tidak bilang aku pelakunya. 

"Kayanya si Bara deh. Itu loh anak baru divisi marketing."
"Oh ya ?"
"Iya sumpah lo mesti ketemu deh sama dia."
"Ngapain ?"
"Yaa lo temuin aja dulu."
"Gak penting abis lo Rem."
.....
Tidak. Aku tidak bisa terus begini. Aku harus melakukan sesuatu agar keberanian di mata itu kembali. Termasuk jika aku harus pergi agar dia tidak terus bergantung padaku. Dan melupakan jutaan pria lain di dunia. Bukanya aku merasa dia seperti parasit. Aku bahagia sungguh. Berada di sampingnya atau membantunya adalah yg selalu aku inginkan. Tapi buat apa kalau pada kenyataanya meskipun bersamdar di bahuku Mawar tetap tidak bahagia.

23 Januari, Pemakaman Tanah Kusir

Kadang kita menelan pil pahit untuk sembuh dan kembali bertahan hidup. Dan ini salah satu bagian terberat dari misi mengembalikan keberanian di mata itu. Aku akan menjadi pil pahit yg mau tidak mau akan Mawar telan.

"Banyu itu udah mati Mawar. Lo pikir dia seneng apa liat lo nangis mulu di makam dia ?"

Aku sedikit menarik nafas sebelum menlanjutkan kalimat yg tidak hanya menyakiti Mawar tapi juga aku.

"Engga cukup apa lo jadi parasit buat gue yg masih hidup ? Harus lo gangguin Banyu juga di alam sana ?"

Sial. Berat sekali melanjutkan kalimat ini. Berbohong memang bukan keahlianku. 

"Kalau bukan karena gue ngerasa ikut bersalah atas kematian Banyu. Gue ga akan mau jadi budak lo gini. Sampe gue harus ngorbanin kehidupan gue sendiri demi nemenin lo Mawar. Tapi 8 tahun udah cukup, sampe kapan lo mau bikin gue ngelepasin kehidupan pribadi gue ? Sampe kapan gue ga bisa bahagia sama cewe lain cuman karena harus jadi sahabat lo ? Gue masih normal Mawar gue juga pengin menikah sama cewe yg gue sayang bukanya bersahabat seumur hidup gue sama lo."

Bahu Mawar mengeras. Meskipun tidak terisak, tapi aku tahu dia menangis.

"Besok gue mau pindah ke Surabaya. Gue mohon jangan ganggu hidup gue lagi. Bersandarlah sama laki laki lain. Jangan jadi parasit di hidup gue mulu !"

Aku yakin suaraku akan bergetar jika kalimat ini harus dilanjutkan. Lebih baik aku berjalan ke arah mobil dan pulang.  Biarlah kalimat menyakitkan lain yg sudah kupersiapkan tidak pernah Mawar dengar.

Fortuner hitamku merjalan menjauhi pemakaman. Meninggalkan Mawar yg masih duduk di depan makam. Punggung wanita yg aku cintai itu tertinggal di kaca spion bersama luka dan cinta dalam diam.
.....
Aku menghabiskan sebagian besar waktu bersama ayah, ibu, abang, dan dua keponakanku. Aku takut kalau kalau nanti waktunya tiba dan habislah semua waktuku bersama mereka. Aku tidak lagi tahu tentang dia. Tapi tidak seharipun waktuku berlalu tanpa menghawatikanya.

Rasanya seperti ada beban yg terlepas dari pundak ketika tukang pos datang dan aku tahu apa yg aku dapatkan. Undangan pernikahan. Mawar dan Bara. Mungkin ini saatnya aku berhenti menghawatirkan wanita itu dan justru mulai menghawatirkan hidupku sendiri.

21 Desember 2015

Aku merapikan jas hitam yg kukenakan. Melihat sekali lagi tatanan rambutku di cermin. Setelah 1 tahun berlalu akhirnya hari ini aku bisa kembali melihat wanita yg kucintai dalam diam itu. 

Aku tidak membawa motor. Dan kalaupun bawa aku bersumpah tidak akan meminjamkanya pada Bara dan membuatnya bernasib sama dengan Banyu. Biar aku yg sendiri membawa bunga kertas untuk Mawar.

Wanita itu terlihat sangat anggun dalam balutan gaun berwarna putih. Mawar benar benar bunga yg cantik. Sayang aku tidak pernah ditakdirkan untuk memetiknya.

Aku sengaja memilih barisan di belakang. Aku masih ingin melihat bunga cantik itu sedikit lebih lama. 

Sampai juga pada giliranku menyalami kedua mempelai. Aku menjabat tangan mempelai pria. Dan memberikan bunga kertas pada mempelai wanita. Bunga kertas yg sama seperti yg selalu ia temukan di laci mejanya selama SMA dan diatas meja kerjanya.

Wanita itu terdiam. Dan aku lupa caranya bicara.  Wanita itu menangis. Dan aku memeluk tubuhnya. Kami tidak saling berbicara tapi kami saling mengerti.
....
"Oke, gue bisa bantu buat jadi pengganti Banyu. Tapi lo juga harus bantu gue. Gue punya seorang adik. Meskipun bukan adik kandung, tapi gue sayang banget sama dia. Gue rela ngelakuin apa aja buat dia sama kaya lo rela ngelakuin apa aja buat Mawar. Semenjak 8 bulan lalu dia koma. Dokter bilang dia akan terus begitu sampai seseorang rela mendonorkan sumsum tulang belakangnya. Tentu aja gue rela, tapi karena bukan saudara kandung darah kami berbeda, dan organ dalam kami tidak cocok satu sama lainya. Ini kesepakatan kita. Gue bakal buat keberanian di mata Mawar balik lagi dan setelah itu lo juga mesti kembaliin hidup adik gue, donorin sumsum tulang belakang lo. Deal ?"

Yaah itulah kesepakan yg kami buat sekitar dua tahun lalu. Kesepakatan antara aku dan Bara. Dan disinilah aku sekarang. Ruang operasi. Menunggu dokter menyuntikan obat bius yg membuat aku bisa melupakan semua rasa sakit.

Bara sudah memperingatkanku dua tahun lalu. Kemungkinan operasi ini berhasil adalah 20 persen. Itu berarti peluang untuk aku hidup lebih kecil dibanding kematian. Tapi bukankah sudah kubilang bahwa aku rela menukar apapun asal keberanian dalam mata Mawar bisa kembali. Keberanian yg selalu membuat aku mencintainya dalam diam.

Dokter menyuntikan obat bius di lengan tangan kananku. Dan aku mulai mengantuk. Aku mengingat kembali hari itu hari dimana Edwin merampas es krimku. Hari dimana aku berkenalan dengan gadis berkepang dua di depan trotoar sekolah. Dan juga hari itu. Hari dimana wanita itu mengenakan gaun berwarna putih. Terakhir kali kami berremu. Sungguh aku ingin hidup lebih lama untuk melihat kembali keberanian yg telah kembali kedalam matanya. Tapi kalaupun waktuku habis disini. Dan kalaupun hari itu adalah yg terakhir. Setidaknya aku sudah memberikan bunga kertasku sendiri pada Mawar. Bunga kertas yg akan menyampaikan cinta dalam diam.
.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar