Rabu, 16 Maret 2016

Mencemarkan Nama Baik Tuhan

Dalam kitab manapun, Tuhan tidak pernah memberikan kita hak untuk menyakiti yang lainnya.

Televisi di kamar saya sudah terlalu lama berada di sana. Sampai sampai semua tombol pengubah suara atau saluran sudah tidak lagi berguna. Alhasil setiap hari saya hanya bisa nonton yg itu itu saja. Kadang konten bodoh macam infotaiment yang tidak kalah dengan monosodium glutame dalam hal membodohkan isi kepala saya.

"Bang Ipul kan rajin sholat, paham agama. Jangan bohong ! Abang jelas kenal saya."

Atau kalimat yang ini.

"Doakan saja yang terbaik buat saya. Insya Allah, Allah melindungi saya."

Dua kalimat tadi nampaknya berhasil membuat maag saya kambuh seketika. Walaupun saya sudah sarapan roti pagi ini. Tapi rasanya mual. Mual sampai sampai membuat saya bergidik.

Menjijikan sekali mendengar nama Tuhan dieluh eluhan seseorang yang baru saja terbukti melakukan tindak pencabulan. Ditambah lagi dengan orientasi seks yang jelas jelas tidak pernah dikitabkan oleh Tuhan manapun di dunia.

Lebih menjijikan lagi. Ketika jelas jelas si korban tau betapa bejat dan jauhnya tidakan si empunya kesalahan dengan ajaran Tuhan tapi masih bilang dia taat beragama.

Lihatlah betapa dunia dipenuhi oleh orang orang naif yang dengan pengecutnya berlindung di balik nama Tuhan.

Betapa melasnya saya dengan Tuhan. Disebut dan diakui dekat hanya ketika bermasalah. Kalau sedang senang bagi mereke siapalah Tuhan. 

Tuhan dijadikan tameng untuk melindungi kesalahan. Tuhan jadi framing untuk sarana pencitraan. Agar dibilang baik agar dibilang beragama. Padahal hakikatnya entah tahu atau tidak.

Rajin solat atau ke gereja bukan takaran tepat untuk memvalidasi keimanan seseorang. Ada hal yg lebih subtansial dibalik semua atribut atau ibadah yg dilakukan. Seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai paham beragama seharusnya paham subtansi dari kontruksi makna agama. 

Agama berperan sebagai undang undang kehidupan. Meneraturkan perilaku setiap orang. Tujuanya agar dunia tidak keos dengan menanamkan nilai kebaikan. Kita dibuat takut untuk berbuat kesalahan atau menyakiti orang. Kita dibuat teratur. Agama seperti badan jalan yang secara implisit mengatur langkah kita.

Tapi lagi lagi hakitkan bukan pada atribut atau ibadah. Ada sebuah konstruksi yg lebih besar dan mendalam. Tuhan manapun ketiaka diimani dengan benar sejatinya mengajarkan kebaikan, kemanusiaan. Ibadah atau atribut hanya cara supaya kita paham.

Hakikatnya bukan pada berapa kali kita solat atau sepanjang apa ayat dibacakan setelah Al-Fatihah. Tapi pada bagaimana kita mengilhami kebaikan yg diinginkan Tuhan. Alasan dasar kenapa Tuhan mau kita melakukan itu. Lalu mengilhami dengan benar apa yang sebenarnya Dia mau kita lakukan. Bukan tentang seberapa sering kita ke wihara atau sebanyak apa bunga yg kita bawa. Tapi kenapa Tuhan mau kita begitu, makna apa yang ada dibalik itu. Kalau agama dan Tuhan bukan lagi sekedar tentang lamanya ibadah niscaya jika diilhami tidak lagi ada yang merasa dirinya berhak menyakiti lainnya.

Bukan cuman perkara tameng, Tuhan bahkan juga dijadikan alasan dan pembenaran. Orang orang sering kali hanya mengenal Tuhan dipermukaan tapi bergaya seperti mereka paham benar. Sampai sampai sabda Tuhan dijadikan alasan.

Orang orang saling bertengkar, berdebat, dan berperang. Alasanya melindungi Tuhan. Memang Tuhan selemah itu sampai harus dilindungi sedemikian rupa. Atau memang mereka yang tamak akan kejayaan.

Kalau kalau orang tahu apa yang sebenarnya Tuhan mau. Kalau kalau mereka paham betul makna dari menegakan agama seperti yang Tuhan mau mungkin Perang Salib tidak pernah terjadi. Kalau kalau sabda Tuhan diartikan dengan benar mungkin tidak ada yang perlu kawin tiga.

Tuhan jadi tameng buat kemalasan. Katanya, rejeki jodoh dan mati adalah kehendak takdir. Orang jadi bermalasan karena katanya rejeki diatur Tuhan. Orang tidak mau bekerja semakin keras karena katanya harus percaya setiap rejeki harus disyukuri.

Padahal mana pernah Tuhan menulis pada kitab manapun kalau kita boleh diam saja. Berpasrah bukan berarti menyerah. Tapi bekerja lebih keras sambil percaya. Berpasrah memberikan kita makna untuk mencari sesuatu dengan sebaiknya dan tidak melewati hak yg menjadi kodrat lainnya.

Tuhan tidak hanya mau kita bersyukur. Kalau bersyukur berarti malas kapan Indonesia jadi negara makmur sejahtera. Kalau kita mengilhami betul subtansi dari apa yang diinginkan Tuhan seharusnya Indonesia bisa menjadi negara super kaya. Rakyatnya punya masa besar ditambah besar yg taat beragam. Kalau konsep berpasrah diartikan dengan sebenar benarnya akan jadi mega triliuner negara kita.

Satu lagi yg membuat saya makin melas dengan Tuhan. Zaman sekarang Tuhan dimanafaatkan seperti sebuah logo bagi perusahaan. Dijadikan identitas untuk beraliensi, padahal belum tentu semua anggota aliensinya paham betul apa yg menjadi core mereka menjadikan Tuhan alasan kesatuan. Bisa jadi mereka hanya butuh dukungan. Karena pada hakikatnya manusia takut untuk sendirian. Dan sejak zaman pithicantropus erectus pun sudah demikian. Manusia hidup dalam kelompok kelompok karena butuh pengakuan, butuh perlindungan.

Bukan masalah berkelompok atau tidak. Tapi sadarkah mereka ketika mengatas namakan Tuhan. Sadarkah mereka akan hakikat Ketuhana atau Tuhan berperan sebagai logo saja. Ujungnya kan mencemarkan nama Tuhan. Aliansi tidak pernah paham subtansi sebenarnya, bertindak sesukanya tapi Tuhan jadi logonya. Mau apa kalau sudah demikian nama Tuhan juga yang tercemar bukan ?

Sungguh melas sekali saya dengan Tuhan. Kalau jadi dia mungkin saya sudah menuntut untuk memenjarakan semua manusia di dunia.

Selasa, 08 Maret 2016

Berdamai dengan Diri Sendiri

Sebagaimana kita sekarang merupakan buah dari apa yg sudah terjadi dalam hidup.

Saya percaya semua orang punya sebab dibalik akibat. Tapi sering kali yg terlihat hanya bagian akibat. Setiap karakter dan pemikiran seseorang dibentuk oleh masa lalu, entah luka atau bahagia.

Setiap dari kita punya cerita, punya juga luka. 

Hal menyakitkan yg terjadi dalam hidup seseorang punya dua potensi yg sama besarnya. 

Semisal seorang anak yg sedari kecil suka dihina. Mungkin karena buruk rupa atau urusan harta. Trauma trauma masa kecil semacam ini dibawa sampai beranjak dewasa. Sebagian besar akan tumbuh sebagai orang yg dipenuhi kebencian atau berkepercayaan diri kurang.

Tapi percayalah, Tuhan tidak pernah punya niat jahat untuk melukai hambanya. Semua luka diciptakan Tuhan atas sebuah alasan. Tapi sering kali kita lupa dan berprasangka buruk padanya. Menyalahkan Tuhan atas apa yg terjadi dan membenci kehidupan. Sisalah hidup jadi sia sia.

Cara seperti ini sama saja mempertahankan luka itu untuk terus ada. Padahal bisa jadi sebetulnya semua sudah berlalu begitu saja. 

Berdamailah dengan diri sendiri. Maafkan semua sakit yg pernah terjadi. Percaya Tuhan juga punya sebab dibalik akibat.

Karena sebetulnya ketika kita merasa disakiti seseorang atau bahkan takdir dan mendendam. Bukan pada si penyebab kita menyimpan kebencian tapi pada diri sendiri. Bukan karena mereka bersikap buruk kita mendendam tapi karena kita tidak bisa berdamai dengan diri.

Berdamailah dengan diri sendiri atas luka, masa lalu, atau ambisi. 

Sebuah buku pernah menjelaskan dengan gamblang apa itu dendam yg membangun. Menurut si penulis yg entah siapa hal buruk yg terjadi bisa diubah menjadi dendam yg membangun. Yg seperti memecut pundak kita untuk bekerja lebih keras demi sebuah pembuktian.

Bagaimana sebuah dendam berubah menghancurkan atau membangun tergantung bagaimana seseorang melihat. Kalau ini masalah mental yg sedari sananya diberikan Tuhan dan masalah sejauh mana orang tersebut memperbaiki mentalnya. Mental yg matang butuh proses yg menyakitkan.

Tapi kalau saya boleh berpesan, sekali lagi berdamailah dengan diri sendiri. Dendam bagus kalau jadi ambisi tapi tidak semua ambisi harus dituruti. Sudah kewajiban untuk bekerja keras dan memaksa diri kita lebih dari batas tapi ada saat dimana kita pada akhirnya harus berdamai dengan diri sendiri menerima batas yg memang ditakdirkan untuk tidak bisa dilampaui. Menerima kekurangan dan keterbatasan diri. Memberikan waktu untuk sedikit bersandar dan berhenti memaksa diri lebih keras. 

Karena hidup bukan tentang menghabisi luka, membalaskan dendam, atau mencapai ambisi. Tujuan hidup sesederhana bahagia.

Rabu, 02 Maret 2016

Roti dan Tepung Roti

Ada dua cara makan sepotong roti, beli jadi atau bikin sendiri. Keduanya punya cara berbeda untuk dinikmati. Sama seperti cinta kalau boleh berfilosofi.

Kalau mau mudah ya beli saja roti. Banyak yg sudah jadi. Tinggal datang, bayar, makan habis perkara. 

Tapi masalahnya ada banyak toko roti. Mana tau mana yg rasanya terbaik. Bisa mungkin pakai referensi. Tapi dunia punya pakemnya, ada harga ada rasa.

Punya cukup uang beli roti yg pasti enak?

Nah belum lagi perkara yg pasti pasti ini. Bukankah dunia seperti selembar kertas abu ? Tidak ada perkara yg benar benar jelas dan pasti.

Atau mau pilih cara kedua, tepung roti alias bikin sendiri. Lebih susah, lebih ribet, lebih makan banyak waktu, dan butuh kesabaran ekstra. Tapi hasilnya bisa dibentuk sesuai selera.

Perkaranya, cukup sabar atau tidak ? 

Dan urusan cita rasa juga tergantung kemampuan kita membentuknya. Belum lagi takaran bahan bahan yg tepat. Kebanyakan tepung bisa bisa jadi bantat.

Kalau boleh diibaratkan, roti dan tepung roti itu adalah dua jenis pria. 

Roti, roti adalah pria yg sudah jadi. Sudah mapan dan segala ada. Wanita pasti mau yg begini. Masalahnya untuk mendapatkan pria ini butuh modal yg cukup. Modal dalam artian kualitas diri. Wanita harus punya harga khusus yg ditawarkan untuk memikat pria macam ini. Macam status sosial, penghasilan, pergaulan, atau bentuk badan.

Masalah berikutnya, macam roti ini pria sudah jadi. Mesti diterima sebagaimana adanya. Kalau kalau ditengah pernikahan ternyata suka main tangan atau berselingkuh sana sini ya mesti gimana lagi. Kan belinya sudah jadi, bentukanya sudah begitu.

Tapi tenang, Tuhan kasih jodoh bukan seperti beli kucing dalam karung. Ada lagi rahasia alam yg harus diketahui : Jodoh itu sepadan. Kalau kitanya baik ya pasti dikasih yg baik. Kalau merasa dapat yg kurang baik, dimata Tuhan berarti kita memang belum cukup baik.

Atau bisa jadi rahasia alam alternatif lainya sedang terjadi: Tuhan mau kita belajar. Rasa sakit atau kecewa adalah cara Tuhan memberikan kebahagiaan pada ujungnya. Percaya saja.

Merasa tidak punya kualitas mengaet pria jenis roti. Tenang masih bisa beli tepung roti. Mesti sabar dan butuh keberuntungan ekstra memang menemani seorang laki laki naik tangga dari bawah. Tapi kalau setiap prosesnya dijalankan dengan tulus, ketika pada ujungnya berhasil semuanya akan jadi kebahagiaan yg diakumulasi.

Nah perkaranya tadi, tidak semua pria jenis ini bisa jadi. Mesti tau kita bagaimana cara membentuknya. Dibiarkan mana bisa jadi, terlalu ditekan bisa lepas dari genggaman. 

Tipsnya sih sederhana pilih bahan adonan dengan kualitas yg baik. Pilih pria yg sekiranya punya modal untuk jadi seseorang, seperti kecerdasan, keulatn dan yg terpenting hati yg baik. Satu lagi jangan buang waktu terlalu lama kalau sekiranya kamu yakin hanya membuang waktu. Tinggalkan dan coba buat yg baru. Jangan juga terlalu mudah menyerah, baru baru diawal belum terlihat sudah pindah ke adonan baru. Mesti benar benar jeli masalah bikin roti ini.

Mau roti atau tepung roti, yg penting ikut saja kata hati.