Televisi di kamar saya sudah terlalu lama berada di sana. Sampai sampai semua tombol pengubah suara atau saluran sudah tidak lagi berguna. Alhasil setiap hari saya hanya bisa nonton yg itu itu saja. Kadang konten bodoh macam infotaiment yang tidak kalah dengan monosodium glutame dalam hal membodohkan isi kepala saya.
"Bang Ipul kan rajin sholat, paham agama. Jangan bohong ! Abang jelas kenal saya."
Atau kalimat yang ini.
"Doakan saja yang terbaik buat saya. Insya Allah, Allah melindungi saya."
Dua kalimat tadi nampaknya berhasil membuat maag saya kambuh seketika. Walaupun saya sudah sarapan roti pagi ini. Tapi rasanya mual. Mual sampai sampai membuat saya bergidik.
Menjijikan sekali mendengar nama Tuhan dieluh eluhan seseorang yang baru saja terbukti melakukan tindak pencabulan. Ditambah lagi dengan orientasi seks yang jelas jelas tidak pernah dikitabkan oleh Tuhan manapun di dunia.
Lebih menjijikan lagi. Ketika jelas jelas si korban tau betapa bejat dan jauhnya tidakan si empunya kesalahan dengan ajaran Tuhan tapi masih bilang dia taat beragama.
Lihatlah betapa dunia dipenuhi oleh orang orang naif yang dengan pengecutnya berlindung di balik nama Tuhan.
Betapa melasnya saya dengan Tuhan. Disebut dan diakui dekat hanya ketika bermasalah. Kalau sedang senang bagi mereke siapalah Tuhan.
Tuhan dijadikan tameng untuk melindungi kesalahan. Tuhan jadi framing untuk sarana pencitraan. Agar dibilang baik agar dibilang beragama. Padahal hakikatnya entah tahu atau tidak.
Rajin solat atau ke gereja bukan takaran tepat untuk memvalidasi keimanan seseorang. Ada hal yg lebih subtansial dibalik semua atribut atau ibadah yg dilakukan. Seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai paham beragama seharusnya paham subtansi dari kontruksi makna agama.
Agama berperan sebagai undang undang kehidupan. Meneraturkan perilaku setiap orang. Tujuanya agar dunia tidak keos dengan menanamkan nilai kebaikan. Kita dibuat takut untuk berbuat kesalahan atau menyakiti orang. Kita dibuat teratur. Agama seperti badan jalan yang secara implisit mengatur langkah kita.
Tapi lagi lagi hakitkan bukan pada atribut atau ibadah. Ada sebuah konstruksi yg lebih besar dan mendalam. Tuhan manapun ketiaka diimani dengan benar sejatinya mengajarkan kebaikan, kemanusiaan. Ibadah atau atribut hanya cara supaya kita paham.
Hakikatnya bukan pada berapa kali kita solat atau sepanjang apa ayat dibacakan setelah Al-Fatihah. Tapi pada bagaimana kita mengilhami kebaikan yg diinginkan Tuhan. Alasan dasar kenapa Tuhan mau kita melakukan itu. Lalu mengilhami dengan benar apa yang sebenarnya Dia mau kita lakukan. Bukan tentang seberapa sering kita ke wihara atau sebanyak apa bunga yg kita bawa. Tapi kenapa Tuhan mau kita begitu, makna apa yang ada dibalik itu. Kalau agama dan Tuhan bukan lagi sekedar tentang lamanya ibadah niscaya jika diilhami tidak lagi ada yang merasa dirinya berhak menyakiti lainnya.
Bukan cuman perkara tameng, Tuhan bahkan juga dijadikan alasan dan pembenaran. Orang orang sering kali hanya mengenal Tuhan dipermukaan tapi bergaya seperti mereka paham benar. Sampai sampai sabda Tuhan dijadikan alasan.
Orang orang saling bertengkar, berdebat, dan berperang. Alasanya melindungi Tuhan. Memang Tuhan selemah itu sampai harus dilindungi sedemikian rupa. Atau memang mereka yang tamak akan kejayaan.
Kalau kalau orang tahu apa yang sebenarnya Tuhan mau. Kalau kalau mereka paham betul makna dari menegakan agama seperti yang Tuhan mau mungkin Perang Salib tidak pernah terjadi. Kalau kalau sabda Tuhan diartikan dengan benar mungkin tidak ada yang perlu kawin tiga.
Tuhan jadi tameng buat kemalasan. Katanya, rejeki jodoh dan mati adalah kehendak takdir. Orang jadi bermalasan karena katanya rejeki diatur Tuhan. Orang tidak mau bekerja semakin keras karena katanya harus percaya setiap rejeki harus disyukuri.
Padahal mana pernah Tuhan menulis pada kitab manapun kalau kita boleh diam saja. Berpasrah bukan berarti menyerah. Tapi bekerja lebih keras sambil percaya. Berpasrah memberikan kita makna untuk mencari sesuatu dengan sebaiknya dan tidak melewati hak yg menjadi kodrat lainnya.
Tuhan tidak hanya mau kita bersyukur. Kalau bersyukur berarti malas kapan Indonesia jadi negara makmur sejahtera. Kalau kita mengilhami betul subtansi dari apa yang diinginkan Tuhan seharusnya Indonesia bisa menjadi negara super kaya. Rakyatnya punya masa besar ditambah besar yg taat beragam. Kalau konsep berpasrah diartikan dengan sebenar benarnya akan jadi mega triliuner negara kita.
Satu lagi yg membuat saya makin melas dengan Tuhan. Zaman sekarang Tuhan dimanafaatkan seperti sebuah logo bagi perusahaan. Dijadikan identitas untuk beraliensi, padahal belum tentu semua anggota aliensinya paham betul apa yg menjadi core mereka menjadikan Tuhan alasan kesatuan. Bisa jadi mereka hanya butuh dukungan. Karena pada hakikatnya manusia takut untuk sendirian. Dan sejak zaman pithicantropus erectus pun sudah demikian. Manusia hidup dalam kelompok kelompok karena butuh pengakuan, butuh perlindungan.
Bukan masalah berkelompok atau tidak. Tapi sadarkah mereka ketika mengatas namakan Tuhan. Sadarkah mereka akan hakikat Ketuhana atau Tuhan berperan sebagai logo saja. Ujungnya kan mencemarkan nama Tuhan. Aliansi tidak pernah paham subtansi sebenarnya, bertindak sesukanya tapi Tuhan jadi logonya. Mau apa kalau sudah demikian nama Tuhan juga yang tercemar bukan ?
Sungguh melas sekali saya dengan Tuhan. Kalau jadi dia mungkin saya sudah menuntut untuk memenjarakan semua manusia di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar