Sabtu, 23 April 2016

Perempuan yang Ditakdirkan Tuhan

Dari ziliunan manusia di dunia saya tidak pernah habis pikir kenapa kita dipertemukan.

Sembilan tahun lalu saya bertemu dengan perempuan ini. Kita berdua terpilih sebagai calon ketua OSIS. Entahlaah kenapa bisa demikian. Padahal kita bukan katagori murid teladan. Tapi kalau boleh menerka, dibalik ini ada alasan Tuhan kenapa kita dipertemukan.

Saya tidak pernah tahu kenapa perempuan ini masih ada disamping saya sampai sekarang. Saya bukan anak tenar  dan cantik dengan harta melimpah. Menjadi teman saya bukan sebuah keuntungan besar. Tidak ada benefit yg bisa saya berikan seperti hadiah hadiah mewah atau ketenaran. Satu satunya hal yg bisa saya berikan hanya ketulusan.

Saya tidak habis pikir kenapa perempuan ini masih ada disisi saya. Saat dulu semua orang seperti salah menilai dan mencibir saya. Dia tidak pernah sekalipun meninggalkan. Didepannya saya tidak perlu mengklarifikasi apapun karena saya tahu dia tahu saya.

Mungkin mudah mencari teman saat sudah berada diatas, dan punya segalanya. Tapi tidak semudah itu mencari yg tidak pergi saat semua seperti meninggalkan. Kalau orang bilang saya extrovert dan mudah bergaul, mungkin benar. Tapi kalau bilang saya mudah berteman mereka salah besar. Mungkin saya kenal banyak orang, bisa pergi kesana kemari dengan siapa saja. Tapi tidak untuk berteman. Karena bagi saya teman bukan sekadar pergi kesana kemari atau bergosip ini dan itu bersama. Bagi saya teman adalah orang orang yg punya akses masuk ke dalam hidup saya lebih dalam. Orang orang yg didepannya saya tidak perlu menjadi apapun atau mengklarifikasi apapun tapi bisa mengerti dengan benar. Orang orang yg mau melakukan banyak hal bodoh tanpa merasa aneh. Dan orang orang yg didepannya saya bisa menceritakan kesedihan.

Perempuan ini sudah banyak berubah. Dan saya bahagia punya kesempatan untuk dewasa bersama. Kita bukan lagi anak anak smp labil yg menghabiskan waktu bersama untuk kesana kemari. Tidak lagi punya banyak waktu untuk menceritakan pria ini dan itu. Meski masih suka melakukan banyak hal bodoh berdua. 

Meskipun semakin hari kita dituntutut untuk menjadi semakin dewasa. Semoga tidak ada banyak yg harus berubah. Terutama hal hal dan petualang bodoh yg biasa kita lakukan.

Kita tidak lagi punya banyak waktu dan kesempatan untuk bersama. Sudah semakin sibuk dengan urusan dan kehidupan masing masing. Tapi saat hidup terasa semakin berat, saya tahu tempat terbaik untuk menceritakan segalanya. Saat semua orang terasa seperti menjauh, saya tahu siapa yg akan tetap berada di tempatnya.

Selamat ulang tahun, Afrinka Nur Rosninta.

Perempuan yang Ditakdirkan Tuhan

Dari ziliunan manusia di dunia saya tidak pernah habis pikir kenapa kita dipertemukan.

Sembilan tahun lalu saya bertemu dengan perempuan ini. Kita berdua terpilih sebagai calon ketua OSIS. Entahlaah kenapa bisa demikian. Padahal kita bukan katagori murid teladan. Tapi kalau boleh menerka, dibalik ini ada alasan Tuhan kenapa kita dipertemukan.

Saya tidak pernah tahu kenapa perempuan ini masih ada disamping saya sampai sekarang. Saya bukan anak tenar  dan cantik dengan harta melimpah. Menjadi teman saya bukan sebuah keuntungan besar. Tidak ada benefit yg bisa saya berikan seperti hadiah hadiah mewah atau ketenaran. Satu satunya hal yg bisa saya berikan hanya ketulusan.

Saya tidak habis pikir kenapa perempuan ini masih ada disisi saya. Saat dulu semua orang seperti salah menilai dan mencibir saya. Dia tidak pernah sekalipun meninggalkan. Didepannya saya tidak perlu mengklarifikasi apapun karena saya tahu dia tahu saya.

Mungkin mudah mencari teman saat sudah berada diatas, dan punya segalanya. Tapi tidak semudah itu mencari yg tidak pergi saat semua seperti meninggalkan. Kalau orang bilang saya extrovert dan mudah bergaul, mungkin benar. Tapi kalau bilang saya mudah berteman mereka salah besar. Mungkin saya kenal banyak orang, bisa pergi kesana kemari dengan siapa saja. Tapi tidak untuk berteman. Karena bagi saya teman bukan sekadar pergi kesana kemari atau bergosip ini dan itu bersama. Bagi saya teman adalah orang orang yg punya akses masuk ke dalam hidup saya lebih dalam. Orang orang yg didepannya saya tidak perlu menjadi apapun atau mengklarifikasi apapun tapi bisa mengerti dengan benar. Orang orang yg mau melakukan banyak hal bodoh tanpa merasa aneh. Dan orang orang yg didepannya saya bisa menceritakan kesedihan.

Perempuan ini sudah banyak berubah. Dan saya bahagia punya kesempatan untuk dewasa bersama. Kita bukan lagi anak anak smp labil yg menghabiskan waktu bersama untuk kesana kemari. Tidak lagi punya banyak waktu untuk menceritakan pria ini dan itu. Meski masih suka melakukan banyak hal bodoh berdua. 

Meskipun semakin hari kita dituntutut untuk menjadi semakin dewasa. Semoga tidak ada banyak yg harus berubah. Terutama hal hal dan petualang bodoh yg biasa kita lakukan.

Kita tidak lagi punya banyak waktu dan kesempatan untuk bersama. Sudah semakin sibuk dengan urusan dan kehidupan masing masing. Tapi saat hidup terasa semakin berat, saya tahu tempat terbaik untuk menceritakan segalanya. Saat semua orang terasa seperti menjauh, saya tahu siapa yg akan tetap berada di tempatnya.

Selamat ulang tahun, Afrinka Nur Rosninta.


Senin, 04 April 2016

Perempuan itu Lemah, katanya...

Sial. Malam ini saya ketiduran di KRL. Seharusnya turun di stasiun UI tapi baru terbangun di depok baru. Walaupun sudah hampir 4 tahun di Jakarta, tapi banyak tempat yg rasanya masih entah berantah. Maklum saja saya tidak punya banyak kesempatan atau mungkin keinginan kuat untuk menjelajah Jakarta. Alasanya sederhana saya terlalu apatis, banyak hal yg menurut saya tidak terlalu penting. Seperti path sana sini di cafe mewah Jakarta.

Kereta arah kembali sudah tidak ada. Maklum saja sudah sedikit lewat tengah malam. Tapi tenang saya bukan wanita lemah. Saya pikir bagaimana caranya pulang. Alih alih minta dijemput pacar saya justru memilih untuk berjalan. Disambung angkutan umum nantinya.

Malam ini saya pakai dress selutut motif bunga, dengan lipstik nude masih sedikit tersisa ditempatnya. Ditambah heels krem favorit saya.

"Kamu ati ati loh udah malem. Pakai baju kaya gitu lagi. Nanti diapa apain."
Atau
"Udah naik taxi aja. Minta dijemput pacar lah."

Damn it ! I really hate those kind of words. 

Kalau perempuan apa harus hidup dalam ketakutan ?

Ibu saya selalu bilang, jadi perempuan jangan lemah. Harus bisa melindungi diri sendiri bukan hanya minta dilindungi laki laki.

Selain berenang dan mengaji, bela diri adalah hal wajib bagi anak anak Ibu saya.  Waktu SMP saya pilih karate. Meskipun tidak sampai bisa bikin babak belur 3 orang lelaki tapi setidaknya saya belajar untuk tidak merasa takut.

Teater adalah hal kedua yg membuat saya tidak menjadi lemah. Bayangkan selama 4 bulan setiap malam saya harus latihan. Dari jam 9 malam sampai 4 pagi. Biasanya saya dan teman teman tidur di sekre bertemu lansung dengan lantai. Kalau sedikit lebih beruntung kami bisa tidur diatas sisa kardus bekas properti.

Kalau besok ada kelas pagi. Saya pulang jalan kaki. Dari pusat kegiatan mahasiswa di tengah ui melewati jembatan yg katanya berpenghuni sampai ke kosan di daerah mahali. 45 menit lah kalau jalan kaki. Biasanya tidak ada laki laki berdua sama teman saya, kalau latian tidak sepi ya berempat semuanya perempuan.

Tapi kami tidak diajarkan untuk menjadi lemah karena ketakutan.

Toh sudah dua pementasan hampir dua tahun kalau diakumulasi rutinitas ini. Nyatanya para wanita ini masih hidup tanpa kurang suatu apapun sampai sekarang.

Banyak orang salah duga. Karena suka pakai dress, make up dan kuku panjang katanya saya feminim. Secara halus disebut demikian padahal harfiahnya saya tahu itu berarti lemah. 

Saya tahu caranya menjaga diri. Saya tahu bagaimana cara melindungi diri saya sendiri. Biar punya kuku panjang dengan hiasan kutek merah marun bukan berarti saya anti berurusan dengan palu dan gergaji. Biar badan saya kecil dan selalu dibalur handbody bukan berarti saya tidak bisa bawa galon sendiri.

Perempuan lemah karena mereka menganggap diri mereka lemah. Perempuan menganggap dirinya lemah karena dunia beranggapan demikian. Ini hanya masalah makna yang dikonstruksikan. Nyatanya perempuan bisa menahan sakitnya melahirkan. Banyak perempuan bisa jadi atlit angkat besi. Sebagian besar dari kita hanya sibuk melemahkan diri. Sadar atau tidak pada akhirnya stereotipe perempuan itu lemah semakin dalam melekat. Karena lemah makanya harus dilindungi. Tidak boleh ini itu dan kesana kemari. Padahal diam saja kalau sudah takdir mau perempuan atau lelaki bisa mati.

Kalaupun dengan sialnya nanti saya harus mati. Setidaknya saya tidak hidup dalam ketakutan.




Rabu, 16 Maret 2016

Mencemarkan Nama Baik Tuhan

Dalam kitab manapun, Tuhan tidak pernah memberikan kita hak untuk menyakiti yang lainnya.

Televisi di kamar saya sudah terlalu lama berada di sana. Sampai sampai semua tombol pengubah suara atau saluran sudah tidak lagi berguna. Alhasil setiap hari saya hanya bisa nonton yg itu itu saja. Kadang konten bodoh macam infotaiment yang tidak kalah dengan monosodium glutame dalam hal membodohkan isi kepala saya.

"Bang Ipul kan rajin sholat, paham agama. Jangan bohong ! Abang jelas kenal saya."

Atau kalimat yang ini.

"Doakan saja yang terbaik buat saya. Insya Allah, Allah melindungi saya."

Dua kalimat tadi nampaknya berhasil membuat maag saya kambuh seketika. Walaupun saya sudah sarapan roti pagi ini. Tapi rasanya mual. Mual sampai sampai membuat saya bergidik.

Menjijikan sekali mendengar nama Tuhan dieluh eluhan seseorang yang baru saja terbukti melakukan tindak pencabulan. Ditambah lagi dengan orientasi seks yang jelas jelas tidak pernah dikitabkan oleh Tuhan manapun di dunia.

Lebih menjijikan lagi. Ketika jelas jelas si korban tau betapa bejat dan jauhnya tidakan si empunya kesalahan dengan ajaran Tuhan tapi masih bilang dia taat beragama.

Lihatlah betapa dunia dipenuhi oleh orang orang naif yang dengan pengecutnya berlindung di balik nama Tuhan.

Betapa melasnya saya dengan Tuhan. Disebut dan diakui dekat hanya ketika bermasalah. Kalau sedang senang bagi mereke siapalah Tuhan. 

Tuhan dijadikan tameng untuk melindungi kesalahan. Tuhan jadi framing untuk sarana pencitraan. Agar dibilang baik agar dibilang beragama. Padahal hakikatnya entah tahu atau tidak.

Rajin solat atau ke gereja bukan takaran tepat untuk memvalidasi keimanan seseorang. Ada hal yg lebih subtansial dibalik semua atribut atau ibadah yg dilakukan. Seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai paham beragama seharusnya paham subtansi dari kontruksi makna agama. 

Agama berperan sebagai undang undang kehidupan. Meneraturkan perilaku setiap orang. Tujuanya agar dunia tidak keos dengan menanamkan nilai kebaikan. Kita dibuat takut untuk berbuat kesalahan atau menyakiti orang. Kita dibuat teratur. Agama seperti badan jalan yang secara implisit mengatur langkah kita.

Tapi lagi lagi hakitkan bukan pada atribut atau ibadah. Ada sebuah konstruksi yg lebih besar dan mendalam. Tuhan manapun ketiaka diimani dengan benar sejatinya mengajarkan kebaikan, kemanusiaan. Ibadah atau atribut hanya cara supaya kita paham.

Hakikatnya bukan pada berapa kali kita solat atau sepanjang apa ayat dibacakan setelah Al-Fatihah. Tapi pada bagaimana kita mengilhami kebaikan yg diinginkan Tuhan. Alasan dasar kenapa Tuhan mau kita melakukan itu. Lalu mengilhami dengan benar apa yang sebenarnya Dia mau kita lakukan. Bukan tentang seberapa sering kita ke wihara atau sebanyak apa bunga yg kita bawa. Tapi kenapa Tuhan mau kita begitu, makna apa yang ada dibalik itu. Kalau agama dan Tuhan bukan lagi sekedar tentang lamanya ibadah niscaya jika diilhami tidak lagi ada yang merasa dirinya berhak menyakiti lainnya.

Bukan cuman perkara tameng, Tuhan bahkan juga dijadikan alasan dan pembenaran. Orang orang sering kali hanya mengenal Tuhan dipermukaan tapi bergaya seperti mereka paham benar. Sampai sampai sabda Tuhan dijadikan alasan.

Orang orang saling bertengkar, berdebat, dan berperang. Alasanya melindungi Tuhan. Memang Tuhan selemah itu sampai harus dilindungi sedemikian rupa. Atau memang mereka yang tamak akan kejayaan.

Kalau kalau orang tahu apa yang sebenarnya Tuhan mau. Kalau kalau mereka paham betul makna dari menegakan agama seperti yang Tuhan mau mungkin Perang Salib tidak pernah terjadi. Kalau kalau sabda Tuhan diartikan dengan benar mungkin tidak ada yang perlu kawin tiga.

Tuhan jadi tameng buat kemalasan. Katanya, rejeki jodoh dan mati adalah kehendak takdir. Orang jadi bermalasan karena katanya rejeki diatur Tuhan. Orang tidak mau bekerja semakin keras karena katanya harus percaya setiap rejeki harus disyukuri.

Padahal mana pernah Tuhan menulis pada kitab manapun kalau kita boleh diam saja. Berpasrah bukan berarti menyerah. Tapi bekerja lebih keras sambil percaya. Berpasrah memberikan kita makna untuk mencari sesuatu dengan sebaiknya dan tidak melewati hak yg menjadi kodrat lainnya.

Tuhan tidak hanya mau kita bersyukur. Kalau bersyukur berarti malas kapan Indonesia jadi negara makmur sejahtera. Kalau kita mengilhami betul subtansi dari apa yang diinginkan Tuhan seharusnya Indonesia bisa menjadi negara super kaya. Rakyatnya punya masa besar ditambah besar yg taat beragam. Kalau konsep berpasrah diartikan dengan sebenar benarnya akan jadi mega triliuner negara kita.

Satu lagi yg membuat saya makin melas dengan Tuhan. Zaman sekarang Tuhan dimanafaatkan seperti sebuah logo bagi perusahaan. Dijadikan identitas untuk beraliensi, padahal belum tentu semua anggota aliensinya paham betul apa yg menjadi core mereka menjadikan Tuhan alasan kesatuan. Bisa jadi mereka hanya butuh dukungan. Karena pada hakikatnya manusia takut untuk sendirian. Dan sejak zaman pithicantropus erectus pun sudah demikian. Manusia hidup dalam kelompok kelompok karena butuh pengakuan, butuh perlindungan.

Bukan masalah berkelompok atau tidak. Tapi sadarkah mereka ketika mengatas namakan Tuhan. Sadarkah mereka akan hakikat Ketuhana atau Tuhan berperan sebagai logo saja. Ujungnya kan mencemarkan nama Tuhan. Aliansi tidak pernah paham subtansi sebenarnya, bertindak sesukanya tapi Tuhan jadi logonya. Mau apa kalau sudah demikian nama Tuhan juga yang tercemar bukan ?

Sungguh melas sekali saya dengan Tuhan. Kalau jadi dia mungkin saya sudah menuntut untuk memenjarakan semua manusia di dunia.

