Setelah sedikit berbasa basi wanita itu turun dari atas panggung. Dia berjalan ke arahku. Ah tidak. Dia berjalan ke arah kursi kosong di belakang.
"Cantik ya ?"
"Emmm yaa emm, lumayan."
"Temenin gue ke sono yuk !"
"Tapi Len...."
Lendra meyeret tubuhku. Memaksaku menemaninya berkenalan dengan wanita itu yg aku cintai. Kalau saja aku bisa. Pasti sudah kukatakan padanya bahwa wanita itu miliku. Tapi ah mana mungkin.
"Hei boleh gue duduk ? Tadi lagunya keren banget. Kenalin gue Lendra."
"Ah masa sih ? Ara."
"Beneran. Sumpah keren banget. Oh iya kenalin temen gue. Kash sini !"
Sial. Tulangku seperti mengalami pengerasan tiba tiba. Sulit sekali untuk bergerak. Setelah bersusah payah akhirnya aku bisa memaksanya mengulurkan tangan.
"Akashi."
Wanita itu diam sejenak. Sial. Dia pasti mengira bahwa mengalami syndrom aneh atau semacamnya. Bagaimana bisa di ruangan sedingin ini tanganku berkeringat.
"Namanya kaya tokoh kartun itu ya. Emm siapa itu. Oh iya Kakashi."
Wanita itu tertawa. Manis. Tapi sayang belum bisa melepaskan kutukan pengerasan tulang tiba tiba yg menimpaku. Alhasil aku hanya bisa duduk diam sepanjang sisa malam.
.....
"Romo membesarkan kamu bukan untuk menjadi aib seperti ini Syailendra !"
Aneh. Tengah malam begini tuan berteriak. Gaduhnya bahkan terdengar sampai sini. Tempat aku tidur. Sebuah kamar kecil di bagian belakang rumah.
"Aku tau aku salah romo. Tapi..."
Persetan dengan sopan santun. Aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa penasaran. Aku memutuskan untuk mendekati ruang tamu.
Tuan ada di kursi paling depan. Disampingnya ada nyonya. Di depan mereka duduk Lendra memegang tangan seorang gadis yg tertunduk menangis. Ara.
"Tapi apa Syailendra ! Romo sudah menjodohkan kamu dengan anak teman romo. Anak seseorang yg sederajat dengan kita."
"Tapi Ara sudah hamil romo. Dan itu anak Lendra."
"Romo tidak peduli Syailendra ! Nama baik keluarga kita jauh lebih penting dibanding perempuan itu atau anak yg dikandungnya !"
"Dimana hati nurani romo ?"
"Romo yg seharusnya tanya. Dimana hati nurani kamu Lendra ? Romo besarkan kamu. Setelah besar kamu rusak nama baik keluarga ini !"
"Lendra tau Lendra salah. Tapi bukankah romo yg bilang ke Lendra. Laki laki tidak boleh lari dari tanggung jawab. Besok Lendra mau menikahi Ara. Dengan atau tanpa restu dari romo."
"Keterlaluan kamu Syalen..."
Belum sempat tuan menyelesaikan kalimatnya dia sudah terjatuh. Tubuhnya lemas. Napasnya tersengal. Tangan kananya memegang jantung.
Ibu berteriak. Lendra memanggil namaku. Aku berlari ke depan. Mengeluarkan mobil dari garasi di sisi samping rumah. Membantu Lendra mengangkat tuan.
.....
"Kash. Dari kecil kita dibesarin bareng. Dari kecil juga gue selalu bikin lo susah. Gue inget waktu gue mecahin guci kesayangan romo. Waktu itu gue ketakutan setengah mati. Lo tau kan romo selalu cambuk kaki gue setiap gue nakal. Tapi lo justru bilang ke romo kalau lo yg mecahin gucinya. Dan lo dicambuk."
Lendra berbicara dipinggir ruang ICU rumah sakit. Wajahnya pusat. Sekujur tubuhnya berkeringat.
"Maafin gue Kash. Lo selalu jadi kambing hitam atas semua kesalahan gue. Tapi gue mohon bantu gue sekali lagi. Gue gamau kehilangan romo Kash. Gue ga tahan liat ibu nangis."
Suara Lendra semakin parau. Mata mulai memerah. Pria itu menangis.
"Gue mohon lo jaga Ara. Nikahin dia dan bawa dia jauh dari sini."
Rasanya aku ingin sekali memukul wajah tampan Lendra yg kini pucat pasi. Bagaimana bisa dia memintaku menikahi wanita yg sudah dihamilinya ? Tapi kemudian aku ingat siapa aku. Dan akan jadi siapa aku tanpa dia dan keluarganya.
Ya. Aku adalah anak pembantu di rumah Lendra. Ayahku sudah meninggal semenjak aku belum dilahirkan. Ibu bekerja hampir 7 tahun di rumah tuan. Sampai pada akhirnya ia sakit keras dan meninggal. Waktu itu usiaku baru genap 3 tahun. Aku sebatang kara, ibu dan ayah tidak punya keluarga. Sebetulnya ada tapi mereka mengacuhkan kami dan sibuk mengisi perut mereka sendiri. Semenjak itu aku dibesarkan keluarga Lendra. Disekolahkan dan diberi pakaian layak. Meski Lendra menganggapku sebagai kakanya tapi aku sadar diri dan tau siapa aku. Dan mungkin ini saatnya aku membalas budi keluarga ini.
Aku menggandeng tangan Ara dan mengajaknya pergi. Dia diam mengikuti dan mengerti.
Tidak. Aku melepaskan Ara. Dan berlari ke arah Lendra. Aku memeluknya. Lalu menonjok wajah tampanya.
"Pelukan itu untuk salam perpisahan. Dan tonjokan itu untuk luka yg kau berikan pada Ara."
Lendra mengusap mulutnya yg berdarah. Dan tersenyum penuh luka. Aku kembali menggandeng tangan Ara dan membawanya pergi. Jauh dari tempat ini.
....
Aku sudah resmi jadi suami Ara. Tapi tidak sekalipun aku pernah menyentuhnya. Aku memilikinya secara status tapi tidak pernah benar benar bisa memilikinya.
Ara tidak memperlakukanku selayaknya suami. Dia memperlakukanku seperti orang asing. Tidak banyak bicara. Menjawab pertanyaanku seadanya.
Aku berusaha sekuat tenaga membuatnya kembali ceria. Tapi dia tetap sama. Murung dan tidak banyak bicara.
Lendra menyuruh kami pindah ke Jogja dan menempati rumah lama keluarga mereka. Tapi Ara tidak mau menempati rumah itu. Katanya mengingatkanya pada luka.
Aku berusaha keras membuatnya bahagia. Bekerja sebagai kuli bangunan. Menyewa sepetak rumah sederhana. Meskipun Ara menganggapku tidak ada tapi aku mencintainya. Sungguh. Dengan tulus. Aku tidak peduli bagaimana caranya memperlakukanku. Aku tidak peduli bagaimana dia tidak pernah menyentuhku. Aku hanya ingin membahagiakanya dan Lara anak kandung Lendra yg secara akta adalah anaku.
Lara tidak salah. Bukan dia yg minta dilahirkan sedemikian rupa. Lendra dan Ara lah yg bersalah. Tapi aku tidak pernah membenci mereka. Tidak Lendra. Tidak Ara. Dan juga Lara.
Lara kubesarkan seperti anaku sendiri. Aku berusaha keras memberikan yg terbaik untuknya. Dia adalah alasan dibalik semua keringat yg aku cucurkan. Lara bukan luka. Lara adalah bahagia.
....
3 tahun berlalu. Tidak banyak yg berubah dalam hidupku. Ara masih menganggapku tidak ada. Menatapku saja dia tidak bersedia. Kalau aku pulang kerja Ara memilih untuk masuk kamar.
Ara tidak pernah memasak. Sebelum pergi aku yg mencarikan kami sarapan. Kadang kalau uang sudah semakin tipis aku sendiri yg masakan. Meski hanya telur atau mie instan.
Aku mengantar Lara ke sekolah. Pulang aku yg menjemputnya. Membelikan pula makan untuk kami sekeluarga. Aku dan Lara makan bersama. Tapi Ara tidak. Dia baru akan makan setelah aku pergi.
Ara tidak melakukan pekerjaan rumah. Semuanya aku yg lakukan. Malam kami tidur terpisah. Ara dan Lara dalam kamar dan aku di bangku kayu depan rumah.
Aku melakukan semuanya dengan ikhlas dan berbahagia. Meskipun dingin diluar sini. Tapi semua cintaku ada di dalam. Mereka adalah kekuatan. Begini saja sudah cukup. Tapi kalau aku boleh sedikit meminta. Aku ingin Ara kembali bahagia. Dan memainkan lagu yg diakhiri kunci a minor itu sekali lagi saja.