Selasa, 08 Maret 2016

Berdamai dengan Diri Sendiri

Sebagaimana kita sekarang merupakan buah dari apa yg sudah terjadi dalam hidup.

Saya percaya semua orang punya sebab dibalik akibat. Tapi sering kali yg terlihat hanya bagian akibat. Setiap karakter dan pemikiran seseorang dibentuk oleh masa lalu, entah luka atau bahagia.

Setiap dari kita punya cerita, punya juga luka. 

Hal menyakitkan yg terjadi dalam hidup seseorang punya dua potensi yg sama besarnya. 

Semisal seorang anak yg sedari kecil suka dihina. Mungkin karena buruk rupa atau urusan harta. Trauma trauma masa kecil semacam ini dibawa sampai beranjak dewasa. Sebagian besar akan tumbuh sebagai orang yg dipenuhi kebencian atau berkepercayaan diri kurang.

Tapi percayalah, Tuhan tidak pernah punya niat jahat untuk melukai hambanya. Semua luka diciptakan Tuhan atas sebuah alasan. Tapi sering kali kita lupa dan berprasangka buruk padanya. Menyalahkan Tuhan atas apa yg terjadi dan membenci kehidupan. Sisalah hidup jadi sia sia.

Cara seperti ini sama saja mempertahankan luka itu untuk terus ada. Padahal bisa jadi sebetulnya semua sudah berlalu begitu saja. 

Berdamailah dengan diri sendiri. Maafkan semua sakit yg pernah terjadi. Percaya Tuhan juga punya sebab dibalik akibat.

Karena sebetulnya ketika kita merasa disakiti seseorang atau bahkan takdir dan mendendam. Bukan pada si penyebab kita menyimpan kebencian tapi pada diri sendiri. Bukan karena mereka bersikap buruk kita mendendam tapi karena kita tidak bisa berdamai dengan diri.

Berdamailah dengan diri sendiri atas luka, masa lalu, atau ambisi. 

Sebuah buku pernah menjelaskan dengan gamblang apa itu dendam yg membangun. Menurut si penulis yg entah siapa hal buruk yg terjadi bisa diubah menjadi dendam yg membangun. Yg seperti memecut pundak kita untuk bekerja lebih keras demi sebuah pembuktian.

Bagaimana sebuah dendam berubah menghancurkan atau membangun tergantung bagaimana seseorang melihat. Kalau ini masalah mental yg sedari sananya diberikan Tuhan dan masalah sejauh mana orang tersebut memperbaiki mentalnya. Mental yg matang butuh proses yg menyakitkan.

Tapi kalau saya boleh berpesan, sekali lagi berdamailah dengan diri sendiri. Dendam bagus kalau jadi ambisi tapi tidak semua ambisi harus dituruti. Sudah kewajiban untuk bekerja keras dan memaksa diri kita lebih dari batas tapi ada saat dimana kita pada akhirnya harus berdamai dengan diri sendiri menerima batas yg memang ditakdirkan untuk tidak bisa dilampaui. Menerima kekurangan dan keterbatasan diri. Memberikan waktu untuk sedikit bersandar dan berhenti memaksa diri lebih keras. 

Karena hidup bukan tentang menghabisi luka, membalaskan dendam, atau mencapai ambisi. Tujuan hidup sesederhana bahagia.

Rabu, 02 Maret 2016

Roti dan Tepung Roti

Ada dua cara makan sepotong roti, beli jadi atau bikin sendiri. Keduanya punya cara berbeda untuk dinikmati. Sama seperti cinta kalau boleh berfilosofi.

Kalau mau mudah ya beli saja roti. Banyak yg sudah jadi. Tinggal datang, bayar, makan habis perkara. 

Tapi masalahnya ada banyak toko roti. Mana tau mana yg rasanya terbaik. Bisa mungkin pakai referensi. Tapi dunia punya pakemnya, ada harga ada rasa.

Punya cukup uang beli roti yg pasti enak?

Nah belum lagi perkara yg pasti pasti ini. Bukankah dunia seperti selembar kertas abu ? Tidak ada perkara yg benar benar jelas dan pasti.

Atau mau pilih cara kedua, tepung roti alias bikin sendiri. Lebih susah, lebih ribet, lebih makan banyak waktu, dan butuh kesabaran ekstra. Tapi hasilnya bisa dibentuk sesuai selera.

Perkaranya, cukup sabar atau tidak ? 

Dan urusan cita rasa juga tergantung kemampuan kita membentuknya. Belum lagi takaran bahan bahan yg tepat. Kebanyakan tepung bisa bisa jadi bantat.

Kalau boleh diibaratkan, roti dan tepung roti itu adalah dua jenis pria. 

Roti, roti adalah pria yg sudah jadi. Sudah mapan dan segala ada. Wanita pasti mau yg begini. Masalahnya untuk mendapatkan pria ini butuh modal yg cukup. Modal dalam artian kualitas diri. Wanita harus punya harga khusus yg ditawarkan untuk memikat pria macam ini. Macam status sosial, penghasilan, pergaulan, atau bentuk badan.

Masalah berikutnya, macam roti ini pria sudah jadi. Mesti diterima sebagaimana adanya. Kalau kalau ditengah pernikahan ternyata suka main tangan atau berselingkuh sana sini ya mesti gimana lagi. Kan belinya sudah jadi, bentukanya sudah begitu.

Tapi tenang, Tuhan kasih jodoh bukan seperti beli kucing dalam karung. Ada lagi rahasia alam yg harus diketahui : Jodoh itu sepadan. Kalau kitanya baik ya pasti dikasih yg baik. Kalau merasa dapat yg kurang baik, dimata Tuhan berarti kita memang belum cukup baik.

Atau bisa jadi rahasia alam alternatif lainya sedang terjadi: Tuhan mau kita belajar. Rasa sakit atau kecewa adalah cara Tuhan memberikan kebahagiaan pada ujungnya. Percaya saja.

Merasa tidak punya kualitas mengaet pria jenis roti. Tenang masih bisa beli tepung roti. Mesti sabar dan butuh keberuntungan ekstra memang menemani seorang laki laki naik tangga dari bawah. Tapi kalau setiap prosesnya dijalankan dengan tulus, ketika pada ujungnya berhasil semuanya akan jadi kebahagiaan yg diakumulasi.

Nah perkaranya tadi, tidak semua pria jenis ini bisa jadi. Mesti tau kita bagaimana cara membentuknya. Dibiarkan mana bisa jadi, terlalu ditekan bisa lepas dari genggaman. 

Tipsnya sih sederhana pilih bahan adonan dengan kualitas yg baik. Pilih pria yg sekiranya punya modal untuk jadi seseorang, seperti kecerdasan, keulatn dan yg terpenting hati yg baik. Satu lagi jangan buang waktu terlalu lama kalau sekiranya kamu yakin hanya membuang waktu. Tinggalkan dan coba buat yg baru. Jangan juga terlalu mudah menyerah, baru baru diawal belum terlihat sudah pindah ke adonan baru. Mesti benar benar jeli masalah bikin roti ini.

Mau roti atau tepung roti, yg penting ikut saja kata hati.

Senin, 29 Februari 2016

Di Bahu Seorang Wanita

Aku gadis kecil dengan batang ilalang di bibir. Sedari tadi menatap angin berhilir. Diatas batu besar tepian kali. Buku sidu lungsuran Mas Katon masih belum kutulisi. Padahal buku ini isinya tinggal 7 lembar, kata Emak pakai saja biar aku ketularan pintarnya Mas, tapi aku tau gaji guru honorer bapak belum turun sejak bulan lalu. Beras aja mesti ngutang apalagi buku.

Tadi di sekolah Pak Ustadz bercerita panjang lembar tentang keistimewaan wanita menurut hadis hadis dan ayat Al-Qur'an yg aku lupa nomor berapanya itu. Katanya beruntunglah kami lahir sebagai mahluk istimewa dimata Tuhan. Terus Pak Ustad bilang aku disuruh ngulang apa itu keistimewaan wanita dan contohnya dalam kehidupan. Nah ini yg bikin aku kelabakan. Lah wong sepanjang kelas tadi aku sibuk makan mie lidi. 

Aku merenung saja di pinggir kali, sambil ngemil batang ilalang. Siapa tau jawabanya datang. 

"Mbak Sekar ngapain disitu, nanti jatuh loh !"
"Ini buk mikirin tugas dari Pak Ustad tadi di sekolah"
"Lah mikir kok disitu, sini aja ke gubuk sekalian nemenin Sukma sama Bima. Ibu ada sikong rebus nih loh dari pada makan ilalang gitu."

Yang tadi manggil manggil dari bawah batu itu namanya Bu Nasti. Rumahnya dibelokan depan sawah. Lanang anak sulungnya dulu temen sekolah Mas Katon. Tapi ndak tau kenapa malah milih nikah sama gadis desa sebelah. Sekolahnya berantakan sekarang gatau kerja apaan. Padahal Bu Nasti banyak berharap sama Mas Lanang. Dulu kalau ngegosipin Mas Lanang matanya berbinar penuh kebanggan. Lah gimana ndak, Mas Lanang selalu berhasil mempertahankan rangking satunya. Tapi sekarang Bu Nasti banyak murungnya. Anaknya lebih cinta gadis desa sebelah dibanding ibunya.

"Mbak Sekar, Ibu nambang dulu ya. Nitip Sukma, Bima biar bantu bantu Ibu bawa batu."

Sukma itu anak Bu Nasti yg paling kecil, umurnya baru tiga. Kalau Bima adiknya Mas Lanang persis. Sekarang umur 7. Miris rasanya lihat Bima, masih pake celana SD sudah bantu ibunya nambang di kali. Bawa batu yg kadang lebih besar dari kepalanya. Bolak balik bantu Ibu angkat batu dari kali ke gubuk. Biar kulitnya kosong tapi mukanya riang. Katanya senang bisa bantu Ibu cari makan. Miris lihat yg sulung justru menambah beban, disekolahkan susah susah malah milih nikah. Apa semakin besar cinta anak sama ibunya semakin berkurang ? Kalau gitu aku doa saja supaya Bima tidak usah dewasa, apalagi jatuh cinta sama gadis desa. 

"Ibu itu loh celananya berdarah."
"Laaah pantesan, perutku nyut nyutan ternyata dapet hari pertama."
"Aku beliin softex ya bu di warung."
"Nda Mba, nda usah. Darah gini tar juga ilang kebawa air dari pada buat beli softex mending Mba Sekar pakai uangnya buat beli es sama Sukma, panas to ?"
"Sakit to bu hari pertama, ngaso aja."
"Halah sakit gini aja ga ada rasanya mbak. Nanti kalau ibu ngaso malah sekeluarga yg sakit perut karena ga ada beras buat makan. Hahahaha"

Langgar sebrang kali mulai mengumandangkan adzan Magrib. Dengan celana masih berdarah Bu Nasti kembali ke gubuk. Menghitung beberapa lembar patimura yg tadi diberikan oleh tengkulak.

"Makan dulu Mbak Sekar."
"Ibu nda makan to ?"
"Nda ibu masih kenyang, lagian ibu nda suka makan ikan, rasanya aneh."

Kami bersiap pulang, aku membereskan sisa sisa makanan.

"Eh Mbak Sekar jangan dibuang ! Sayang sayang itu nasi sisa Sukma sama tulang ikanya. Lah ikan enak gini kok ga diabisin. Sini ibu makan."

Kami mampir warung sebelum pulang. Bu Nasti beli gorengan, tahu 5 tempe 3 plus minta bonus remukan yg banyak. Sepanjang jalan Bu Nasti sibuk makan pinggiran gorengan. Sedikit sedikit tapi terlihat begitu khidmat. Seperti sedang mensyukuri berkah Tuhan meski cuman dalam bentuk pinggiran gorengan.

Mas Lanang dan Pak Kanto, suami Bu Nasti duduk di teras rumah, main catur sambil menghisap rokok lintingan. Mukanya seger habis tidur seharian.

"Nih Pak Mas gorengan buat ganjel perut. Ibu ngeliwet nasi buat makan malem dulu."

Pak Kanto dan Mas Lanang seperti babi babi rakus yg makan gorengan. Bima lari menyelamatkan sepertiga tempe dan tahu yg masih utuh.

"Ibu, ini gorengan Bima buat Ibu saja. Ibu kan belum makan."
"Ndak usah Bim, Ibu ndak suka gorengan rasanya aneh."

Mas Lanang menyerobot tahu utuh dari tangan Bima.

"Yasudah kalau Ibu ndak mau, ini tahu buat istriku saja di rumah. Tadi katanya masih laper habis makan bakso."

Aku diam menatap buku sidu lungsuran Mas Katon di tangan. Tugas Pak Ustad aku benar benar tidak bisa jawab. Apa istimewanya seorang wanita ? Kenapa rasanya justru menakutkan ?



Jumat, 29 Januari 2016

Hujan Dipenghujung Juni

Hujan selalu menyimpan segenap cerita, membawa luka atau bahagia. Hujan selalu punya tempat istimewa. Sama seperti pria yg datang dan pergi di pengujung Bulan Juni. Pria yg dalam setiap sajak entah kenapa selalu kusebut tuan.

Kusebut demikian, karena dihadapnya aku seperti menghamba. Meminta hari untuk kembali bersama tapi sepersekian detik saja dia masih tidak bersedia.

Sudah 5 tahun berlalu tapi aku masih senantiasa menanti hujan di pengujung Juni. Berharap rintiknya membawa pria bermata sayu itu kembali. Bukan ! Bukan  aku ingin memilikinya. Hanya saja ada sebuah tanda tanya yg harus dibawanya pergi.

Kenapa dia menghilang bersama rintik terakhir hujan dipengujung Juni ?
........
Hujan turun diantara senja dipengujung Juni kala itu. Hujan membuatku harus menepikan sepeda agar tidak perlu kuyup. Aku berlindung di bawah sisa atap depan sebuah bangunan dengan pintu dan etalase kaca. Di dalamnya aku lihat kanvas yg sudah setengah terlukisi.

Aku menemukan sesuatu yg hilang dalam lukisan itu. Sesuatu yg sudah lama ingin aku temukan. Sesuatu yg dibawa Ibu hilang bersamanya. Keberanian.

Seorang pria masuk ke dalam ruangan, satu dua tahun lebih muda kalau boleh kuterka. Ia mengaduk aduk cat warna dalam piringan berwarna perak. Duduk di depan kanvas dan membubuhkan warna merah pada bunga mawar yg sudah terlukis sebagian.

Aku terhipnotis oleh tiap guratan kuas yg dibubuhkan pria itu dalam kanvas. Rima yg membawa keberanian dalam tiap warna yg dibubuhkan diatas mawar dalam lukisan. Aku terhipnotis oleh pria itu.

Hari hari berikutnya selalu kulewatkan untuk memandang pria di balik etalase kaca itu membubuhkan warna dalam kanvas. Hari hari berlalu aku semakin terhipnotis dengan lukisanya sebagaimana aku terhipnotis pada sosoknya.

Hujan senja itu umurku baru 11 dan butuh umur ke 12 sampai akhirnya kami saling tau nama. 

Senja itu, penghujung Juni hujan kembali. Dan aku berteduh di tempat yg sama. Pria itu melukis seperti biasanya.

Seekor kucing mengeong memelas kedinginan. Aku menyelimutinya dengan jaket yg kulepas. Tapi mahluk kecil itu masih mengeong kedinginan. Semakin menggigil dan mengeras. Hingga terdengar di balik kaca. Pria bermata sayu membuka pintu mengeringkan badan kucing malang dan memberinya setengah gelas susu hangat. Lalu kami saling berbicara mulanya tentang nasib si kucing malang akhirnya semua diperbincangkan hingga larut malam. Hingga hujan terhenti, dan aku kembali pulang sambil membawa hatinya pergi.
.....
Melukis adalah hal yg paling aku sukai sekaligus yg paling ayah benci. Semenjak Bunda pergi dan menikahi pelukis lainnya.

Ayah membakar semua kanvas dan kuas yg tersisa di rumah. Membinasakan semuanya seperti ia sedang membakar luka dan kenangan akan penghiatan.

Aku tidak terlalu pandai melukis seperti Ibu, tapi aku sungguh jatuh cinta pada lukisan. Pada tiap guratan warna yg dibubuhkan kuas untuk menghidup roh dalam kanvas. Setiap lukisan punya rasa menggambarkan apa yg diinginkan empunya. Itu salah satu yg paling kucinta. Kita bisa merasakan tanpa harus mendengar atau berkata, cukup merasakan.

Tapi tega benar aku kalau harus menghianati Ayah sebagaimana Ibu. Aku buang jauh jauh kecintaanku pada lukisan di hadapan Ayah. Tapi tidak dihadapan pria itu. Dia yg mengembalikan keberanian untuk kembali menarikan kuas diatas kanvas. Bersamanya dan guratan warna aku menemukan tempat untuk meluapkan semua kerinduan, kesendirian, dan kesepian yg datang bertubi semenjak Ibu pergi.

3 tahun kami habiskan untuk melukis dan saling berbicara. Tanpa satupun kata cinta, tapi aku yakin itu ada. Sebagaimana lukisan yg bisa melambangkan perasaan tanpa kata kata. 

Sampai hari itu datang. Hari dimana hujan kembali datang di bulan Juni. Hari dimana Ayah akhirnya tau tentang penghianatan yg kulakukan bertahun tahun. Aku kembali melukis. 

Ayah menyeretku secara paksa dari rumah pria itu. Sambil memakinya. Menghardik dan membuat seisi rumah panik. Aku tidak jelas dengar umpatanya. Tapi aku tahu Ayah tidak pernah semarah itu. Ada rasa sakit dan benci dari mata coklatnya yg melontarkan kemarahan.

7 hari aku dipaksa tidak keluar rumah. Ayah tidak berbicara sepatahpun kata. Dia hanya diam sambil mengawasiku dari kursi baca ruang tamu. 

Tapi aku tahu diam adalah marah yg paling marah. 
.......
Tepat dipenghujung Juni, hujan kembali. Aku tidak lagi bisa menahan rindu pada pria itu. Aku menanggung beban rasa bersalah pada Ayah. Tapi bisa apa, pria itu dan mata sayunya terlalu mempesona sebagaimana lukisan mawar yg pertama kali membuatku jatuh rasa.

Aku mengayuh sepedaku kencang, diam diam pergi dari ayah di bawah hujan. Rumah dengan etalase kaca yg aku tuju. Pria itu seperti biasa melukis di balik kanvas. Aku berdiri di depan pintu. Dia mengacuhkanku. Aku gedor pintu. Dia masih tetap begitu. Sampai seorang wanita datang dari ruang dalam. Membawa piringan yg sama emas dengan semburat auranya. Wanita itu benar benar cantik, bukan hanya pada raut di mukanya. 

Usianya kuterka 3 tahun lebih muda. Rambutnya hijam memanjang, kulitnya sejernih rintik hujan, dan matanya coklat menyimpan kecerdasan, keberanian, dan kemenarikan yang tiada tara.

Dia melihat ke arahku yg menggedor pintu sekali lagi. Berbicara pada si pria yg kembali memberi isyarat untuk mengacuhkan. Kedua melukis diatas dua kanvas yg berbeda. Tapi aku bisa melihat rima dan warna yg saling menyatu. Seperti bakat sudah menakdirkan mereka bersama.

Lukisan wanita itu benar indah, sebagaimana kemenarikan dirinya. Sebagaimana kegagahan dan aura pria disamping.

Aku melangkah menjauhi pintu. Aku merasakan sakit dibawa rintik hujan jatuh ke bumi. Bukan kecewa atau marah tapi lebih pada rasa kalah. Aku terlalu mengaggumi wanita itu sebagaimana prianya. Dan bagaimana bisa aku merasa dia merebut priaku. Jelas semua pria akan sukalera memilihnya dibanding aku.

Lukisanya jauh lebih indah, dan jauh lebih hidup dibanding aku. Aku melerakan priaku pergi. Kehati seorang wanita yg lebih indah. 

Lagipula bersamaku pria itu tidak akan pernah bisa melukis dengan leluasa. Bersamanya aku akan menyakiti ayah. Sedangkan wanita itu selayaknya komplementer bagi si pria. Keduanya seperti kanvas dan kuas yg saling ditakdirkan.

Aku menumpahkan haru di dalam pelukan Ayah yg cemas menunggu di depan rumah. Aku tidak bicara. Karena diam adalah sakit yg paling sakit. Aku tahu bagaimana rasanya terhianati dan yg lebih sakit merasakan kekalahan. Kita tidak dilahirkan dengan bakat melukis sebaik lelaki yg dinikahi ibu, dan wanita yg dipilih pria yg kucintai itu. Oleh karnanya kamu dipaksa sadar diri. Ada hal hal yg memang hanya bisa diterima.

Bulan berganti Juli dan hujan tidak mampir lagi. Sebagaimana pria itu pada akhirnya pergi. Tidak lagi bisa ketemukan dibalik etalase kaca. Dibawa hujan entah kemana.
......
Bagaimanapun Ayah benci pada Ibu. Bagiku Ibu tetap Ibu. Walau kami tidak pernah saling berbicara, walau dia menelantarkan aku dan Ayah begitu saja. Setidaknya kali ini aku ingin memberinya tahu, memintanya restu.

Semua persiapan pernikahan sudah matang. Hanya sedikit perasaan yg perlu diselesaikan. Restu Ibu dan tanda tanya yg dibawa pergi pria itu. Tapi ah sudahlah tidak semua pertanyaan butuh jawaban. Mungkin ada beberapa yg memang ditakdirkan untuk menjadi tanda tanya abadi.

Aku baca di koran Ibu kembali datang ke Indonesia. Sebuah pameran karya dipersiapkan. Aku tidak pernah tahu bagaimana wajah Ibu ata siapa namanya sampai genap berusia 25 saat akhirnya untuk kali pertama Ayah memberi tahu nama Ibu.

Aku tidak berminat untuk mencarinya. Sampai hari itu saat Saka bilang aku harus melepaskan beban dan melegakan hati sebelum pernikahan kami. Agar semuanya berjalan dengan lebih baik.

Saka benar. Saka selalu benar. Dia adalah lelaki kedua yg aku cintai setelah pria itu. Saka tidak pandai melukis, tapi dia sama pandainya dengan pria itu soal membuatku merasa cinta.

Di depanya aku tidak perlu lagi meluapkan rasa lewat guratan warna dalam lukisan. Aku cukup berbicara, dan melepaskan perasaan. Saka akan mendengar dengan sabar. Dia mengerti tanpa menghakimi. Tidak banyak memberi solusi aku harus begitu atau begini tapi dia mengerti. Bahwa yg dibutuhkan seseorang dengan banyak rasa sepi seperti aku hanya teman untuk mendengar dan merasa aku tidak sendiri.

Aku dan Saka pergi ke musium tempat Ibu memamerkan karyanya. Segala macam rasa menyelinap masuk. Takut, marah, kecewa, gusar, sedih, bahagia. Dalam hati aku bertanya bagaimana rupa Ibu, dan bagaimana rautnya ketika melihatku.

Saka memegang erat tanganku. Memberiku kekuatan untuk menghadapi segala macam ekspektasi. Dia selalu mambuatku merasa tidak sendiri. Dan mengambalikan keberanian yg banyak dibawa rasa sakit pergi.

Kami melangkah masuk. Dinding musium ditempeli bingkai bingkai lukisan. Darinya aku bisa menerka bagaimana keindahan Ibu. Sebuah lukisan menghipnotis. Perempuan kecil yg sedang tertawa dengan setangkai mawar merah ditanganya. Dan aku seperti melihat aku.

Lampu di tengah ruangan menyala terang. Menangkap pandangan ratusan pasang mata pengunjung. MC memberikan sepatah dua patah kata untuk memuji si empunya lukisan. Lalu Ibu berjalan menyusi tangga dari lantai atas bersama seorang lelaki yg kuterka sebagai suaminya. Seorang pelukis yg sama tersohornya. 

Ibu turun dengan sangat anggun dengan gaun berwarna krem dengan hiasan emas. Dia memberikan satu dua patah kata. Aku menatapnya dengan takjub.

Ibu memberikan ucapan terimakasih pada orang terdekat. Sang suami, yg sedari tadi menggegam tanganya dengan bangga. Dan seorang anak yg naik keatas panggung setelah disebut namanya.

Pria yg kuterka satu dua tahun lebih muda dari aku. Ibu memperkenalkan dengan bangga pria yg dianggapnya jenius dalam seni lukis ke hadapan pengunjung. Pria dengan mata yg sayu.

Salah satu karyanya di pamerkan. Lukisan yg dibuat pria itu waktu berusia 9 tahun. Si pria membuka kain hitam dari karyanya.

Dibalik pintu sebuah rumah dengan etalase kaca. Hujan turun menderas dari luar. Seorang wanita berteduh di depan pintu. Disampingnya sebuah sepeda berwarna pink tergeletak. Wanita itu menengadah melihat hujan.

-Perempuan di Bulan Juni-

Pengunjung menghamburkan tepuk tangan dan decak kagum pada keindahan dan rasa yg dihadirkan dalam lukisan bocah yg kala itu baru berusia 9 tahun. Ketulusan terwakili dalam tiap guratan warna dalam lukisanya. Cinta yg bisa dirasakan tanpa harus dikatakan.

Beberapa pengunjung terdekat naik memberikan selamat. Pertama sekali seorang wanita dengan gaun berwana marun. Masih sama cantiknya seperti ketika pertama kali kukagumi belasan tahun lalu. Digandengnya tangan seorang gadis kecil dengan gaun yg juga berwarna merah. Rambutnya diikat dua. Sama mempesona seperti Ibunya. 

Wanita itu memeluk tubuh sang pria, sambil membubuhkan kecupan di pipi kanan dan kiri. Gadis kecil memeluk kaki sang pria, lalu diangkat tubuhnya keatas. Keduanya tertawa. Si gadis kecil berbicara dengan suara manja

"Om.. Bagus sekali lukisanya."
"Terimakasih cantik. Ibu kamu yg mengajarkan om melukis sebagus ini."

Wanita bergaun merah tertawa. Seorang pria naik keatas panggung sedikit terburu.

"Maaf Katon, meeting di kantor baru selesai."
"Iyaa bang, tenang."

Si gadis kecil berpindah gendongan. 

"Ayaah lihat deh, lukisan Om Katon bagus yaa. Ayah kenapa tidak bisa melukis seperti Ibu dan Om Katon."
"Sayaaang, tidak semua dilahirkan dengan bakat yg sama. Ada hal yg bisa dilakukan seseorang dan tidak bisa dilakukan orang lainnya. Begitu juga sebaliknya."
"Huft..." Sang gadis, memajukan bibirnya. "Ibu, kenapa Ibu mau menikah sama Ayah yg tidak bisa melukis seperti Om Katon."
"Jingga, orang dewasa menikah karena cinta bukan kesamaan. Karena yg terpenting adalah saling melengkapi. Lagi pula yg Om Katon cinta perempuan di lukisan itu bukan Ibu."

Aku memegang tangan Saka semakin erat. Seakan sedang menjaga hatiku untuk tidak lagi pergi ke dalam pria di depan sana. 

Si gadis kecil tidak hentinya berbicara.

"Lalu kenapa Om Katon tidak menikah dengan perempuan dilukisan itu ?"
"Sayang, setelah dewasa nanti Jingga akan tahu bahwa tidak semua cinta ditakdirkan bersama. Mungkin Om tidak bisa memilikinya sebagai seorang laki laki. Tapi Om bisa menjaganya dalam diam sebagaimana selayaknya seorang adik menjaga kakak perempuanya."

Hujan tidak kembali datang dipenghujung Juni kali ini. Tapi sebuah tanda tanya dan kerinduan sudah dibawanya pergi.

Bukan tentang siapayg baik atau lebih baik. Siapa yg sama atau berbeda. Tapi siapa yg ditakdirkan. 

Tidak semua kanvas dan kuas harus bersatu. Dari ribuan yg diciptakan kehedak si pelukislah yg berhak menentukan mana kanvas dan kuas yg akan dipasangkan.
......