.....
Sudah hampir 5 bulan aku bekerja lebih keras. Aku ingin membelikan Ara sebuah gitar kayu. Aku berharap benda itu bisa mengobati sedikit luka.
Sianganya aku masih menjadi kuli bangunan. Malam hari aku berjualan nasi goreng. Dan rutinitas harian serta pekerjaan rumah masih kulakukan sebagaimana biasanya.
Akhirnya sebuah gitar kayu seharga 1.270.000 berhasil aku beli. Tapi Ara masih tidak berminat untuk menyentuhnya atau menganggap aku ada.
Ah sudahlah. Mungkin Tuhan ingin aku berusaha lebih keras. Mungkin Tuhan masih menguji ketulusan.
Tengah malam lewat. Hujan deras mengguyur Jogjakarta. Sudah hampir dua jam aku berteduh di pinggir gedung tua. Tapi tidak bisa. Aku harus pulang. Ara dan Lara belum makan. Aku harus membawakan mereka makanan.
Aku dorong gerobak nasi goreng melewati hujan yg semakin menjadi. Dingin sekali. Sesampainya di rumah aku membuatkan nasi goreng untuk Ara dan Lara. Membangunkan mereka untuk makan malam yg terlalu telat. Mereka makan dan aku mandi. Selesai mandi aku menggelar sarung dan bersiap tidur di kursi depan rumah.
"Ayah. Ini kan hujan. Kenapa ayah tidur diluar ?"
"Di dalam kan cuman ada satu kamar. Dan kasurnya tidak cukup untuk kita bertiga. Jadi ayah tidur diluar."
"Emangnya ayah ga dingin ?"
"Engga. Selama kalian ngerasa hangat di dalam sana ayah juga hangat kok."
Gadis kecil itu merangkak tidur dipangkuanku. Aku membelai rambutnya. Mendongengkan cerita kancil dan buaya.
"Minggu depan Lendra menikah dengan wanita yg dijodohkan ayahnya. Aku tau dari teman di Jakarta."
Ara berdiri di depan pintu. Ini kali pertama ia mengajaku berbicara. Meski matanya tidak tertuju padaku. Matanya nanar menatap hujan yg menderas.
"Aku udah ikhlas kok. Aku udah bisa terima. Lendra emang engga pernah ditakdirkan buat aku."
Hujan semakin deras mengguyur kota Jogjakarta.
"Kenapa kamu mau menikahi aku ? Aku kan sudah mengandung anak pria lain ? Kenapa kamu masih baik padahal aku selalu bersikap dingin ? Apa karena kamu harus balas budi dengan keluarga Lendra ? Atau kamu hanya merasa iba padaku?"
"Engga. Aku memang harus balas budi sama keluarga Lendra. Tapi aku tidak akan melakukanya kalau aku tidak ingin. Dan aku memang merasa sedikit iba. Tapi bukan itu alasanku melakukan semua ini."
"Terus ?"
"Karena aku cinta kamu Ara. Kami ingat kejadian di cafe 4 tahun lalu. Waktu itu kamu duduk di depan panggung. Dengan baju berwarna putih. Kamu memegang gitar lalu memetiknya. Sejak intro aku tahu itu lagu favoritku. Hotel California. Dan sejak nada terakhir di lagu itu. A minor. Aku tahu kalau aku mencintai kamu."
Wanita itu terdiam. Matanya menatap nanar ke depan. Melihat hujan yg semakin menderas.
Wanita itu masuk ke dalam rumah. Lalu kembali ke depan dengan membawa gitar yg aku berikan. Dia duduk disampingku. Hujan semakin menderas.
"Terima kasih karena telah dan masih mencintaiku sampai sekarang. Bagaimana bisa aku terus mencintai laki laki yg memberikanku luka dan mengabaikan laki laki yg dengan ikhlas mencintaiku. Lelaki yg bekerja keras untuk membahagiakan aku dan anaku dengan pria lain."
Hujan semakin deras mengguyur kota Jogjakarta. Aku kehilangan kata kata.
"Terima kasih juga buat gitarnya. Aku akan memainkan lagu itu lagi. Supaya kamu tidak berhenti mencintaiku."
Hujan semakin deras. Wanita duduk disampingku. Memegang gitar kayu. Dan mulai memetiknya. Sejak intro aku tau ini lagu favoritku. Hotel California. Dan di nada terakhir lagu ini. A minor. Aku tahu bahwa aku tetap mencintainya.
......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar